Jumat, 07 Juni 2024

SASTRA JAWA MASIH ADA

 

 

                                                                    

Majalah bahasa Jawa

TETAP TERBIT HINGGA KINI

Oleh: Aming Aminoedhin

 

 

Di tengah gempuran zaman milenial dan digital ini, ada dua majalah berbahasa Jawa tetap terbit hingga kini. Dua majalah itu Panjebar Semangat dan Jaya Baya, dan kebetulan terbitan dari Jawa Timur, di kota Surabaya. Kota metropolitan kedua Indonesia ini masih jadi barometer sastra Jawa tetap eksis keberadaannya. Ampuh tenan!

 

            Sebuah perjalanan panjang sebuah penerbitan majalah yang perlu diapresiasi tinggi-tinggi. Lebih lagi ini sebuah majalah yang memakai medium bahasa daerah, bahasa Jawa. Sungguh sebuah prestasi yang membanggakan sekali. Ampuh temenan!

            Jika kita mau bicara soal koran/majalah berbahasa Jawa, maka di Jawa Timur, punya nama majalah yang tetap eksis hingga kini; adalah ‘Panjebar Semangat’ dan ‘Jaya Baya.’ Keduanya telah berusia cukup tua. Sementara itu di kota lain Solo dan Yogya sudah ada yang harus gulung tikar. Di kota Yogyakarta ada Mekarsari dan Djaka Lodang, di Solo ada koran Dharma Kandha, Dhama Nyata, dan Jawa Anyar. Majalah Mekarsari kini hanya jadi berupa sehalaman di koran Kedaulatan Rakyat, seminggu sekali. Menyedihkan. Sementara majalah Djaka Lodang masih eksis hingga sekarang; sedangkan tiga koran Solo berbahasa Jawa itu telah tumbang semua.

Padahal menurut catatan Suprawoto (pakar komunikasi, kini Bupati Magetan), sejarah perkembangan pers Jawa di Indonesia, bahwa pers berbahasa daerah pertama kali terbit di Surakarta, tanggal 29 Maret 1855 adalah Bromartani dengan menggunakan medium bahasa Jawa dan huruf Jawa. Bromartani yang berbentuk majalah terbit seminggu sekali.

Jawa Timur boleh bangga punya Majalah Panjebar Semangat, yang terbit pertama kali sejak tanggal pada tanggal 2 September 1933. Sementara itu, majalah bahasa Jawa lainnya dari Surabaya, adalah Majalah Jaya Baya, yang terbit sejak tanggal 1 Desember 1945.

 

 Panjebar Semangat

Pendiri majalah ini, Dr. Soetomo, yang  berinisiatif menerbitkan mingguan berbahasa Jawa, bernama Panjebar Semangat, sejak tanggal 2 September 1933.

Adanya penerbitan majalah berbahasa Jawa ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas tidak adanya bacaan untuk rakyat Jawa, yang pada waktu belum bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, apa lagi berbahasa Belanda. Dalam penerbitannya majalah Panjebar Semangat menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko (bahasa Jawa kasar) yang biasa digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Pemilihan ini dikarenakan lebih mudah,  lebih demokratis, serta lebih dapat dimengerti oleh masyarakat Jawa secara luas.

Penamaan majalah Panjebar Semangat ini diberikan oleh Dr. Soetomo dengan harapan agar majalah ini dapat menyebarkan dan membangkitkan kesadaran membaca, serta semangat yang dapat melahirkan bangunan bangsa, mengabdi pada kebenaran, tunduk pada kesucian, dan menyerah pada keadilan. Harapan lain dari Dr. Soetomo, agar masyarakat di pedesaan yang tidak dapat berbahasa Indonesia, apa lagi bahasa Belanda tetap dapat memperoleh pengetahuan dan wawasan sehingga mereka dapat memberikan kemajuan untuk nusa dan bangsanya.

Semboyan majalah Panjebar Semangat yang berbunyi ‘Sura Dira Djajaningrat Lebur Dening Pangastuti’ mempunyai arti harafiah bahwa ‘segala kekuatan negatif yang ada dalam masyarakat bisa ditaklukan dengan lemah lembut, dan penuh sopan santun, merendah, dan bijaksana.

Motto atau semboyan tersebut, menurut Dr. Soetomo, cukup baik dan sekaligus bijak, serta menghilangkan rasa feodalisme di tengah masyarakat.

 

     

Jaya Baya

Pendirian majalah Jaya Baya, seperti halnya majalah Panjebar Semangat yang mana tidak bisa dilepaskan dari beberapa nama tokoh pejuang Indonesia.  Mereka para pendiri majalah ‘Jaya Baya ini adalah para pejuang, antara lain: Soewandi Tjitrawasita (ayah Totilawati Tjitrawasita), Tadjib Ermadi (seorang guru Taman Siswa), dan Wasis (pimpinan Pemuda Republik Indonesia Kediri). Pengelola pertama majalah ini adalah Djasmadi (bekas anggota Shu Sangikai Muspida Karesidenan Kediri) sebagai direktur, Tadjib Ermadi, Soewandi Tjitrawasita, dan Ahmad Soedibyono sebagai redaktur, serta Maridie Danoekoesoemo (KNI Kotapraja Kediri) sebagai pegawai tata usaha.

Waktu itu, bahan-bahan untuk penerbitan perdana diperoleh dari bantuan Samadikun, Asisten Residen Kediri, yang mengizinkan penggunaan kertas percetakan Sedia. Peralatan percetakan diperoleh dari Surabaya melalui perjuangan Tadjib Ermadi dan Pemuda Pelajar (TRIP) Gatot Iskandar, Prihanta, Soekmadi, Oemar Said, serta dibantu Pemuda Republik Indonesia Surabaya yang meminta bahan-bahan penerbitan ke percetakan ‘Suara Asia’ pimpinan R.M. Abdoel Wahab Djojowirono; ketika Surabaya sedang mengalami ultimatum dari tentara Inggris. Abdul Wahab mengizinkan peralatannya dibawa ke Kediri sehingga terbitlah majalah dwimingguan ‘Jaya Baya’ yang berkantor di Jalan Ngadisimo 19, Kediri.

Menurut riwayatnya nama Jaya Baya yang dipilih oleh Djasmadi, berasal dari nama Raja

Kediri yang terkenal adil dan bijaksana serta terkenal, dengan ramalannya mengenai nasib tanah Jawa (Indonesia) yang sangat dipercaya oleh masyarakat dan ditakuti oleh Jepang dan Belanda. Majalah ini bertujuan memberi penerangan dan menanamkan semangat membela kemerdekaan serta cinta tanah air kepada rakyat di desa-desa yang kebanyakan hanya dapat berbahasa Jawa, dan belum banyak mengetahui perkembangan keadaan sebenarnya.

Tetap Terbit Hingga Kini

             Di tengah ramainya era digitalisasi koran dan majalah, kedua majalah berbahasa Jawa dari Surabaya bernama ’Panjebar Semangat’ dan ‘Jaya Baya’ tetap terbit dengan format majalah kertas hingga kini. Sungguh, ini merupakan sebuah prestasi tiada tertandingi.

            Pertanyaan yang kemudian muncul, adakah orang-orang Jawa masih setia baca majalah ini? Berapa jumlah pelanggan dan pembacanya? Adakah majalah  ini juga memasuki wilayah sekolah atau kampus? Lantas ada juga pertanyaan lanjutan; jika anda orang Jawa, adalah pernah ikut baca majalahnya?

            Atau barangkali Anda tidak hanya ikut membaca saja, bahkan ikut menulis di kedua majalah tersebut. Syukur alhamdulillah, masih ikut ngleluri lan nguri-uri bahasa lan kebudayaan Jawa yang adiluhung itu.

            Sederet pertanyaan itu, ternyata belum terjawabkan pasti. Tapi yang pasti, kedua majalah itu tetap terbit setiap minggu, hingga kini. Tetap eksis menjaga bahasa Jawa agar tetap ngrembaka, bertumbuhkembang di masyarakat Jawa. (Desaku Canggu, 6/6/2024 - Aming Aminoedhin).**

GELIAT SASTRA MOJOKERTO

 

 

Sekadar Catatan

GELIAT SASTRA MOJOKERTO

MENGAPA TAK INGAT SASTRA JAWA*

Oleh: Aming Aminoedhin

 

Tulisan ini saya ambil dari catatan saya terdahulu (2017) saat ada dialog

sastra di Mojokerto, tentang penggalan sastra kota Mojokerto. Lantas ada

beberapa tambahan data guna bisa dijadikan semacam pemicu diskusi

“Jagongan Sastra” pada ulang tahun Ludruk Karya Budaya ke-55 di

Pondok Jula-Juli bersama kawan-kawan sastra lainnya.

 

            Membuat catatan penggalan peta sastra kota maupun kabupaten Mojokerto, barangkali tidaklah mudah. Sebab untuk menulisnya diperlukan data komprehensif. Kebetulan saya tak punya banyak datanya. Lebih lagi, ketika saya sendiri bukan orang Mojokerto asli, sehingga tidaklah sebaik orang yang asli Mojokerto.

            Akan tetapi jika penggalan peta sastra itu tidak ditulis, betapa pun minimnya data, maka kita akan kehilangan data seluruhnya. Berikut ini, hanya catatan ringkas saya selama berada di Mojokerto, yang tentunya tidaklah lengkap jika bicara soal  data tersebut. Tulisan ini pun tidak membagi antara Kota dan Kabupaten Mojokerto, tetapi bicara soal sastra di Mojokerto.

            Bermula ketika saya tinggal di Puri Mojobaru AZ-22/23 Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto; sejak 10 November 1996 lalu. Ketika itu, beberapa kawan seniman Mojokerto berkumpul untuk acara sastra. Lantas, atas prakarsa banyak kawan, kami mendirikan komunitas yang bernama Forasamo (Forum Apresiasi Sastra Mojokerto). Idenya, saya ambil dari FASS (Forum Apresiasi Sastra Surabaya) dengan berpangkalan di PPIA Surabaya; yang kebetulan saya koordinatornya.

            Pada awalnya, komunitas ini cukup banyak yang hadir, ada nama: Abdul Malik, Mamak, Suyitno Ethexs, Gatot Sableng, Bagus Mahayasa, Jabbar Abdullah, Saiful Bakri, beberapa siswa, mahasiswa dan juga para guru. Ada yang menarik yaitu hadirnya, almarhumah Ibu St. Iesmaniasita. Sastrawan Jawa yang kondang di ranah sastra Jawa.

Kegiatan Forasamo adalah dialog, baca puisi, dan bernyanyi puisi. Forasamo, pada tahap berikutnya, mengadakan pertemuan 2 minggu sekali bertempat di pangkalannya Sanggar Saraswati, rumah tua  di Jalan Hayam Wuruk, Kota Mojokerto. Tapi, lama-lama kelamaan yang datang cuma saya, istri, dan dua anak saya yang sampai di Sanggar Saraswati itu. Selebihnya entah ke mana?

            Sebenarnya, waktu itu Forasamo, sudah mencoba adakan penerbitan buletin sastra, dan bahkan pernah juga buat kumpulan puisi segala. Pentas acara sastra tentang hilangnya Wiji Thukul, bersama Sosiawan Leak di Sanggar Saraswati. Ada baca puisi dan dialog sastra, serta perfomance-art dari beberapa seniman, serta musik puisi. Komunitas lain ada ‘Pustaka Nol’ yang ketika dibuka semua anggota Forasamo pernah ramai-ramai datang pada acara pembukaan “Pustaka Nol” (27/2/2000) yang diisi bincang sastra di Jalan Empu Nala, Mojo-kerto. Tampak guyub rukun dan terasa menyenangkan, buat acara bincang seniman Mojokerto.

            Berikutnya ada juga beberapa komunitas sastra dan musik bermunculan, sebut saja ada: Forum Sebrang Dalan, GePapat, Girilaya, Komunitas Arek Japan, Komunitas Pondok Kopi, dan banyak lagi. Beberapa komunitas sastra, musik dan teater inilah yang kemudian memberi nafas dan virus sastra di Mojokerto lebih punya daya denyut. Belum lagi, kegiatan “Terminal Sastra” yang kemudian seakan menampung mereka untuk berkiprah melangkah lebih jauh.

 

Sastrawan Mojokerto

           

            Bicara soal sastra, maka kita tak bisa lepas bicara soal tiga genre sastra: puisi, prosa, dan drama. Dan bicara sastrawan, atau penulisnya; Mojokerto hampir punya semuanya. Bahkan ada pula sastrawan Jawa yang cukup punya nama Ibu St.Iesmaniasita. Mencatat nama pengarang lainnya, sekedar menyebut nama yang masih ingat, antara lain: Hardjono WS (cerpen, puisi, dan naskah drama), Max Arifin (naskah drama dan penterjemah), Nyitno Munadjad, Aming Aminoedhin, Akhmad Fatoni, Suyitno Ethex, Chamim Kohari, Saiful Bakri, Dadang Ari Murtono,  Ahmad Farid Tuasikal, Jabbar Abdullah, Kukun Triyoga, Mochammad Asrori, Anjrah Lelono Brata, Suliadi, Agus Salim, Supriyadi Bro, Lies Muhshonati (puisi), serta mungkin masih banyak lagi jumlahnya, dan maaf jika tak tercatat di tulisan pendek ini.

            Bila mau mencatat, sebenarnya banyak sastrawan yang dulu dan sekarang pernah berdomisili di Mojokerto itu, ternyata sudah terkenal lebih dulu di kota lain. Sebut saja nama: Hardjono WS (almarhum) yang terakhir berdomisili di Jatidukuh, Gondang, sudah terkenal lebih dulu di Surabaya sebagai sastrawan dan teatrawan anak. Max Arifin (almarhum) terkenal di Mataram –NTB, sebagai tokoh teater, terakhir berdomisili di Japan Raya. Aming Aminoedhin, sudah lebih terkenal di Surabaya, kini berumah di Canggu, Jetis, Mojokerto. Ada juga Anton De Sumartana, yang terkenal di Bandung, bermula dari Jalan Brawijaya 215 Mojokerto, dan kini tinggal di Bandung. Ada juga Dadang Ari Murtono yang bukunya bertajuk  ‘Ludruk Kedua.’ Ia pernah dapat hadiah Sutasoma tingkat Jawa Timur dan Buku Sastra Utama tingkat Nasional di Jakarta. Kini Dadang hijrah di Samarinda. Bahkan konon, A. Muttaqin, penyair asal Gresik itu kini juga domisili di Mojokerto mendampingi istrinya yang kini mengajar di Mojokerto.

            Sungguh, Mojokerto cukup banyak penulis sastranya. Maka tidaklah salah jika Dr. Indra T Kurniawan, M.Si. (ketua Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto) membuat acara sastra bertajuk “Terminal Sastra” setiap bulannya, hingga sampai cukup panjang episodenya. Sebuah perjalanan panjang yang harus diapresiasi kita sebagai penyuka sastra. Setidaknya, bisa hadir dan jika perlu ikut tampil sebagai narasumber atau pengisi acara baca puisi, cerpen, atau monolog; bahkan musik sebagai selingan dialog sastra.

 

Geliat Sastra

 

            Sastra Mojokerto kian menggeliat, sebenarnya setelah terbentuknya Dewan Kesenian Kota Mojokerto (DKM), dan diikuti DKKM (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto). Saat terbentuknya DKKM, saya termasuk pernah ikut jadi pengurusnya yaitu sebagai sekretaris, dan ketuanya Hardjono WS. Periode berikutnya, ketika Drs. Eddy Karya Susanto, sebagai ketua saya sudah tidak ikut jadi pengurus lagi.

            Beberapa acara sastra digelarpentaskan, baik di halaman GOR Mojopahit kantor DKM, atau di Gedung Dinas Pariwisata Kabupten Mojokerto – Jalan Jayanegara – Mojokerto. Seingat saya pernah baca puisi kumpulan puisi “Mojokerto dalam Puisi” (2006), dan “Tadarus Puisi Bulan Suci.” Lantas melalui Biro Sastra DKKM, dimotori Chamim Kohari, telah pula membukukan ‘Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Mojopahit” (2010).

            Geliat sastra yang lain, bahwa sastra tidak hanya prosa dan puisi; tetapi juga pentas teater. Pentas teater berbentuk Parade Teater dimotori oleh Bagus Mahayasa lewat Lidhie Art Forum Indonesia yang tak lelah-lelahnya terus menviruskan sastra pentas teater di Mojokerto. Diselenggarakan di Gedung Dinas Pariwisata Kabupten Mojokerto, dengan mengundang berbagai kelompok teater luar kota: Lamongan, Ponorogo, Jombang dll. Sementara itu, sekolah-sekolah di Mojokerto juga dilibatkan ikut berparade.

            Komunitasnya Bagus, juga sering pentas di luar kota, dan pernah beberapa kali menang lomba berteater. Bahkan melalui komunitasnya Lidhie Art Forum Indonesia, juga menyelenggarakan semacam pelatihan teater dengan mengundang beberapa tokoh teater sebagai narasumbernya.

            Geliat sastra berikutnya terus dihembuskan, dan konsisten ada pertemuan sastra sebulan sekali, bertajuk “Terminal Sastra” yang dikomandoi Dr. Indra T Kurniawan, M.Si. dengan motornya Mochammad Asrori. Sebuah upaya mulia untuk terus tumbuhkembangnya sastra di wilayah Mojokerto. Sungguh, sangat luar biasa geliatnya!

            Menariknya lagi, ketika setiap kali pertemuan ada pembagian doorprize buku sastra, sehingga selain menyebar virus sastra, sekaligus mengajak untuk ikut datang berdialog sastra. Menarik berikutnya, ketika “Terminal Sastra” ini diselenggarakan di berbagai tempat, utamanya wilayah desa-desa. Terasa dialog sastra itu jadi gerilya sastra, diperkenalkan pada masyarakat desa, agar mereka melek sastra. Upaya yang bagus, dan harus terus dilakukan!

            Akan sayang disayang acara “Terminal Sastra” yang telah panjang berjalan itu harus tumbang. Geliatnya harus terhenti, karena banyak pengurusnya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

 

Sastra Jawa

 

            Seperti telah saya jelaskan di muka, bahwa Mojokerto punya sastrawati Jawa yang kondang dan sangat diperhitungkan jagad sastra Jawa, Ibu St. Iesmaniasita. Namun sayang banyak kawan sastrawan Mojokerto, tidak banyak yang mau menulis sastra Jawa. Jika saja  mau mencatat ada nama: Suyitno Etheks dan istrinya, Anjrah Lelono Brata, Nyitno Munadjad, Aming Aminoedhin (saya sendiri), dan beberapa nama (lupa penulisnya).

            Seiring dengan ulang tahun Ludruk Karya Budaya ke-55 tahun, tidaklah salah jika kita penulis yang punya bahasa Ibu bahasa Jawa; untuk mam]u menulis sastra Jawa, meski hanya berbentuk guritan.           

Persoalannya sebagai orang Jawa, sebaiknya bisa dan mau menulis dengan bahasa Jawa. Sebab, jika kita orang Jawa tak mau menulis dengan bahasa Jawa-nya, lantas siapa lagi yang bakal menulisnya? Jika perlu, barangkali dicoba ada semacam lomba baca guritan. Atau mungkin yang agak dekat dengan ludruk, lomba menulis parikan untuk kidungan.  Barangkali cukup menarik juga. Sesudah itu ada lomba menulis guritan lan cerita cekak, yang mana bisa menumbuhkembangkan sastra Jawa di kota Mojokerto yang punya ludruk Karya Budaya ini. Mengapa tidak? Toh…kita punya tokoh sastra Jawa; ada Nyitno Munadjat, Suyitno Ethex, dan Anjrah Lelono Brata.

            Mumpung ini pas ulang tahun Ludruk Karya Budaya, perlu dirancang mengadakan kegiatan guna merangsang anak-anak mau menulis sastra Jawa, seperti di atas. Tidak perlu mewah, sederhana tapi nyata hasilnya, anak-anak jadi kenal dan suka sastra Jawa.

            Ini hanya sebuah usulan yang barangkali bisa dilaksanakan di belakang hari, sehingga ketokohan St. Iesmaniasita, akan kembali muncul dari bumi Majapahit! Semoga!

 

Desaku Canggu, 25 Mei 2024

Aming Aminoedhin

 

 

 

AMING AMINOEDHIN, nama aslinya Mohammaa Amir Tohar. Lahir di Ngawi, 22 desember 1957 dari fakultas sastra, universitas sebelas maret solo. Aktif kegiatan teater, pernah menyandang predikat “aktor terbaik” festival drama se-jatim tahun 1983 dari teater persada ngawi, pimpinan mh. iskan. penggagas kegiatan malam sastra surabaya atau “malsasa” di DKS, serta “malsabaru se-jatim” atau ‘malam sastra bagi guru’ di balai pemuda surabaya. pernah pula diberi predikat sebagai ‘presiden penyair jawa timur oleh doktor kentrung, suripan sadi hutomo. Pensiunan dari balai bahasa jawa timur ini, sekarang ketua forum sastra bersama surabaya (fsbs), biro sastra dewan kesenian surabaya (dks), dan sekjen paguyuban pengarang sastra jawa surabaya (ppsjs). alamat: puri mojobaru az-23 canggu, kecamatan jetis, – mojokerto 61352  alamatnya di dunia maya: amri.mira@gmail.com atau aming.syair@gmail.com; rumah maya: amingaminoedhin.blogspot.com*

 



* Bahan diskusi “Jagongan Sastra” ulang tahun Ludruk Karya Budaya di Pondok Jula-Juli, Desa Canggu, Jetis,  Mojokerto – 28 Mei 2024

Sabtu, 19 Agustus 2023

PENGARANG KONDHANG ITU DJAJUS PETE

 

 

DJAJUS PETE PENGARANG KONDHANG

Oleh: Aming Aminoedhin

 

Pengarang sastra Jawa yang kreatif namun cukup nyentrik ini kelahiran kota Ngawi (1/8/1948), dan sejak umur 11 tahun ia pindah ke Bojonegoro. Ia seorang guru SD sejak 1971, dan pensiun pada 2008. Selain itu, Djajus pernah jadi wartawan Surabaya Post, Penyiar Radio Swasta di kotanya, Anggota PSJB (meski kemudian mengundurkan diri), dan pernah pula jadi Ketua Dewan Kesenian Bojonegoro.

  

Djajus Pete, dan rokok klobotnya; saat acara sastra di Ngawi. (Foto: AmAm).*                 

 

Karya sastra prosanya, berupa cerkak  (crita cekak) sungguh berbeda dengan tulisan cerkak pengarang lainnya. Keterkenalan nama Djajus Pete, memang lantaran nyentrik dan tulisan cerkaknya yang apik dan menarik. Selain juga dia seorang yang intens merokok klobot cak Oeloeng-Duku yang pabriknya dari Bojonegoro itu. Menurut Djajus, menulis sastra itu harus serius, simbolis-surealis yang dalam, dan penuh makna mengenai soal hidup dan kehidupan manusia. Sementara banyak pengarang-pengarang lain, tandas Djajus Pete,  biasanya mereka  ha-nya mengarang yang realis, gampang ditembak oleh pembacanya.

Pada awalnya, Djajus Pete, memang juga menulis sastra dengan jalur realis tersebut, kata Djajus, bahkan hingga 15 tahun berjalan. Demikian pengakuannya pada tulisan pendeknya, namun kemudian beralih ke aliran sastra simbolis-surealis yang lebih serius. Karya yang bisa ditangkap oleh pembaca yang cerdas dan tinggi cita rasa seni sastranya, tandas beliau almarhum.  Hal itu bisa dibaca pada karya-karya cerkak Djajus Pete pada kumpulan cerkak Kreteg Emas Jurag Gupit (2001), setahun kemudian  (2002) mendapatkan Hadiah Sastra Rancage yang diketuai Ajip Rosidi itu. Sepuluh tahun berikutnya, 2011, Djajus Pete kembali menerbitkan buku kumpulan cerkan berjudul Gara-Gara Kagiri-Giri, tetap dengan aliran yang sama: simbolis-surealis.

 Bicara soal penghargaam Djajus Pete pernah mendapat Balai Bahasa Yogyakarta, sebagai pengarang sastra Jawa terbaik 1998. Penghargaan sebagai budayawan pelestari/pengembang Sastra Jawa dari Bupati Bojonegoro tahun 2000. Bukunya Kreteg Emas Jurag Gupit ' dapat Hadiah Sastra Yayasan Rancage, Jakarta, yang diketuai Ajib Rosidi tahun 2002.

Buku terakhir yang terbit karya Djajus Pete adalah berjudul Manuk-Manuk Mabur (2020)  memuat 15 cerkaknya, yang kebanyakan yang termuat sudah termuat di buku kumpulan sebelumnya. Sementara itu atas kepergian sang maestro cerkak  ( meninggal dunia, 19/7/2022) ini, komunitas Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) menerbitan buku “Lelakon” Djajus Pete ing Antarane Para Kanca; yang berisi cerkak dan guritannya, juga tulisan para sastrawan Jawa lainnya yang ikut kirim esai pendek atau guritan untuk mengenang beliaunya. Mereka itu antara lain: Widodo Basuki, Aming Aminoedhin, Agus Sighro Budiono, Yusuf Susilo Hartono, JFX Hoery, Sunarko Sodrun Budiman, Trinilya Kasih, Tito Setyo Budi, Mas Gampang Prawoto, Uciek Fuadhiyah, George Quinn, Arieyoko dan banyak lagi.

 

Sedangkan cerkaknya berjudul 'Kakus' dapat hadiah sastra dari majalah Panjebar Semangat (1993) sebagai cerkak terbaik selama empat tahun dari cerkak-cerkak lain yang termuat di Panyebar Semangat pada  1989 hingga 1993. Begitu pula cerkak  'Bedhug" dapat hadiah yang sama dari majalah Panyebar Semangat (1997) sebagai cerkak terbaik selama empat tahun dari cerkak-cerkak lain yang termuat di Panyebar Semangat pada 1993 - 1997. Cerkak kak 'Tikus lan Kucinge Penyair' dapat hadiah sastra dari Sanggar Sastra Triwida, Tulungagung, tahun 1995. Pernah juga mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Timur, 2004, sebagai bidang Sastrawan Jawa.

     Djajus Pete yang rokonya khas rokok klobot cap Oeloeng ini, pernah menjabat jadi Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Bojongeoro, masa bakti 2001 - 2004. Pernah tahun 1999, baca cerkake di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada acara sastra Daerah. Waktu itu bersama almarhun Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (IKIP Surabaya) sebagai penceramah sastra Jawa. Lantas Widodo Basuki (redaktur Jaya Baya) baca guritan, juga Poer Adhie Prawoto dari Surakarta.. Jadi pemakalah dan narasumber tunggal penulisan sastra kreatif di sanggar-sanggar Sastra Jawa, di  Fakultas Sastra -Jurusan basa - sastra Jawa, IKIP Surabaya. Beberapa mahasiswa dari  IKIP PGRI Semarang, UGM Yogya, dan UNS Sebelas Maret Solo, yang menjadikan karya-karya Djajus Pete untuk objek penelitian skripsinya.

   Bersama kawan-kawan PSJB dari Bojonegoro sempat hadir acara di teras Arena Teater Taman Budaya Jawa Tengah ( Surakarta ), 18 April 2022 pada perhelatan Malam Sastra Jawa "Anggara Kasih 7 " di Solo.

    Dalam rangka mengenang 100 hari meninggalnya maestro cerkak Jawa, Djajus Pete, Komunitas Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) meluncurkan sebuah buku antologi bertajuk “Lelakon Djajus Pete Ing Antarane Para Kanca” pada Minggu (30/10/2022). Bertem-pat di kediaman pegiat sastra jawa JFX Hoerry, yang menginisiasi buku itu. Persisnya berada  di Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro.

Beberapa tokoh sastra Jawa ikut hadir dan berdiskusi waktu, antara lain: Dr. Tito  Setyo Budi ( Sragen), Dr. Rahmat Djoko Prakosa, Dr. Suharmono K dari PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), pengarang Sanggar Triwida Trenggalek, St. Sri Emyani;  Dr. M Shoim Anwar dari Unipa (Universitas PGRI Adi Buana) Surabaya, peneliti BBY Yogyakarta, Dhanu Priyo Prabowo dan banyak lagi. Djajus Pete bukan cuma pengarang cerkak, tapi juga penggurit atau menulis pula puisi berbahasa Jawa. Selamat jalan, Kang Djajus Pete. Semoga jembar lan padhang kuburane. Aamiin YRA. (Aming Aminoedhin).***

 


PUISI-PUISI MINGGU INI: GURITAN DJAJUS PETE

     Melengkapi tulisan mengenang sang maestro cerkak Jawa, Djajus Pete, berikut ini saya sertakan beberapa guritan beliaunya. Diambil dari buku: “Lelakon Djajus Pete Ing Antarane Para Kanca” terbitan Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro, 2022.

 

Djajus Pete

R O K O K

 

Asep-asep putih

Mertamu njero dhadha

Ngukungake oleh-oleh

Ing dluwang-dluwang burem dakseleh

 

Asep-asep putih

Pawewehmu ngebaki ati

Balungan prosa lan puisi

 

Yen sliramu ora mertamu

Utegku njendhel, drijiku kaku

 

 

 

Potret diri, sketsanya sendiri karya Djajus Pete. (Foto: Istimewa).*

 

Djajus Pete

LELAKON

 

Ana randha ayu moblong

Nyangking koper, menyang Hongkong

Luru sandhang lan pangan

Kanggo anake loro ing padesan

Blitar, Jawa Timur

Bale somah bubar, atine ajur

O…lelakon

Ping pindho atine ketaton

Oleh pacar mung seneng kelon

 

Surabaya nyimpen sacuwil crita

Pacare nggantheng, duweke wong liya

Saya kelara-lara

Mangkat lunga, golek tamba

 

                                    Agustus, 2010

 

Djajus Pete

KUNJARAN

 

Tlatah iki

Kunjaran sepi

Kunjaran Gusti

Tan bisa disingkiri

 

 

Kunjaran ikisepi

Njerone bangsane maling-maling kuthuk

Kapan koruptor ngringkuk

Kunjaran iki sepi

Awit bebener lan keadilan

Onya

Bareng gebyare mutiara

 

Dharma Kandha, Juli 1971

 

 

Djajus Pete

TILINGNA

 

Apa sing dioyak nabrak-nabrak, nerak-nerak

Ngoyak butuh mripat peteng ora weruh

Montang-manting

Kebanting-banting

Meksa ora eling

Endi sangumu kanggo bali yen wis titiwanci

Apa lali, durung kakupadi

 

Telingna swara kanthinira

Jroning ati nyuwara rina lan wengi

Dumeling nuntun ajak eling

Iku dalane rahayu

Ora bakal kleru

 

Tobo-Bojonegoro, 2010