GURITAN JAWA DIBEDAH ALA VIRTUAL
Oleh: Aming
Aminoedhin
Judul buku : Ajisaka
Angejawa
Kumpulan
Geguritan
Penulis
: Widodo Basuki
Kata Penganta : Dr. M. Shoim Anwar, M.Pd.
Sampul buku : Lukisan Ajisaka,
karya Widodo Basuki
Penerbit : TanKali,
Sidoarjo
Cetakan : I, Maret 2020
Tebal : xxix+66 halaman
ISBN : 978-623-7451-25-9
Terbitnya buku kala itu
atas prakarsa Yayasan Pinang Sirih
dan Dewan Kesenian Jawa Timur. Yayasan Pinang Sirih ini prakarsai
wartawan Tempo Biro Surabaya kala
itu, bernama Zed Abidin. Lantas dibedah di Graha Pena – Jawa Pos Surabaya. Nama-nama
pengarang hebat sastra Jawa lainnya:
Suparto Brata, Esmiet, Poerwadi Atmodihardjo, Suripan Sadi Hutomo, JFX Hoery, Suharmono
Kasijun, Anie Sumarno, dan banyak lagi. Belakangan banyak muncul yang lebih
muda, antara lain: Sunarko Sudrun Budiman, Bonari Nabonenar, Keliek Eswe, Nono
Warnono, Aming Aminoedhin, Herry Lamongan, Sumono Sandhyasmara, Sri Trinil
Setyowati, Gampang Prawoto, R. Djoko Prakosa, dan Widodo Basuki.
Nama yang saya sebut
terakhir inilah yang kini masih tetap eksis berkarya. Sementara yang lain,
sudah tidak begitu intens lagi menulis sastra Jawa. Entah ada apa dengan mereka
tak menulis lagi? Menariknya lagi, Widodo Basuki, adalah karya bukunya itu
dibedah melalui virtual/daring
mengikuti jejak zamannya.
Meskipun
hanya buku kumpulan geguritan, tapi tak ketinggalan ikut dibedah bukunya secara
virtual. Buku itu berjudul Ajisaka
Angejawa, karya penggurit peraih Hadiah Rancage tahun 2000, dari bukunya Layang Saka Paran (1999) berupa kumpulan
guritan.
Pada
masa pandemi ini, memang hampir semua kegiatan dilaksanakan melalui virtual,
baik itu berupa seminar/webinar, juga pentas seni. Seperti musik, tari, baca
cerpen-puisi, jaranan, nyanyi, dan entah apalagi. Begitu juga kegiatan bedah
buku kumpulan geguritan Ajisaka Angejawa
ini, diprakarsai oleh Bengkel Muda
Surabaya (BMS) dan Paguyuban
Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), menyelenggarakan zoom meeting bedah
buku, diskusi dan baca gurit yang ada dalam buku tersebut. Adapun pembaca guritnya
adalah: Dr. Sri Setyowati, M.Pd. (Dosen Unesa- Surabaya), Ucik Fuadiyah, M.Pd,
(Dosen Unnes – Semarang), R. Djoko Prakosa (Dosen STKW – Surabaya), Aming
Aminoedhin (Presiden Penyair Jawa Timur), Titiek Indri Soewari (Penggurit
PPSJS), dan Pipie Egbert (Penggurit PPSJS Surabaya).
Sedangkan
pembahasnya Dr. M. Shoim Anwar, M.Pd. cerpenis yang Dosen Universitas Adi Buana
Surabaya, dengan dimoderatori Riadi
Ngasiran – pemerhati budaya Surabaya. Jadwal acaranya digelar Sabtu, 14 Agustus 2020 pukul 19.30 WIB yang
lalu. Saat itu, tokoh yang ikut gabung
berdiskusi, ada: Sirikit Syah, Eka Budiata, dan Yusuf Susilo Hartono.
Dr. M. Shoim Anwar, M/Pd. dosen UNIPA Surabaya.
Selama
ini sastra Jawa memang kurang diperhatikan, kata banyak orang, bahkan sastra Jawa
serasa telah dipinggirkan sastra Indonesia yang menyeruak begitu hebat. Lajunya
perkembangan agak lambat, tapi mesti pelan tetapi ada orang Jawa tetap gemar
menulis dan membaca karya sastra Jawa. Ini terbukti majalah berbahasa Jawa,
masih tetap terbit dari Surabaya, yaitu Jaya
Baya dan Panjebar Semangat. Sementara
itu, di Jawa Timur sendiri, masyarakatnya
seba-gian besar, atau lebih dari 70% menggunakan bahasa pergaulan (lingua-franca)
bahasa Jawa.
Barangkali
kerja kreatif ini perlu diapresiasi tinggi, sebab masih ada orang menulis
sastra Jawa, di tengah gempuran sastra Indonesia yang begitu dahsyatnya itu.
Menulis sastra Jawa identik dengan ngleluri,
merawat bahasa dan budaya Jawa itu sendiri. Sebab sudah banyak keluarga Jawa,
yang tidak pandai berbahasa Jawa. Bahkan hilang bahasa Jawanya. Wong Jawa ora Jawa, alias orang Jawa
yang tak tahu kejawaaannya.
Adalah nama Widodo
Basuki, baru-baru ini menerbitkan buku kumpulan geguritan/puisi Jawa berjudul Ajisaka Angejawa. Orang Jawa kelahiran
Trenggalek, 18 Juli 1967 ini, berkerja sebagai wartawan yang sekaligus Redaktur
Pelaksana Majalah Berbahasa Jawa, bernama Jaya
Baya di Surabaya. Lulusan sarjana seni rupa dari Universitas Adi Buana Surabaya, dan juga STKW Surabaya ini, malah intens bergelut menekuni sastra Jawa.
Meskipun ia tetap melukis bertema wayang yang sering digarapnya. Maka tidaklah
salah apabila sampul buku guritannya ini juga dibuatnya sendiri. Sketsa-sketsa
yang ada dalam buku juga coretan sketsa garapannya.
Ikut membaca
guritan-guritan yang ada dalam Ajisaka Angejawa,
barangkali akan banyak kita dapatkan pesan-pesan pesan religiusitas Islami yang
ditawarkan penulisnya. Antara lain guritan berjudul: Swara Jang-krik Ing Masjid Nabawi, Ananing Konser Sukma Wengi, Gurit
Majing, Pungkasaning Gong Tinabuh, Mbima Suci, Kelir Pabaratan, Ing Makam Sunan
Giri, Udan Kapisan, Pinuji, lan Adus Wengi.
Menurut Dr. Suharmono
Kasijun. M.Pd, Dosen Universitas NU Surabaya (UNUSA), yang sekaligus ketua
PPSJS, mengatakan bahwa kehadiran buku ini merupakan bukti kesetiaaan dan
keseriusan Widodo Basuki dalam menekuni dunia puisi Jawa Modern. Waktu itu pula
telah membuktikan kesetiaaan dan keseriusan penggurit yang pernah mendapatkan
Hadiah Rancage tahun 2000 ini, sehingga bukunya dibedah secara virtual melalui
kerja sama Bengkel Muda Surabaya dan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya.
Buku Ajisaka Angejawa, adalah kumpulan
guritan Widodo Basuki yang kelima, sebe-lumnya telah menerbitkan berjudul Layang Saka Paran (1999) yang
mengantarkan ia jadi peraih Hadiah Rancage, Medhitasi
Alang-Alang (2004), Bun-Bun Tumetes
(2010) dan Bocah Cilik Diuber Srengenge (2011).
Widodo Basuki, raja gurit itu.
Jika
dibaca beberapa guritannya memang tertulis bertiti-mangsa di kota suci Mekah, sebab Widodo Basuki pernah umroh dan naik haji. Tidak salah jika tampak
religius beberapa tulisan guritannya. Sebagian yang lain bertiti mangsa Sukolegok, alamat rumahnya. Bungurasih, alamat katornya; dan Tlaga Unesa adalah kantor istrinya.
Serta Munjungan dan Trenggalek adalah
asli kampung kelahirannya.
Buku
Ajisaka Angejawa, adalah kumpulan
guritan Widodo Basuki yang kelima, sebe-lumnya telah menerbitkan berjudul Layang Saka Paran (1999) yang
mengantarkan ia jadi peraih Hadiah Rancage, Medhitasi
Alang-Alang (2004), Bun-Bun Tumetes
(2010) dan Bocah Cilik Diuber Srengenge (2011).
Widodo Basuki, penulis yang punya julukan Raja Gurit
Jawa Timur ini, sebagai
penggurit memang mempunyai kecermatan dalam mengolah
kata dalam guritannya. Beberapa naskah guritnya yang
temuat dalam buku kumpulan guritan ini cukup memberikan pencerahan bagi pembacanya. Tentunya, orang-orang yang
paham akan bahasa Jawa. Beberapa guritan nyemoni
(menyindir) bagi pembacanya, ditulis dalam sanepan
yang apik dan menarik.
Kembali ke persoalan
religiusitas karya guritannya, memang telah ia tulis dalam kata pengantar buku,
“ Yang terpenting guritan/puisi ini meruapakan seperti layar yang menyam-bungkan
hati penulis (Widodod Basuki) kepada sang Pencipta, Allah SWT.”
Barangkali saja, seharusnyalah
kita (terutama: orang Jawa) bisa mengapresiasi tinggi, buku Ajisaka Angejawa, dengan mau ikut membeli
bukunya. Setidaknya menghargai penulisnya yang masih setia mau menulis
geguritan (sastra Jawa) di tengah
jarangnya orang menerbitkan buku sastra berbahasa Jawa. Dengan membaca buku
ini, seakan kita akan ditelanjangi untuk mengaca diri yang ditawarkan lewat
sanepan-sanepan Widodo Basuki. Selamat atas terbitan buku baru bergenre puisi
Jawa yang langka ini. *(aa)
Mojokerto,
16/8/2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar