SASTRA PUISI TAK PERNAH MATI
TAK JUA TERTINGGAL DI ERA DIGITAL
Aming
Aminoedhin
Sastra itu berupa buku, bukan yang termuat di
majalah dan koran, kata Suparto Brata. Dan membuat kumpulan buku puisi bersama
kawan penyair lain termasuk buku sastra. Hal ini juga sekaligus menjawab
tulisan Suparto Brata yang mengatakan bahwa sastra itu buku, bukan koran dan
majalah. Sedangkan kawan-kawan penyair telah mau membukukan karyanya berupa
puisi itu dalam buku. Sastra itu buku, dan kumpulan puisi itu adalah sastra.*
Waktu
Lalu
Ketika tulisan sastra masih berjaya
dimuat koran dan majalah sekitar tahun 1970 hingga 1990-an, sungguh pengarang
berlomba menulis bisa termuat di koran dan majalah, teramat susah. Kenapa
susah? Selain menulis masih dengan mesin ketik manual, mereka harus masukkan dulu
ke amplop dikasih prangko, untuk dikirimkan ke kantor pos. Barangkali tidak
begitu susah, jika rumahnya dekat kantor pos, namun tidak bagi pengarang yang
tinggal di desa, dan jauh dari kan-tor pos itu. Teramat susah memang! Naskah
sudah jadi, dan telah berperangko di amplopnya, tapi belum bisa dikirim, karena
jauhnya jarak dari kantor pos. Baru sehari atau dua hari, bahkan seming-gu
berikutnya, baru bisa kirim ke kota di kantor pos.
Itu
gambaran kirim naskah karya sastra zaman dulu. Sekarang tinggal ‘klik’ tanpa
beran-jak dari rumah saja, terkadang masih malas membuat karya sastra. Bahkan
lebih suka bergunjing di dunia maya, bicara tanpa makna. Tanpa menulis sastra
lagi. Ah… waktu jadi sia-sia.
Di
era zaman internet ini memang hampir semuanya terasa mudah. Kirim surat dan nas-kah
karya sastra tinggal ”klik” dari rumah lewat laptop sudah sampai redaksi yang
dituju. Begitu mudah, dan sungguh pengarang dimanjakan teknologi internet ini. Tinggal
bagaimana kita bisa berkarya menulis sastra berkualitas, menunggu adakah
termuat di koran atau majalah atau tidak? Jika tidak, berati naskah karya
sastra belum baik. Pengarang harus menulis lagi, dan nge-‘klik’ lagi ke
redaksi. Gampang bukan?
Lalu waktu tahun 1970 s.d. 1990-an, di mana negara kita Indonesia tidak banyak punya
majalah seni dan budaya, terkhusus majalah sastra; maka koran-koran dan majalah-majalah
umum banyak yang memuat/menampung karya sastra. Jika mau menyebut majalah seni
budaya yang cukup punya nama di era Orde Baru (Orba), seingat saya ada Budaya Jaya dan Basis. Sedangkan majalah sastra satu-satunya hanya Horison.
Tulisan
ini hanya akan mencoba menyoroti karya sastra puisi segara global, dengan este-tika
dan dinamika penulisannya saja. Saya sadar tentu banyak lemahnya, tapi
setidaknya bisa jadi sepenggal catatan sejarah sastra kita.
Seiring dengan
terbatasnya majalah seni budaya dan sastra yang bisa memuat/menampung naskah karya
sastra pengarang yang banyak jumlahnya itu, maka koran dan majalah umum banyak
yang memuat karya sastra. Sekadar mencatat sesuai ingatan saja, bahwa
koran-koran yang memuat cerpen dan puisi, antara lain: Kompas, Suara Karya, Surabaya Post, Sinar Harapan, Berita Buana,
Swadesi, Suara Karya, Jawa Pos, Republika, Suara Pembaruan, Suara Merdeka,
Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, dan banyak lagi. Bahkan beberapa koran
ada yang memuat cerita bersambung, seperti: Kompas,
Sinar Harapan, Surabaya Post, Republika, Jawa Pos, dan entah koran apa lagi
(lupa?). Seingat saya nama-nama pengarang Jatim, ada: Suparto Brata di Kompas dan Republika, Hardjono WS di Sinar Harapan, Dukut Imam Widadodo,
Hardjono WS, dan Tan Tjin Siong di Surabaya
Post, dan entah siapa lagi (ini juga lupa).
Sementara
itu, majalah yang memuat cerpen dan puisi juga banyak jumlahnya, sebut saja
majalah wanita: Kartini, Femina, Putri
Indonesia, Gadis juga memuat karya sastra. Lalu majalah remaja semacam: Hai, Midi,
Putra Indonesia, Top, Anita Cemerlang, dan hingga majalah musik Aktuil dari Bandung juga memuat karya
sastra. Bahkan lewat penjaga gawang sastranya Remy Sylado (23761) melahirkan
trend genre puisi baru yang disebut sebagai ‘puisi mbeling.” Sungguh jagat sastra, pada saat itu sedang booming lahan untuk persemaiannya.
Sekadar contoh, saya muatkan beberapa naskah puisi mbeling karya Remy Sylado
itu.
Di Blok Apa?
Kalau
Chairil Anwar
binatang jalang
Di blok apa
tempatnya
di Ragunan?
Dua Daya
motivator
berbicara tentang
memberdayakan rakyat
koruptor
berbicara tentang
memperdayakan rakyat
Olahraga
olahraga
orang kota
mengangkat barbel
di fitness centre
olahraga
orang desa
memacul tanah
di sawah ladang
yang satu
mencari sehat
karena anjuran
yang lain
menemukan sehat
karena telanjur
1990
(Puisi disadur dan diunduh
dari http://kepadapuisi.blogspot.com, 14 Juni 2021)
Waktu
terus bergulir, bahwa puisi mbeling,
ternyata punya estetika tersendiri. Mungkin ada rasa guyonan, ada unsur
kritikan, berontak, dan terasa nakal, puisi seperti main-main dengan kata. Tak
salah jika disebutnya mbeling, yang
berarti nakal. Namun ternyata, genre puisi ini, ke-mudian banyak yang ikut menulisnya.
Diakui, dan termuat pada majalah dan koran di mana-ma-na. Bahkan Remy Sylado
sendiri, buat kumpulan puisi mbeling.
Laku jual, dan banyak yang beli, serta membacanya.
Pada
perkembangannya, sastra koran dan majalah juga mengalami kehilangan lahan subur
guna pemuatannya. Koran dan majalah cetak banyak bertumbangan, kalah dengan
internet. Kini redaksi koran dan majalah mulai banyak yang tak mau memuat lagi
karya sastra. Tidak hanya untuk memuat iklan, tapi redaksinya, merasa karya sastra
sudah banyak termuat di dunia internet. Kompas
dan Republika, koran nasional itupun menutup rubrik puisinya.
Untung masih mau memuat cerpen pada terbitan Minggu-nya.
Terlepas dari soal puisi mbeling, estetika sastra puisi
memang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Kita awali dari zaman
Chairil Anwar, yang membuat terobosan baru dengan
puisi-puisi
bebasnya. Tak mau menganut gaya penulisan lama semacam: pantun, syair, dan sonet,
guridam yang terlalu mengikat itu. Puisi Chairil menganut aliran yang ekspresionisme, berdasar gambaran ekspresi/letupan
jiwa yang meluap-luap dalam dirinya. Berikut ini puisi Chairil Anwar yang
terkenal itu:
Aku
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak
juga kau
Tak
perlu sedu sedan itu
Aku
ini binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Biar
peluru menembus kulitku
Aku
tetap meradang menerjang
Luka
dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga
hilang pedih peri
Dan
aku akan lebih tidak peduli
Aku
mau hidup seribu tahun lagi
(Diambil dari Deru Tjampur
Debu - Chairil Anwar, PT Pembangunan Jakarta, Cetakan ke-8 Tahun 1966,
hal 7)
SENJA DI PELABUHAN KECIL
*
buat Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap.
1946
(Diambil dari Deru Tjampur
Debu - Chairil Anwar, PT Pembangunan Jakarta, Cetakan ke-8 Tahun
1966, hal 39)
Perjalanan
waktu berikutnya ada penyair yang eksentrik bernama Sutardji Calzoum Bachri,
estetika puisinya juga mendobrak dan memberontak dengan membebaskan makna pada
kata. Dia bilang dalam kredo puisinya pada tahun 1973 di Bandung, yang
menyatakan: Menulis puisi bagi saya
adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya.
Pada mulanya adalah kata. Dan kata
pertama adalah mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata
kepada mantra. Berikut dua puisi Sutardji:
DENYUT
akan kau kau kan kah hidupmu?
kau nanti kau akan kau mau kau mau
takkan sampai sebatas allah
siapa yang tikam burung yang waktu
waktukutukku waktukutukku
waktukutukku waktukutukku
kapan kau sayap diamnya batu
battuba battubi battubu
yang langit yang gapai yang sangsai
denyutku denyutku denyutku
1973
P I L
memang
pil seperti pil macam pil walau pil
hanya
pil hampir pil sekedar pil ya toh pil
meski
pil tapi tak pil apalah pil
pil
pil pil mengapa gigil?
aku
demam pil bilang
obat
jadi barah
apakah
pasien?
tempeleng!
1976
(Amuk- Sutardji Calzoum Bachri, halaman
39)
Heboh
sastra puisi ini, bermula tulisan tuntutan Slamet Kirnanto berjudul ‘Saya Men-dakwa Kehidupan Puisi Indonesia
Akhir-Akhir ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek” (Buku Pengadilan Puisi, hal.12) yang mana di
dalamnya ada tuntutan berbunyi: Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti
perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya HB Jassin dan MS Hutagalung
harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki. (Pengadilan Puisi hal. 27).
Tak
ayal lagi, HB Jassin dan MS Hutagalung, jadi agak berang dibuatnya. Meski
Jassin tetap harus memertanyakan mereka yang terlibat dalam acara ‘Pengadilan Puisi Bandung’ pada akhir
tulisannya, “Sepuluh tahun lagi, siapakah yang masih bersuara di antara orang
yang ber-kaok-kaok sekarang ini, dan apakah prestasi yang telah mereka berikan
kepada kesusastraan Indo-nesia? (Buku Pengadilan
Puisi, hal.41). Sementara tulisan MS Hutagalung menjawab hal ini, antara
lain mengatakan, “Bahwa perkembangan puisi kita brengsek, dan ini adalah akibat
kesalahan para kritikus, sebenarnya tidak benar. Sudut pandang Kirnanto-lah
yang brengsek. Dan saya tidak sependapat pada pandangan Kirnanto, bahwa
seakan-akan perkembangan sastra hanya ditentukan oleh beberapa orang kritikus.”
Dari
alinea yang saya tulis di atas, tampak jelas memberi gambaran kepada kita
betapa hebohnya sastra Indonesia waktu itu. Sedang dalam acara “Pengadilan
Puisi Bandung” ini, yang mana ada nama-nama pengarang terkenal seperti: Sanento
Yuliman, Darmanto JT, Slamet Kirnanto, Taufiq Ismail, Saini KM, Handrawan
Nadesul, Adri Darmadji, Yudhistira AN, Wing Kardjo, Abdul Hadi WM, Sutardji
Calzoum Bachri, Sides Sudyarto DS; dengan terdakwa tunggal: Puisi Indonesia
Mutakhir.
Terlepas
soal puisi koran dan majalah, serta heboh pengadilan puisi di Bandung, yang
pasti kata Suparto Brata, dalam tulisannya berbahasa Jawa termuat di buku ‘Othak Athik Gathuk’ terbitan Paguyuban
Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Agustus 2018 lalu, mengatakan, “Wong pinter saindhenge donya iki mesthi maca
buku lan nulis buku. Mulane, duweni kabudayan maca buku lan menulis buku kuwi,
wujud lambarane lan sanggarane urip modheren.” (hal. 76-77). Lalu ditambahkan penegasan dalam kalimat
berbahasa Indonesia, “Berbudaya membaca buku berpotensi mengubah takdir
menjadikan hidup lebih semarak dan bahagia,” tandas beliau.
Pada
lanjutan tulisannya, beliau katakan, “Saka
pengalamanku kuwi bisa katitik yen anggonku tepung karo sastra kuwi ya saka
macani buku-buku. Mula tumrapku Sastra Kuwi Buku, lan Sastra Jawa Kuwi Uga Buku.
(hal. 79). Terjemahan bebasnya: Dari pengalamanku bisa saya lihat, bahwa saya
kenal sastra dari membacai buku-buku. Maka bagi saya Sastra itu Buku, termasuk
Sastra Jawa.”
Nah…. dari wejangan pengarang
ampuh, Suparto Brata ini, sastra koran dan majalah, boleh-boleh saja. Tapi yang
lebih utama adalah membuat buku sastra. Hal ini, sering beliau sampai-katakan
ketika saya bertemu beliau di mana saja. Termasuk ketika temu di Kongres
Kebudayaan Jawa di Lor-Inn, Surakarta beberapa tahun lalu.
Berangkat
dari sini maka, tak salah jika Chairil Anwar, WS Rendra, Remy Sylado, Sutardji
Calzoun Bachri, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, dan banyak lagi nama
penyair lain, membuat kumpulan puinya
masing-masing. Termasuk tidak salah ketika saya buat buku Malsasa (Malam Sastra
Surabaya) dari tahun ke tahun sejak 1989 hingga 2017. Membukukan puisi-puisi penyair
Surabaya dan Jawa Timur, tentang puisi bertema Surabaya. Bahkan pernah membukukan
pula, puisi pelukis yang juga penyair pada waktu itu.
Sekadar mengamati
melalui facebook saja, kita dapat
melihat beberapa lembaga dan komunitas sastra adakan kegiatan acara virtual.
Sebut saja: Univeritas Negeri Malang (UM), Uni-versitas Negeri Surabaya (Unesa),
Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas Indonesia (UI – Jakarta)
adakan bedah buku sastra via virtual. HISKI Bali bicara Sastra dan Pancasila,
dan mungkin masih banyak lagi. Lantas Tembi Rumah Budaya Yogya, lewat acara Sastra Bulan Purnama, berkali-kali
tampilkan Poetry Reading From Home, hingga
sampai ke-17 kalinya pada bulan Juni 2021 ini. Lalu Bengkel Muda Surabaya (BMS)
menggelar acara baca puisi vitual dalam rangka Ulang Tahun Kota Surabaya
bertajuk “Surabaya 728” peringati hari jadi Kota Surabaya ke-728. Materi
tampilan baca puisinya para penyair, seperti: Akhudiat, Aming Aminoedhin, Anang
Hanani, dan banyak lagi.
Di sisi lain berbagai
kegiatan lomba baca puisi dan pantun, juga diselenggarakan secara virtual:
Lomba baca puisi Pekan Seni Pelajar Surabaya, Lomba Tulis Baca Puisi
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Lomba Baca Puisi dan Pantun ala Dharwa
Wanita Persatuan – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Timur, Lomba Tulis Pantun – Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya – Kampus Kota Madiun,
dan banyak lagi.
Sementara itu, untuk
penerbitan buku sastra, utamanya puisi yang ajakannya melalui digital (facebook), banyak sekali jumlahnya. Jika
mau mengamati secara rinci, mungkin tak bisa saya lakukan dengan teliti dan
jeli. Tapi sekadar mencatat yang aktif terus bergerak cukup banyak. Sebut saja
komunitas laskar PMK (Puisi Menolak Puisi) telah menerbitkan berkali-kali puisi
soal tema korupsi ini. Komunitas yag dikomandani, Sosiawan Leak, terakhir menerbitkan PMK Ke-8 dengan tema ‘Korupsi
dan Korona” dengan peserta penyair se-Indonesia. Dapur Sastra Jakarta, yang
didengkoti Remmy Novaris DM
berkali-kali terbitakan buku puisi bersama komunitasnya. Bahkan pernah pula
terbitkan puisi reuni “Penyair Indonesia
Angkatan 1987 versi DKJ – TIM Jakarta,” kemudian dibacakan di Lampung dan
Tembi Yogya.
Lalu melalui Forum Sastra Bersama Surabaya
(FSBS), Aming Aminoedhin, pernah me-nerbitkan
Lukisan Puisi – Malsasa Sebelas,
bersama sebelas penyair Jawa Timur. Sedang pada Paguyuban Pengarang Sastra Surabaya,
dengan ketua Suharmono Kasijun, menerbitkan: Sandhal Jepit Taline Abang, Mlesat Bareng
Ukara, Gurit Bandha Donya, dan Othak-Athik Gathuk. Lantas da juga
Komunitas Lingkar
Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA) dan Era Buku Mojokerto yang dikomandoi Anjrah Lelono Broto, sudah berkali-kali
buat buku puisi dengan berbagai tema, baik puisi maupun guritan. Ada yang berjudul
: Narasi Bait Waktu, Maafkan Kata-kata,
dan Japa
Lampah. Pernah juga menerbitkan buku
cerpen dan opini bertema ‘Bijak dan
Cerdas Berliterasi.”
Komunitas Sastra Bulan Purnama (SBP) - Tembi Rumah Budaya Yogya, dengan jen-dralnya
Ons Untoro, juga menerbitkan buku
puisi seri, antara lain: Penyair dan
Rembulan, Ke-pada Hujan di Bulan
Purnama, Kepak sayap Waktu, dan Mata Air Hujan di Bulan Purnama, dan banyak
lagi. Sedangkan komunitasnya Tengsoe
Tjahjono, bernama Pentigraf (Cerpen
Tiga Paragraf), tak juga berhenti terus menerbitkan buku pentigraf-nya. Di
samping masih punya Teras Puisi Indonesia,
menerbitkan Putiba (Puisi Tuga Bait),
yaitu Puisi Corona dan Putiba Untuk Umbu.
Barangkali ini hanya catatan sebagian kecil
sastra puisi yang tetap eksis di era digital, dan tampilan baca puisinya lebih banyak
dilakukan di dunia virtual. Namun yang pasti harus diakui, bahwa sastra puisi
masih tetap ada. Bahkan banyak buku-buku puisi berbagai tema diterbitkan
penyairnya. Jangkauannya lebih luas pula, karena bisa dilihat di berbagai
tempat melalui internet, bukunya diisi karya penyair dari berbagai penjuru
daerah di Indonesia.
Hal ini juga sekaligus menjawab tulisan
Suparto Brata yang mengatakan bahwa sastra itu buku, bukan koran dan majalah.
Sedangkan kawan-kawan penyair telah mau membukukan kar-yanya berupa puisi itu
dalam buku. Sastra itu buku, dan kumpulan puisi itu adalah sastra.
Sungguh
sastra puisi tak pernah mati, dan tak jua mau tertinggal di era digital ini.***
Mojokerto, Desaku Canggu - 19 Juli
2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar