SEHARI BERSASTRA
MGMP–BI
SMP SE-KABUPATEN NGANJUK 2013
Pagi itu udara begitu cerahnya di kota Nganjuk, padahal
malamnya hujan turun begitu lebatnya. Hawa terasa sejuk, apa lagi melewati
persawahan nan hijau indah dipandang mata. Hati terasa tenang, mungkin juga
terasa tentram.
Hari
itu, Selasa, 29 Januari 2013, bertempat di pendapa Dr. Soetomo, Ngepeh,
Loceret, Nganjuk. Para guru sedang berkumpul di situ. Siapa mereka itu? Mereka adalah
forum MGMP Bahasa Indonesia – SMP se-Kabupaten Nganjuk.
Angin
semilir terasa segar menyapa. Ada yang bawa gitar, ada berbincang soal
pelajaran, dan ada juga menyayangkan tempat bersejarah yang kurang terawat itu.
Ada pula yang bicara perjalanan panjang forumnya yang hampir berakhir untuk
periode setahun berjalan lalu. Bahkan ada juga yang bicarakan apa yang terbaik
untuk langkah ke depan? Melanjutkan sua-temu, yang lebih kontinyu, atau buat
acara sastra yang lebih meninggalkan jejak hitam-putihnya. Membuat buku kumpulan puisi atau cerpen sendiri.
Ada
apa mereka itu? Ternyata mereka sedang mengadakan sua-temu seperti biasa mereka
lakukan, hanya saja kini bertajuk “Sehari
Bersastra bersama Aming Aminoedhin.”
Lantas
ada pertanyaan muncul, kenapa harus di pendapa itu, MD Yahya dan Khoirul, panitia acara, menjawab hampir secara
bersamaan, “Hal ini agar para guru juga mau datang ke tempat kelahiran pahlawan
bangsa ini. Sekaligus mengingat dan menghargai akan kebesaran sang pahlawan,
Dr. Soetomo. Selanjutnya, suatu hari mereka akan mengajak para siswa datang ke
pendapa ini.”
Pagi
itu diawali dengan laporan sang ketua panitia, lantas ada tampilan lima
komunitas guru tampil satu-satu bersama komunitasnya, membacakan puisi. Ada
juga tampilan komunitas ‘Musikalisasi Puisi Para Guru Nganjuk” yang pernah
menang di tingkat provinsi, ikut unjuk kebolehan bermusikalisasi puisi. Baru
kemudian tampilah Aming Aminoedhin,
presentasi bagaimana menilai lomba baca puisi, menulis dan baca puisi.
Ceramah
di depan para guru dengan gaya lesehan semacam ini, akan terasa cair, dan tanpa
jarak. Artinya, komunikasi guna pelatihan baca tulis puisi, akan lebih mudah
dicerna dan ditangkap makna ilmunya. Barangkali, penceramah lain, bisa terasa kikuk atau tidak nyaman guna presentasi, tapi bagi saya malah terasa enjoy, atau terasa nikmat dan
menyenangkan. Lebih lagi di ruang terbuka, angin akan membisiki kita dalam
menulis puisi.
Demikian
kata Aming, mengawali ceramahnya pagi
nan cerah waktu itu.
Lebih
lanjut, Aming menjelaskan tentang
bagaimanakah seseorang bisa jadi juri, dan bagaimanakah penilaiannya.
Menurutnya, dalam menilai segala jenis tampilan kesenian, baik itu: puisi, seni
rupa, tari, teater, dan yang lain; sebenarnya tidaklah tepat jika menggunakan
parameternya dengan angka. Sebab hasil karya seni, padanannya bukanlah bagus,
apik, sesuai dengan komposisi, interpretasinya bagus, dan lain sebagainya. Adapun mengapa mereka para juri
menilai dengan angka? Hal ini digunakan untuk memu-dahkan dalam penjuriannya,
lantaran acaranya adalah dalam rangka ‘lomba’ bidang seni. Lebih lagi, jika
dalam rangka ‘lomba’ tersebut bagi para siswa, dalam konteksnya dunia ‘pendidikan.’
Dalam perjalanannya, setiap dewan juri mempunyai subjektivitas masing-masing,
dan oleh karena subjektivitas individu juri, maka dalam setiap penjurian ‘lomba
seni’ selalu dipasang 3 (tiga) orang juri. Sebab, dari ketiga subjektivitas
penilaian juri tersebut, jika harus digabungkan, maka nilainya akan
menghasilkankan nilai objektif.
Barangkali
tidak hanya itu saja, prasyarat seseorang dijadikan juri. Mereka yang terpilih
jadi juri, seharusnya mempunyai kemampuan, keahlian di bidang penjuriannya.
Jika lomba puisi, maka bisa diambilkan penyair. Jika lomba cerpen, bisa
diambilkan cerpenis. Jika lomba nyanyi, bisa diambilkan pemusik yang mumpuni.
Jika teater, bisa diambilkan teatrawan, dst.dst. Di samping itu, seorang juri
haruslah jujur hati dalam penilaiannya, tidak berpihak, teguh dalam pendirian,
dan tidak goyah jika ada peserta yang mencoba menyuapnya. Selain
menerangjelaskan bagaimana penilaian dalam lomba baca puisi, juga memberi
contoh bagaimana membaca dan menulis puisi.
Sehabis
Aming Aminoedhin presentasi, kemudian
para guru ditugasi membaca dan menulis puisi. Ada yang malu-malu dalam
membacanya, ada juga yang sangat percaya diri. Sedangkan dalam penulisan
puisinya, rata-rata mereka sudah cukup bagus dalam tulisannya. Hanya saja,
mereka kurang percaya diri, untuk mau mengirimkan ke media-massa. Sehingga
nama-nama guru yang penulis sastra di kota Nganjuk tak terdengar.
Harapannya,
setelah mengadakan ‘Sehari Bersastra’ mereka (para guru Nganjuk) tak lagi
ragu-ragu mengirimkan karyanya di media-massa. Nama mereka harus mencuat, dan
bahkan harus naik-daun. Bahkan mungkin melebihi para penulis yang ada sekarang
ini.
Matahari
mulai bergeser ke barat, cuaca masih sejuk, sesejuk hati para guru yang tetap
gumuyu selepas pelatihan itu.
Mengakhiri
acara, mereka berfoto bersama dengan sang penyair Aming Aminoedhin, lantas pulang dengan membawa segerobag impian
untuk tetap menulis, membaca, dan mengajarkan puisi pada anak-anak didiknya.
Semoga! (aulia alamanda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar