esaiku tentang pahlawan:
SUMPAH TUGU PAHLAWAN*)
oleh: aming aminoedhin
Tahukah kau kawan, bahwa
Tugu Pahlawan yang berdiri tegak menjulang di tengah kota Surabaya itu punya
makna arti tersembunyi? Demikian tanya seseorang kawan dari Ngawi, guna
menikmati dan melihat dari dekat tugu
pahlawan itu, pada saat tiba senja ketika ia berkunjung di Surabaya.
Terpaksalah saya jadi
semacam orang pintar, dan menjawab pertanyaannya, dengan menjelaskan,
bahwa angka 17 diwakili oleh alur badan
tugu yang tegak berjumlah 17, ini
sekaligus memberi makna tanggal kemerdekaan kita. Sedang angka 8 sebagai makna
bulan Agustus, diwakili oleh segi delapan pada dasar tugu; dan angka 45 sebagai
tahun kemerdekaan RI diwakili oleh tingginya tugu Pahlawan itu.
Padahal secara historis, sebenarnya pendirian tugu
Pahlawan, adalah untuk mengabadikan sejarah pertempuran 10 November 1945, yang
sangat heroik tersebut. Secara historis pula, bahwa pendiriannya adalah
ide dari presiden pertama, Ir. Soekarno,
yang meletakkan batu pertamanya pada tanggal 10 November 1951. Saat itu
bertepatan dengan peringatan keenam pertempuran Surabaya, yang mana koran ‘Times’ terbit di London, 13 dan 14 November 1945 lalu, menulis bahwa,
“Perlawanan Indonesia di Surabaya
dilaporkan semakin gigih. Diberitakan pula bahwa pada Minggu malam,
wanita-wanita Indonesia ke luar dan menyelamatkan jenazah-jenazah kaum
prianya.”
Terlepas dari semua itu,
arek-arek Suroboyo, saat itu, memanglah pantang menyerah ketika mempertahankan
bumi tercintanya. Bahkan mereka bersumpah tak sejengkal pun tanah akan
diberikan penjajah. Sumpah itu pula yang membikin seorang tentara sekutu, Brigadir Jenderal AWS Mallaby tewas di
tangan arek-arek Suroboyo.
Sejarah perjuangan
arek-arek Suroboyo inilah yang merupakan catatan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia yang tiada tanding, tiada banding. Sebab hampir semua rakyat dari
berbagai suku: Jawa, Madura, Bugis, Ambon dan suku yang lain ikut cancut
tali-wanda, atau menyingsingkan lengan baju untuk maju melawan Belanda.
Dari tukang becak, tukang sayur, kuli pelabuhan, pegawai pemerintah, dan yang
lain ikut serta turun ke jalan; baik laki-laki maupun perempuan. Sungguh luar
biasa!
Api sejarah inilah yang
kemudian dicatat sebagai “Hari Pahlawan” yang kemudian diperingati setiap
tahunnya. Kegigihan para pahlawan tanpa pamrih inilah yang seharusnya kita
teladani, dan bukan malah kita khianati dengan melakukan korupsi.
Persoalan yang kini muncul
sekarang adalah masih segigih itukah pemuda Surabaya dalam menyikapi komunitas
dan negaranya Indonesia ini. Masihkah bisa berkata yang benar adalah benar,
yang salah adalah salah?
Sebuah tanya yang
barangkali pemuda Surabaya sendiri yang akan menjawabnya.
Adakah pemuda dan para
siswa, bahkan mahasiswa, masih menganut tawuran antarkelompok, atau tawuran
antarsekolah yang sering terjadi akhir-akhir ini. Sebuah perbuatan yang tidak
terpuji, dan sering kita lihat di televisi. Lantas, adakah pemuda yang
berpredikat “boneks” dengan tingkah lakunya yang beringas melempari orang lain
di setiap stasiun, akan masih dipertahankan. Atau membuat “boneks” dengan
paradigma baru, yang santun dan menyenangkan, ketika ‘Persebaya’ harus
mengalami kekalahan dalam laganya. Ini adalah pilihan yang mulia.
Barangkali pilihan kedua,
yang lebih baik untuk dilakukan. Kenapa tidak?
Kini para pemuda Surabaya
haruslah instropeksi diri, kegagahan dan kegigihan para pemuda pejuang 10
November 1945 lalu, bisa menginspirasi jadi tolok ukur melangkahkan kaki pada
saat ini. Berjuang tanpa pamrih, bekerja dengan rasa ikhlas tanpa pretensi
apa-apa.
Mereka para pemuda, siswa,
dan mahasiswa, seharusnya tidak lagi menganut tawuran antarsesama, apa lagi
berbuat sesuatu yang tidak terpuji melempari apa saja yang membuatnya beringas
tak terkendali. Lebih lagi, baru sebulan lalu, kita telah peringati: Hari Sumpah
Pemuda, yang sumpahnya berbunyi: kami
putra putri Indonesia bersum-pah, bertanah air satu tanah air Indonesia,
berbangsa satu bangsa Indonesia, dan men-junjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Menyikapi perkembangan Indonesia akhir-akhir ini,
di mana banyak terjadi tawuran antarpelajar dan mahasiswa, banyaknya para
pejabat korupsi, dan bahkan para anggota dewan minta upeti; maka seharusnya
kita kembali untuk menggenggam api sejarah para pahlawan yang telah berjuang
pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya tadi. Berjuang tanpa pamrih,
bekerja tanpa pretensi apa-apa.
Barangkali pula, akan
lebih baik kita 'Bersumpah Tugu Pahlawan,' kata kawan saya dari Ngawi tadi,
yang menurut dia isinya berbunyi: tidak akan tawuran, tidak akan korupsi, dan tidak
minta-minta upeti lagi.
Hal ini mengingatkan saya
puisi Toto Sudarto Bachtiar, yang bait pertamanya berbunyi: //Sepuluh
tahun yang lalu di terbaring/Tetapi bukan tidur, sayang/Sebuah lubang peluru
bundar di dadanya/Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang//.
Dari potongan puisi itu,
menurut saya, kita sekarang memang sedang perang melawan keangkuhan, perang
melawan ego kita sendiri, perang melawan korupsi, dan perang melawan
kesewenang-wenangan. Kita sedang perang!
Senja jadi petang, dan
gelap malam telah tiba, Tugu Pahlawan, masih tegak terkena percikan sinar
lampu-lampu di bawahnya. Tegak gagahnya, seperti berkata, lanjutkan sumpah
pahlawanmu!
Saya dan teman dari Ngawi
meninggalkan tugu yang punya sejuta api sejarah itu, sambil merenungkan guna
mengajak pemuda, mahasiswa, dan siswa bersumpah tugu pahlawan! Tawuran,
korupsi, dan minta upeti harus kita lawan!***
Desaku
Canggu, 10 November 2012
*) artikelku yang tak sempat termuat di koran dan majalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar