Sajak-sajak Malsabaru 2011:
BERGELUT DENGAN KETEGANGAN
WAKTU
Oleh: DR. M. Shoim Anwar, M.Pd.
Malsabaru
2011 adalah sebuah kumpulan puisi yang menghimpun 117 karya dari 41
penyair. Dari sejumlah puisi tersebut,
23 puisi ditulis dalam bahasa Jawa (geguritan)
dan yang lain berbahasa Indonesia. Para penyair yang terlibat juga lintas
generasi, berawal dari generasi Akhudiat (mulai berkarya 1970-an) hingga
generasi Sumono Sandy Asmoro (mulai berkarya 2000-an). Judul Malsabaru adalah kependekan dari “Malam Sastra Bagi
Guru” sehingga para penyairnya sebagian besar berprofesi sebagai guru/dosen,
sebagian yang lain “pernah mampir” sebagai guru. Buku ini terbit tahun 2011
dalam rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei.
Tampak ada usaha secara tematis dalam penerbitan dan pembacaan puisi-puisi
tersebut. Akibatnya, puisi-puisi yang terkait dengan pendidikan (formal)
umumnya sengaja ditulis pada bulan Maret-April 2011 untuk memenuhi hajatan yang
dimotori oleh penyair Aming Aminoedhin tersebut.
Tesis yang perlu diajukan adalah, meski
berprofesi sebagai guru/dosen, pada awalnya para penyair umumnya kurang tertarik dengan permasalahan
pendidikan sebagai basis kreatifnya. Andai tidak dipesan secara khusus, mungkin
mereka tidak/belum menuliskannya. Tanggal penulisan puisi-puisi dalam buku ini
menunjukkan bahwa sebelum itu mereka mungkin tidak punya stok puisi tentang
dunia pendidikan. Ini agak berbeda dengan dunia buruh. Para penyair yang
berprofesi sebagai buruh industri umumnya basis kreatifnya bertolak dari dunia
perburuan yang mereka lakoni, seperti tampak pada puisi-puisi Wiji Thukul,
Wowok Hesti Prabowo, Jumari H.S., Yudhi M.S., Dingul Rilesta, Aris Kurniawan,
Husnul Khuluqi, Mahdiduri, serta mereka yang berasal dari buruh migran. Para
buruh, beserta komunitas yang dibangunnya, memperlakukan puisi sebagai sarana
advokasi.
Studi sosiologi sastra yang dilakukan
oleh Jakob Sumardjo (1981) menunjukkan bahwa profesi sastrawan Indonesia
sebagian besar adalah wartawan dan guru/dosen. Kenyataan ini kemungkinan besar
masih berlaku hingga saat ini. Uniknya, sangat jarang para sastrawan yang
berprofesi sebagai guru/dosen basis kreatifnya mengeksplorasi dunia pendidikan
yang mereka geluti. Mereka lebih tertarik pada tema-tema personal dan sosial
secara umum. Para penyair dalam buku ini seperti Akhudiat, Arim Kamandaka,
Herry Lamongan, Kusprihyanto Namma, Tengsoe Tjahjono, Tjahjono Widarmanto,
Tjahjono Widijanto, Saiful Hajar, dan Suharmono Kasiyun sudah begitu dikenal
sebagai guru/dosen, tapi karya-karya mereka boleh dibilang sepi dari tema-tema
dunia pendidikan formal. Mungkin bagi mereka pendidikan dapat dikaitkan
dengan kehidupan seluas-luasnya. Dengan
demikian advokasi dan eksplorasi terhadap profesi juga tidak dilakukan secara
eksplisit dalam puisi.
Terkait dengan dunia pendidikan,
dalam buku ini terdapat puisi yang menarik, ditulis oleh Kusprihyanto Namma.
Puisi berjudul Epik Sang Guru ini
memang sederhana, tapi sangat kritis, agak nakal, serta aktual. Perkenankan
saya menampilkannya secara utuh.
Yang
paling menyedihkan adalah
menjadi pengawas Ujian Nasional
tak bisa menolak tugas
tak berani melanggar sumpah
datang pagi-pagi
telinga harus siap diceramahi tiap
hari
Menghadapi siswa di kelas sunyi
tak tahu harus bagaimana
berdiri salah
berjalan salah
mengantuk salah
menegur siswa yang bertingkah pun
salah
Siswa yang biasa dimanja
berbekal air mata
mengadu dengan sedu sedan
guru yang mengawas silang
jadi bom mengancam
balas dendam mesti dilaksanakan
Pengawas-pengawas ruangan
memilih jalan aman
membiarkan kecurangan mekar
dalam pot-pot kebohongan
dalam mata terpejam
hati dirajam-rajam
Ngawi, 2011
Keaktualan puisi di atas tak
terbantahkan. Isu dunia pendidikan hingga hari ini masih berkutat pada masalah ujian nasional. Meski penyair
terlibat di dalamnya, sebagai subjek yang tertekan (istilah Gayatri Spivak: subaltern), dia berani
mengambil sikap kritis dengan membocorkan permasalahan pelaksanaan ujian
nasional. Ujian nasional di satu sisi menjadikan guru berada dalam situasi
poskolonialisasi karena tekanan-tekanan dan supremasi birokrasi. Sebagai
penyair, Kusprihyanto “berani melanggar sumpah” karena suara “hati dirajam-rajam”. Terjadi situasi kontradiktif dalam dunia
pendidikan. Nilai-nilai moral dan kejujuran yang seharusnya ditegakkan justru
dicampakkan atas nama ujian nasional. Idealisme tergeser oleh pragmatisme.
Ketegangan antara dua kutub yang tak mungkin disatukan. Hal demikian disuarakan
pula oleh Sumono Sandy Asmoro lewat puisi Ngungak
Ilmu, di mana ujian nasional hanya memunculkan keheranan, seperti menanggap
permainan sulap, nilai moral telah tercampakkan: “ah, jebul mung kebak pangeram-eram/kaya candrane wong mbarang
sulapan/ireng putih wis dudu ukuran.”
Citra guru “tradisional” yang baik dan
stereotipe sudah jamak kita dengar, sederhana, tekun, dan tulus dalam mengabdi
sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Hal demikian tampak pada puisi-puisi Bhen Mul Wae, Herry Lamongan, Imam
Hariadi, Junaedi Haes, L. Machali,Tjahjono Widijanto, Uyun S. Wahyuni, dan Zoya
Herawati. Pelukisan Tjahjono Widijanto dalam puisi Monolog Senja Seorang Guru Pada Muridnya, kiranya mampu mewakili
stereotipe ketulusan seorang guru: “Anak-anakku,
aku selalu mencintaimu/maka kupinta tiap butir keringatku menjelma
untukmu/berlarian menembus pintu langit-langitNya.” Sebuah ungkapan cinta
yang mendarah daging, seperti juga puisi Surat
Cinta karya Rendra.
Lewat puisi Oemar Bakri Masa Kini Aming Aminoedhin justru menyentil perilaku
guru yang berada dalam ketegangan antara melaksanakan kewajiban dan gaya hidup.
Terjadi gegar budaya ketika teknologi yang mestinya menjadi media untuk meraih
kemajuan justru membuat lalai. Mendidik telah digeser menjadi sekadar “memberi instruksi” karena waktu habis
disedot teknologi. Kehidupan terkepung karena konsumerisme yang kemaruk. Kredit
benda-benda teknologi menjadi piranti meraih identitas baru. Aming
menggambarkan guru yang ketagihan “chatting
via facebook” tak ubahnya anak kecil yang tak mau lepas dari mainannya.
Sebuah penggambaran yang enjoy, tapi ironi. Suasana ambigu ini pula yang
ditulis Tengsoe Tjahjono melalui puisi HP dalam Perutku. Betapa konsumsi
terhadap produk teknologi menjadi susah
ditampik. Simbolisme teknologi dihadirkan dalam suasana yang akut. Ketegangan
waktu menjadi rahasia yang ingin disembunyikan, tapi meronta karena kendali tak
sepenuhnya dikuasai: “ayo, taklukkan
waktu untuk bertemu”. Konstruksi
hidup menjadi penuh warna sekaligus penuh masalah: “sinyalnya tak pernah binasa diremas basah darah”. Kehidupan menjadi seperti mimpi, tak
berpijak, ruang publik dikonstruksi oleh produk teknologi. Arim Kamandaka dalam
puisi Kampung Mimpi menarasikan bahwa
“ibu dan guru bukan lagi
dipercayai/televisi telah mengusirnya/merebut generasi dan menjadi bagian
diri/di kampung ini/lebih suka mimpi ketika yang nyata tak dapat dirasa”.
Pada puncaknya demoralisasi dan pornografi merebak lewat dunia maya
seperti diungkap pada puisi Dzikir Miyabi
karya Anas Yusuf.
Meski
puisi “pesanan”, karena sebagain besar penyairnya terlibat di dalamya,
karya-karya tersebut tetaplah autentik karena telah mendarah dan mendaging
dalam diri penyair. Guru dalam lintasan waktu berada dalam ketegangan antara dua kutub. Nilai-nilai dan idealisme
harus bertarung dengan kenyataan yang makin liar. Fenomena demoralisasi menjadi
sumber ketegangan yang dahsyat. Ketegangan ini mengejawantah dalam berbagai
bentuk. Di satu sisi juga terjadi
ambiguitas antara tradisi dan modernitas. Nilai-nilai dipertanyakan
kembali. Aktualisasi sebuah
identitas terus berproses dalam sirkuit
budaya. Lewat puisi Perayaan Kartini Faradina Idzihary memberikan contoh kasus
yang menarik: “Aku bosan, setiap tahun dikirimi sesaji/tubuh seksi dan bedak kinclong
kayak banci/Rengkuh mereka!”/Kau lihat?/Kartini melempar kebaya dan kain
panjangnya.
Konteks ketegangan waktu bukan
hanya terjadi pada pada puisi-puisi
dengan tema dunia pendidikan. Sebagian besar puisi dalam buku ini
menyuarakan ketegangan dalam berbagai kasus. Akhudiat membuka buku ini dengan
puisi Rinduku Padamu. Keberadaan pohon randu di masa lalu dirindukan
oleh penyair secara nostalgik. Waktu telah menggerusnya. Puisi yang terdiri
atas empat bait dan sebelas baris ini mengulang pernyataan “rinduku padamu rindu pohon randu”
sebanyak empat kali. Sebuah repetisi
yang memperkuat ketegangan antara masa lalu dan masa kini. Sajak ini
mengingatkan saya pada sajak Taufiq Ismail tahun 1970-an, Beri Daku Sumba, yang baris pertamanya adalah “Rinduku
pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka”. Taufiq mengulang pernyataan
rindu semacam itu sebanyak lima kali sebagai penekan.
Seperti juga Akhudiat, nuansa
kerinduan dengan alam ditulis pula oleh Mh. Iskan lewat Sajak
Kapuk Randu dan R. Djoko Prakosa
lewat sajak Kembang Jagung. Iskan mengurai kerinduan kepada akar budaya
yang cenderung ditinggalkan, sedangkan Djoko Prakosa rindu pada kekasih masa
lampau. Alam sebagai simbol menjadi piranti untuk masuk ke masa silam. Waktu
yang meretas menyebabkan ada yang hilang dalam hidup ini. Ada romantisme yang
kadang terasa perih, antara keinginan dan kenyataan menciptakan jarak yang kadang tak tersentuh. Jarak yang
menjadikan kegagalan indah dalam hidup, kegagalan abadi yang romantik. Sajak Mimpi dari Akhudiat menggambarkan: “Hidup berkepanjangan/Mimpi
berlembar-lembar/Kuyup keringat, darah, dan air mata/Dijemur matahari/Menjadi
kain warna- warni.”
Ketegangan waktu antara masa lampau dan
masa kini, yang tak mungkin kembali, adalah hakikat hidup. Keinginan kembali ke masa lampau menerbitkan
suasana batin yang haru. Pengalaman-pengalaman masa kecil jadi rentangan hidup yang romantik ketika dipandang di masa
kini. Sajak yang mengharukan dari Suharmono Kasiyun, Sumoroto Cumanthel Atiku,
menyentuh karena jarak mampu membiaskan pengalaman batin. Masa kecil
menjadi sangat berarti di masa kini. Maka, ketika usia senja tak dapat
ditampik, kita merasa kehilangan luar biasa saat hal itu terjadi pada sosok
ibu. Orang yang kita cintai dan membesarkan hidup kita dengan susah payah mulai
lupa karena ingatannya tak mampu bertahan melawan waktu. Sekali lagi, lewat
sajak Nalika Tilik Ngomah, suasana
mengharukan dihadirkan oleh Suharmono Kasiyun: “Nalika tilik ngomah lan sungkem ing ngarsamu/”panjenengan sinten?”
ukara iku metu saka tutuke ibuku/sumendhal kekejer rasane atiku.” Suasana seperti itu juga terasa dalam sajak Wuk...! karya Ary Nurdiana,
sosok ibu tercinta yang selalu memanggil dengan penuh kelembutan telah
tiada. Masa lalu hadir dengan penuh kesenduan.
Dalam rentang ketegangan waktu ibu
adalah citra. Dalam kedudukannya sebagai citra dia adalah sempurna dan tanpa
cela. Masa lalu bersama ibu adalah monumen paling berharga. Seperti juga
Suharmono dan Ary Nurdiana, Tjahjono Widarmanto mengendapkannya dalam
puisi Mata Ibu (1dan 2), bahkan dalam sajak Monolog Ibu Malin Kundang
citra ibu tidak lagi dilukiskan mengutuk anaknya yang durhaka sehingga
jadi batu, tapi penuh dengan kesabaran dan keikhlasan: “Malin, tak mungkin kukutuk engkau/sebab engkau adalah anakku”. Penyair berusaha memecah mitos waktu yang membatu menjadi tafsir baru.
Masa kini hadir tidak sesuai harapan.
Ada luka dalam rentang sejarah. Kehidupan dengan segala persoalan di masa
kini menjadi cermin buram yang merusak
masa lampau. Maka lahirlah puisi-puisi protes sosial yang keras seperti Demi Masa (Anas Yusuf), Nyanyian Sunyi Sang Guru (Junaedi
Haes), Epik Sang Guru (Kusprihyanto Namma), Pelajaran Pribadi (L. Machali),
Maknai Arti (Masyuns), Negeri Ilalang (Eko T.SS), Nyanyian Si Fakir dan Anak-anak Jalanan (M. Tauhed Supratman),
Peluru (Saiful Hajar), Tamparan (Upiek Karang Langit), Bagi Guru 2 dan Padang Ilalang (Zoya
Herawati), Buta Teror (Bonari Nabonenar),
Gurit Perang Brubuh dan Nalika Aku Munggah Ing Sitinggil (Davit
Harijono), demikian pula puisi Ngulak Ilmu dan Jam Guru (Sumono Sandy Asmoro).
Puisi mengajak hidup lebih berarti.
Demi waktu manusia dalam keadaan merugi. Maka mencuci diri menjadi keniscayaan
untuk mengatasi ketegangan waktu. Sebagian puisi-puisi Bambang Kempling, Chamim Kohari, Faradina
Idzihary, Doyok M. Imron, Iman Ghozali AR, Pringgo Hr, Suyitno Etexs, Uyun S.
Wahyuni, R. Giryadi, Budi Palopo, Jarot Setyono, dan Widodo Basuki mengajak
kita untuk mengingat dan mengendapkan perjalanan waktu lewat berbagai
simbol. Hampir semua puisi dalam buku
ini baris-baris terakhirnya juga menyeru kembali tentang hakikat hidup yang
pasti dikalahkan oleh waktu. Ada amanat
yang diselipkan sebagai konvensi sastra. Di sini puisi hadir bukan sekadar
sebagai ekspresi, tapi juga menggiring ke transendensi. Betapa nggombalnya sebuah puisi, ia tetap punya
sisi yang berarti.
Ketegangan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan kebudayaan.
Waktu menjadi ajang bersabung antara masa lalu dan masa kini. Meski tidak
berjalan linier, sejarah tidak meluncur sendiri. Manusia berada dalam
posisi antara subjek dan objek. Oposisi
biner muncul dalam berbagai bentuk. Ketegangan tak terhindarkan. Masa lalu dan
kini, harapan dan kenyataan, idealisme dan pragmatisme, juga jasmani dan rohani dihadirkan lewat
puisi sebagai konsekuensi wacana kehidupan. Maka, betapa nggombalnya sebuah puisi, ia tetap merupakan bagian dari kehidupan
kita.
Surabaya, Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar