Majalah
bahasa Jawa
TETAP TERBIT
HINGGA KINI
Oleh: Aming
Aminoedhin
Di tengah gempuran zaman milenial dan digital ini,
ada dua majalah berbahasa Jawa tetap terbit hingga kini. Dua majalah itu
Panjebar Semangat dan Jaya Baya, dan kebetulan terbitan dari Jawa Timur, di kota
Surabaya. Kota metropolitan kedua Indonesia ini masih jadi barometer sastra
Jawa tetap eksis keberadaannya. Ampuh tenan!
Jika kita mau bicara soal koran/majalah
berbahasa Jawa, maka di Jawa Timur, punya nama majalah yang tetap eksis hingga
kini; adalah ‘Panjebar Semangat’ dan ‘Jaya Baya.’ Keduanya telah berusia cukup
tua. Sementara itu di kota lain Solo dan Yogya sudah ada yang harus gulung
tikar. Di kota Yogyakarta ada Mekarsari dan
Djaka Lodang, di Solo ada koran Dharma Kandha, Dhama Nyata, dan Jawa Anyar. Majalah Mekarsari kini hanya jadi berupa sehalaman di koran Kedaulatan Rakyat, seminggu sekali.
Menyedihkan. Sementara majalah Djaka Lodang
masih eksis hingga sekarang; sedangkan tiga koran Solo berbahasa Jawa itu telah
tumbang semua.
Padahal menurut catatan Suprawoto
(pakar komunikasi, kini Bupati Magetan), sejarah
perkembangan pers Jawa di Indonesia, bahwa pers berbahasa daerah pertama kali
terbit di Surakarta, tanggal 29 Maret 1855 adalah Bromartani dengan menggunakan medium bahasa Jawa dan huruf Jawa. Bromartani yang berbentuk majalah terbit
seminggu sekali.
Jawa Timur boleh bangga punya Majalah Panjebar
Semangat, yang terbit pertama kali sejak tanggal pada tanggal 2
September 1933. Sementara itu, majalah bahasa Jawa lainnya dari Surabaya, adalah Majalah Jaya
Baya, yang terbit sejak tanggal 1 Desember 1945.
Pendiri majalah ini, Dr. Soetomo, yang berinisiatif menerbitkan mingguan
berbahasa Jawa, bernama Panjebar Semangat,
sejak tanggal 2 September 1933.
Adanya
penerbitan majalah berbahasa Jawa ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas
tidak adanya bacaan untuk rakyat Jawa, yang pada
waktu belum bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, apa lagi berbahasa Belanda.
Dalam penerbitannya majalah Panjebar
Semangat menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko (bahasa Jawa kasar) yang biasa
digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Pemilihan ini dikarenakan lebih
mudah, lebih demokratis, serta lebih
dapat dimengerti oleh masyarakat Jawa secara luas.
Penamaan
majalah Panjebar Semangat ini
diberikan oleh Dr. Soetomo dengan harapan agar majalah ini dapat menyebarkan
dan membangkitkan kesadaran membaca, serta semangat yang dapat melahirkan
bangunan bangsa, mengabdi pada kebenaran, tunduk pada kesucian, dan menyerah
pada keadilan. Harapan lain dari Dr. Soetomo, agar masyarakat di pedesaan yang
tidak dapat berbahasa Indonesia, apa lagi bahasa Belanda tetap dapat memperoleh
pengetahuan dan wawasan sehingga mereka dapat memberikan kemajuan untuk nusa
dan bangsanya.
Semboyan
majalah Panjebar Semangat yang
berbunyi ‘Sura Dira Djajaningrat Lebur
Dening Pangastuti’ mempunyai arti harafiah bahwa ‘segala kekuatan negatif
yang ada dalam masyarakat bisa ditaklukan dengan lemah lembut, dan penuh sopan santun, merendah, dan bijaksana.’
Motto atau semboyan tersebut, menurut Dr. Soetomo, cukup baik dan sekaligus bijak, serta menghilangkan rasa feodalisme di tengah masyarakat.
Jaya Baya
Pendirian
majalah “Jaya Baya,” seperti halnya majalah “Panjebar Semangat” yang mana tidak bisa dilepaskan dari beberapa nama tokoh
pejuang Indonesia. Mereka para pendiri majalah ‘Jaya Baya’ ini
adalah para pejuang, antara lain: Soewandi Tjitrawasita (ayah Totilawati
Tjitrawasita), Tadjib Ermadi (seorang guru Taman Siswa), dan Wasis (pimpinan
Pemuda Republik Indonesia Kediri). Pengelola pertama majalah ini adalah
Djasmadi (bekas anggota Shu Sangikai Muspida Karesidenan Kediri) sebagai
direktur, Tadjib Ermadi, Soewandi Tjitrawasita, dan Ahmad Soedibyono sebagai
redaktur, serta Maridie Danoekoesoemo (KNI Kotapraja Kediri) sebagai pegawai
tata usaha.
Waktu itu, bahan-bahan untuk penerbitan
perdana diperoleh dari bantuan Samadikun, Asisten Residen Kediri, yang
mengizinkan penggunaan kertas percetakan ‘Sedia’.
Peralatan percetakan diperoleh dari Surabaya melalui perjuangan Tadjib Ermadi
dan Pemuda Pelajar (TRIP) Gatot Iskandar, Prihanta, Soekmadi, Oemar Said, serta dibantu Pemuda Republik Indonesia Surabaya yang
meminta bahan-bahan penerbitan ke percetakan ‘Suara Asia’ pimpinan R.M. Abdoel
Wahab Djojowirono; ketika Surabaya sedang mengalami ultimatum dari tentara
Inggris. Abdul Wahab
mengizinkan peralatannya dibawa ke Kediri sehingga terbitlah majalah
dwimingguan ‘Jaya Baya’ yang
berkantor di Jalan Ngadisimo 19, Kediri.
Menurut
riwayatnya nama
Jaya Baya yang dipilih oleh Djasmadi,
berasal dari nama Raja
Kediri
yang terkenal adil dan bijaksana serta terkenal, dengan ramalannya mengenai
nasib tanah Jawa (Indonesia) yang sangat dipercaya oleh masyarakat dan ditakuti
oleh Jepang dan Belanda. Majalah ini bertujuan memberi penerangan dan
menanamkan semangat membela kemerdekaan serta cinta tanah air kepada rakyat di desa-desa
yang kebanyakan hanya dapat berbahasa Jawa,
dan belum banyak mengetahui perkembangan keadaan sebenarnya.
Tetap Terbit Hingga Kini
Pertanyaan yang kemudian muncul,
adakah orang-orang Jawa masih setia baca majalah ini? Berapa jumlah pelanggan
dan pembacanya? Adakah majalah ini juga
memasuki wilayah sekolah atau kampus? Lantas ada juga pertanyaan lanjutan; jika
anda orang Jawa, adalah pernah ikut baca majalahnya?
Atau barangkali Anda tidak hanya
ikut membaca saja, bahkan ikut menulis di kedua majalah tersebut. Syukur
alhamdulillah, masih ikut ngleluri lan nguri-uri bahasa lan kebudayaan Jawa
yang adiluhung itu.
Sederet pertanyaan itu, ternyata
belum terjawabkan pasti. Tapi yang pasti, kedua majalah itu tetap terbit setiap
minggu, hingga kini. Tetap eksis menjaga bahasa Jawa agar tetap ngrembaka, bertumbuhkembang di
masyarakat Jawa. (Desaku Canggu, 6/6/2024 - Aming Aminoedhin).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar