Jumat, 07 Juni 2024

SASTRA JAWA MASIH ADA

 

 

                                                                    

Majalah bahasa Jawa

TETAP TERBIT HINGGA KINI

Oleh: Aming Aminoedhin

 

 

Di tengah gempuran zaman milenial dan digital ini, ada dua majalah berbahasa Jawa tetap terbit hingga kini. Dua majalah itu Panjebar Semangat dan Jaya Baya, dan kebetulan terbitan dari Jawa Timur, di kota Surabaya. Kota metropolitan kedua Indonesia ini masih jadi barometer sastra Jawa tetap eksis keberadaannya. Ampuh tenan!

 

            Sebuah perjalanan panjang sebuah penerbitan majalah yang perlu diapresiasi tinggi-tinggi. Lebih lagi ini sebuah majalah yang memakai medium bahasa daerah, bahasa Jawa. Sungguh sebuah prestasi yang membanggakan sekali. Ampuh temenan!

            Jika kita mau bicara soal koran/majalah berbahasa Jawa, maka di Jawa Timur, punya nama majalah yang tetap eksis hingga kini; adalah ‘Panjebar Semangat’ dan ‘Jaya Baya.’ Keduanya telah berusia cukup tua. Sementara itu di kota lain Solo dan Yogya sudah ada yang harus gulung tikar. Di kota Yogyakarta ada Mekarsari dan Djaka Lodang, di Solo ada koran Dharma Kandha, Dhama Nyata, dan Jawa Anyar. Majalah Mekarsari kini hanya jadi berupa sehalaman di koran Kedaulatan Rakyat, seminggu sekali. Menyedihkan. Sementara majalah Djaka Lodang masih eksis hingga sekarang; sedangkan tiga koran Solo berbahasa Jawa itu telah tumbang semua.

Padahal menurut catatan Suprawoto (pakar komunikasi, kini Bupati Magetan), sejarah perkembangan pers Jawa di Indonesia, bahwa pers berbahasa daerah pertama kali terbit di Surakarta, tanggal 29 Maret 1855 adalah Bromartani dengan menggunakan medium bahasa Jawa dan huruf Jawa. Bromartani yang berbentuk majalah terbit seminggu sekali.

Jawa Timur boleh bangga punya Majalah Panjebar Semangat, yang terbit pertama kali sejak tanggal pada tanggal 2 September 1933. Sementara itu, majalah bahasa Jawa lainnya dari Surabaya, adalah Majalah Jaya Baya, yang terbit sejak tanggal 1 Desember 1945.

 

 Panjebar Semangat

Pendiri majalah ini, Dr. Soetomo, yang  berinisiatif menerbitkan mingguan berbahasa Jawa, bernama Panjebar Semangat, sejak tanggal 2 September 1933.

Adanya penerbitan majalah berbahasa Jawa ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas tidak adanya bacaan untuk rakyat Jawa, yang pada waktu belum bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, apa lagi berbahasa Belanda. Dalam penerbitannya majalah Panjebar Semangat menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko (bahasa Jawa kasar) yang biasa digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Pemilihan ini dikarenakan lebih mudah,  lebih demokratis, serta lebih dapat dimengerti oleh masyarakat Jawa secara luas.

Penamaan majalah Panjebar Semangat ini diberikan oleh Dr. Soetomo dengan harapan agar majalah ini dapat menyebarkan dan membangkitkan kesadaran membaca, serta semangat yang dapat melahirkan bangunan bangsa, mengabdi pada kebenaran, tunduk pada kesucian, dan menyerah pada keadilan. Harapan lain dari Dr. Soetomo, agar masyarakat di pedesaan yang tidak dapat berbahasa Indonesia, apa lagi bahasa Belanda tetap dapat memperoleh pengetahuan dan wawasan sehingga mereka dapat memberikan kemajuan untuk nusa dan bangsanya.

Semboyan majalah Panjebar Semangat yang berbunyi ‘Sura Dira Djajaningrat Lebur Dening Pangastuti’ mempunyai arti harafiah bahwa ‘segala kekuatan negatif yang ada dalam masyarakat bisa ditaklukan dengan lemah lembut, dan penuh sopan santun, merendah, dan bijaksana.

Motto atau semboyan tersebut, menurut Dr. Soetomo, cukup baik dan sekaligus bijak, serta menghilangkan rasa feodalisme di tengah masyarakat.

 

     

Jaya Baya

Pendirian majalah Jaya Baya, seperti halnya majalah Panjebar Semangat yang mana tidak bisa dilepaskan dari beberapa nama tokoh pejuang Indonesia.  Mereka para pendiri majalah ‘Jaya Baya ini adalah para pejuang, antara lain: Soewandi Tjitrawasita (ayah Totilawati Tjitrawasita), Tadjib Ermadi (seorang guru Taman Siswa), dan Wasis (pimpinan Pemuda Republik Indonesia Kediri). Pengelola pertama majalah ini adalah Djasmadi (bekas anggota Shu Sangikai Muspida Karesidenan Kediri) sebagai direktur, Tadjib Ermadi, Soewandi Tjitrawasita, dan Ahmad Soedibyono sebagai redaktur, serta Maridie Danoekoesoemo (KNI Kotapraja Kediri) sebagai pegawai tata usaha.

Waktu itu, bahan-bahan untuk penerbitan perdana diperoleh dari bantuan Samadikun, Asisten Residen Kediri, yang mengizinkan penggunaan kertas percetakan Sedia. Peralatan percetakan diperoleh dari Surabaya melalui perjuangan Tadjib Ermadi dan Pemuda Pelajar (TRIP) Gatot Iskandar, Prihanta, Soekmadi, Oemar Said, serta dibantu Pemuda Republik Indonesia Surabaya yang meminta bahan-bahan penerbitan ke percetakan ‘Suara Asia’ pimpinan R.M. Abdoel Wahab Djojowirono; ketika Surabaya sedang mengalami ultimatum dari tentara Inggris. Abdul Wahab mengizinkan peralatannya dibawa ke Kediri sehingga terbitlah majalah dwimingguan ‘Jaya Baya’ yang berkantor di Jalan Ngadisimo 19, Kediri.

Menurut riwayatnya nama Jaya Baya yang dipilih oleh Djasmadi, berasal dari nama Raja

Kediri yang terkenal adil dan bijaksana serta terkenal, dengan ramalannya mengenai nasib tanah Jawa (Indonesia) yang sangat dipercaya oleh masyarakat dan ditakuti oleh Jepang dan Belanda. Majalah ini bertujuan memberi penerangan dan menanamkan semangat membela kemerdekaan serta cinta tanah air kepada rakyat di desa-desa yang kebanyakan hanya dapat berbahasa Jawa, dan belum banyak mengetahui perkembangan keadaan sebenarnya.

Tetap Terbit Hingga Kini

             Di tengah ramainya era digitalisasi koran dan majalah, kedua majalah berbahasa Jawa dari Surabaya bernama ’Panjebar Semangat’ dan ‘Jaya Baya’ tetap terbit dengan format majalah kertas hingga kini. Sungguh, ini merupakan sebuah prestasi tiada tertandingi.

            Pertanyaan yang kemudian muncul, adakah orang-orang Jawa masih setia baca majalah ini? Berapa jumlah pelanggan dan pembacanya? Adakah majalah  ini juga memasuki wilayah sekolah atau kampus? Lantas ada juga pertanyaan lanjutan; jika anda orang Jawa, adalah pernah ikut baca majalahnya?

            Atau barangkali Anda tidak hanya ikut membaca saja, bahkan ikut menulis di kedua majalah tersebut. Syukur alhamdulillah, masih ikut ngleluri lan nguri-uri bahasa lan kebudayaan Jawa yang adiluhung itu.

            Sederet pertanyaan itu, ternyata belum terjawabkan pasti. Tapi yang pasti, kedua majalah itu tetap terbit setiap minggu, hingga kini. Tetap eksis menjaga bahasa Jawa agar tetap ngrembaka, bertumbuhkembang di masyarakat Jawa. (Desaku Canggu, 6/6/2024 - Aming Aminoedhin).**

Tidak ada komentar: