Jumat, 07 Juni 2024

GELIAT SASTRA MOJOKERTO

 

 

Sekadar Catatan

GELIAT SASTRA MOJOKERTO

MENGAPA TAK INGAT SASTRA JAWA*

Oleh: Aming Aminoedhin

 

Tulisan ini saya ambil dari catatan saya terdahulu (2017) saat ada dialog

sastra di Mojokerto, tentang penggalan sastra kota Mojokerto. Lantas ada

beberapa tambahan data guna bisa dijadikan semacam pemicu diskusi

“Jagongan Sastra” pada ulang tahun Ludruk Karya Budaya ke-55 di

Pondok Jula-Juli bersama kawan-kawan sastra lainnya.

 

            Membuat catatan penggalan peta sastra kota maupun kabupaten Mojokerto, barangkali tidaklah mudah. Sebab untuk menulisnya diperlukan data komprehensif. Kebetulan saya tak punya banyak datanya. Lebih lagi, ketika saya sendiri bukan orang Mojokerto asli, sehingga tidaklah sebaik orang yang asli Mojokerto.

            Akan tetapi jika penggalan peta sastra itu tidak ditulis, betapa pun minimnya data, maka kita akan kehilangan data seluruhnya. Berikut ini, hanya catatan ringkas saya selama berada di Mojokerto, yang tentunya tidaklah lengkap jika bicara soal  data tersebut. Tulisan ini pun tidak membagi antara Kota dan Kabupaten Mojokerto, tetapi bicara soal sastra di Mojokerto.

            Bermula ketika saya tinggal di Puri Mojobaru AZ-22/23 Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto; sejak 10 November 1996 lalu. Ketika itu, beberapa kawan seniman Mojokerto berkumpul untuk acara sastra. Lantas, atas prakarsa banyak kawan, kami mendirikan komunitas yang bernama Forasamo (Forum Apresiasi Sastra Mojokerto). Idenya, saya ambil dari FASS (Forum Apresiasi Sastra Surabaya) dengan berpangkalan di PPIA Surabaya; yang kebetulan saya koordinatornya.

            Pada awalnya, komunitas ini cukup banyak yang hadir, ada nama: Abdul Malik, Mamak, Suyitno Ethexs, Gatot Sableng, Bagus Mahayasa, Jabbar Abdullah, Saiful Bakri, beberapa siswa, mahasiswa dan juga para guru. Ada yang menarik yaitu hadirnya, almarhumah Ibu St. Iesmaniasita. Sastrawan Jawa yang kondang di ranah sastra Jawa.

Kegiatan Forasamo adalah dialog, baca puisi, dan bernyanyi puisi. Forasamo, pada tahap berikutnya, mengadakan pertemuan 2 minggu sekali bertempat di pangkalannya Sanggar Saraswati, rumah tua  di Jalan Hayam Wuruk, Kota Mojokerto. Tapi, lama-lama kelamaan yang datang cuma saya, istri, dan dua anak saya yang sampai di Sanggar Saraswati itu. Selebihnya entah ke mana?

            Sebenarnya, waktu itu Forasamo, sudah mencoba adakan penerbitan buletin sastra, dan bahkan pernah juga buat kumpulan puisi segala. Pentas acara sastra tentang hilangnya Wiji Thukul, bersama Sosiawan Leak di Sanggar Saraswati. Ada baca puisi dan dialog sastra, serta perfomance-art dari beberapa seniman, serta musik puisi. Komunitas lain ada ‘Pustaka Nol’ yang ketika dibuka semua anggota Forasamo pernah ramai-ramai datang pada acara pembukaan “Pustaka Nol” (27/2/2000) yang diisi bincang sastra di Jalan Empu Nala, Mojo-kerto. Tampak guyub rukun dan terasa menyenangkan, buat acara bincang seniman Mojokerto.

            Berikutnya ada juga beberapa komunitas sastra dan musik bermunculan, sebut saja ada: Forum Sebrang Dalan, GePapat, Girilaya, Komunitas Arek Japan, Komunitas Pondok Kopi, dan banyak lagi. Beberapa komunitas sastra, musik dan teater inilah yang kemudian memberi nafas dan virus sastra di Mojokerto lebih punya daya denyut. Belum lagi, kegiatan “Terminal Sastra” yang kemudian seakan menampung mereka untuk berkiprah melangkah lebih jauh.

 

Sastrawan Mojokerto

           

            Bicara soal sastra, maka kita tak bisa lepas bicara soal tiga genre sastra: puisi, prosa, dan drama. Dan bicara sastrawan, atau penulisnya; Mojokerto hampir punya semuanya. Bahkan ada pula sastrawan Jawa yang cukup punya nama Ibu St.Iesmaniasita. Mencatat nama pengarang lainnya, sekedar menyebut nama yang masih ingat, antara lain: Hardjono WS (cerpen, puisi, dan naskah drama), Max Arifin (naskah drama dan penterjemah), Nyitno Munadjad, Aming Aminoedhin, Akhmad Fatoni, Suyitno Ethex, Chamim Kohari, Saiful Bakri, Dadang Ari Murtono,  Ahmad Farid Tuasikal, Jabbar Abdullah, Kukun Triyoga, Mochammad Asrori, Anjrah Lelono Brata, Suliadi, Agus Salim, Supriyadi Bro, Lies Muhshonati (puisi), serta mungkin masih banyak lagi jumlahnya, dan maaf jika tak tercatat di tulisan pendek ini.

            Bila mau mencatat, sebenarnya banyak sastrawan yang dulu dan sekarang pernah berdomisili di Mojokerto itu, ternyata sudah terkenal lebih dulu di kota lain. Sebut saja nama: Hardjono WS (almarhum) yang terakhir berdomisili di Jatidukuh, Gondang, sudah terkenal lebih dulu di Surabaya sebagai sastrawan dan teatrawan anak. Max Arifin (almarhum) terkenal di Mataram –NTB, sebagai tokoh teater, terakhir berdomisili di Japan Raya. Aming Aminoedhin, sudah lebih terkenal di Surabaya, kini berumah di Canggu, Jetis, Mojokerto. Ada juga Anton De Sumartana, yang terkenal di Bandung, bermula dari Jalan Brawijaya 215 Mojokerto, dan kini tinggal di Bandung. Ada juga Dadang Ari Murtono yang bukunya bertajuk  ‘Ludruk Kedua.’ Ia pernah dapat hadiah Sutasoma tingkat Jawa Timur dan Buku Sastra Utama tingkat Nasional di Jakarta. Kini Dadang hijrah di Samarinda. Bahkan konon, A. Muttaqin, penyair asal Gresik itu kini juga domisili di Mojokerto mendampingi istrinya yang kini mengajar di Mojokerto.

            Sungguh, Mojokerto cukup banyak penulis sastranya. Maka tidaklah salah jika Dr. Indra T Kurniawan, M.Si. (ketua Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto) membuat acara sastra bertajuk “Terminal Sastra” setiap bulannya, hingga sampai cukup panjang episodenya. Sebuah perjalanan panjang yang harus diapresiasi kita sebagai penyuka sastra. Setidaknya, bisa hadir dan jika perlu ikut tampil sebagai narasumber atau pengisi acara baca puisi, cerpen, atau monolog; bahkan musik sebagai selingan dialog sastra.

 

Geliat Sastra

 

            Sastra Mojokerto kian menggeliat, sebenarnya setelah terbentuknya Dewan Kesenian Kota Mojokerto (DKM), dan diikuti DKKM (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto). Saat terbentuknya DKKM, saya termasuk pernah ikut jadi pengurusnya yaitu sebagai sekretaris, dan ketuanya Hardjono WS. Periode berikutnya, ketika Drs. Eddy Karya Susanto, sebagai ketua saya sudah tidak ikut jadi pengurus lagi.

            Beberapa acara sastra digelarpentaskan, baik di halaman GOR Mojopahit kantor DKM, atau di Gedung Dinas Pariwisata Kabupten Mojokerto – Jalan Jayanegara – Mojokerto. Seingat saya pernah baca puisi kumpulan puisi “Mojokerto dalam Puisi” (2006), dan “Tadarus Puisi Bulan Suci.” Lantas melalui Biro Sastra DKKM, dimotori Chamim Kohari, telah pula membukukan ‘Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Mojopahit” (2010).

            Geliat sastra yang lain, bahwa sastra tidak hanya prosa dan puisi; tetapi juga pentas teater. Pentas teater berbentuk Parade Teater dimotori oleh Bagus Mahayasa lewat Lidhie Art Forum Indonesia yang tak lelah-lelahnya terus menviruskan sastra pentas teater di Mojokerto. Diselenggarakan di Gedung Dinas Pariwisata Kabupten Mojokerto, dengan mengundang berbagai kelompok teater luar kota: Lamongan, Ponorogo, Jombang dll. Sementara itu, sekolah-sekolah di Mojokerto juga dilibatkan ikut berparade.

            Komunitasnya Bagus, juga sering pentas di luar kota, dan pernah beberapa kali menang lomba berteater. Bahkan melalui komunitasnya Lidhie Art Forum Indonesia, juga menyelenggarakan semacam pelatihan teater dengan mengundang beberapa tokoh teater sebagai narasumbernya.

            Geliat sastra berikutnya terus dihembuskan, dan konsisten ada pertemuan sastra sebulan sekali, bertajuk “Terminal Sastra” yang dikomandoi Dr. Indra T Kurniawan, M.Si. dengan motornya Mochammad Asrori. Sebuah upaya mulia untuk terus tumbuhkembangnya sastra di wilayah Mojokerto. Sungguh, sangat luar biasa geliatnya!

            Menariknya lagi, ketika setiap kali pertemuan ada pembagian doorprize buku sastra, sehingga selain menyebar virus sastra, sekaligus mengajak untuk ikut datang berdialog sastra. Menarik berikutnya, ketika “Terminal Sastra” ini diselenggarakan di berbagai tempat, utamanya wilayah desa-desa. Terasa dialog sastra itu jadi gerilya sastra, diperkenalkan pada masyarakat desa, agar mereka melek sastra. Upaya yang bagus, dan harus terus dilakukan!

            Akan sayang disayang acara “Terminal Sastra” yang telah panjang berjalan itu harus tumbang. Geliatnya harus terhenti, karena banyak pengurusnya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

 

Sastra Jawa

 

            Seperti telah saya jelaskan di muka, bahwa Mojokerto punya sastrawati Jawa yang kondang dan sangat diperhitungkan jagad sastra Jawa, Ibu St. Iesmaniasita. Namun sayang banyak kawan sastrawan Mojokerto, tidak banyak yang mau menulis sastra Jawa. Jika saja  mau mencatat ada nama: Suyitno Etheks dan istrinya, Anjrah Lelono Brata, Nyitno Munadjad, Aming Aminoedhin (saya sendiri), dan beberapa nama (lupa penulisnya).

            Seiring dengan ulang tahun Ludruk Karya Budaya ke-55 tahun, tidaklah salah jika kita penulis yang punya bahasa Ibu bahasa Jawa; untuk mam]u menulis sastra Jawa, meski hanya berbentuk guritan.           

Persoalannya sebagai orang Jawa, sebaiknya bisa dan mau menulis dengan bahasa Jawa. Sebab, jika kita orang Jawa tak mau menulis dengan bahasa Jawa-nya, lantas siapa lagi yang bakal menulisnya? Jika perlu, barangkali dicoba ada semacam lomba baca guritan. Atau mungkin yang agak dekat dengan ludruk, lomba menulis parikan untuk kidungan.  Barangkali cukup menarik juga. Sesudah itu ada lomba menulis guritan lan cerita cekak, yang mana bisa menumbuhkembangkan sastra Jawa di kota Mojokerto yang punya ludruk Karya Budaya ini. Mengapa tidak? Toh…kita punya tokoh sastra Jawa; ada Nyitno Munadjat, Suyitno Ethex, dan Anjrah Lelono Brata.

            Mumpung ini pas ulang tahun Ludruk Karya Budaya, perlu dirancang mengadakan kegiatan guna merangsang anak-anak mau menulis sastra Jawa, seperti di atas. Tidak perlu mewah, sederhana tapi nyata hasilnya, anak-anak jadi kenal dan suka sastra Jawa.

            Ini hanya sebuah usulan yang barangkali bisa dilaksanakan di belakang hari, sehingga ketokohan St. Iesmaniasita, akan kembali muncul dari bumi Majapahit! Semoga!

 

Desaku Canggu, 25 Mei 2024

Aming Aminoedhin

 

 

 

AMING AMINOEDHIN, nama aslinya Mohammaa Amir Tohar. Lahir di Ngawi, 22 desember 1957 dari fakultas sastra, universitas sebelas maret solo. Aktif kegiatan teater, pernah menyandang predikat “aktor terbaik” festival drama se-jatim tahun 1983 dari teater persada ngawi, pimpinan mh. iskan. penggagas kegiatan malam sastra surabaya atau “malsasa” di DKS, serta “malsabaru se-jatim” atau ‘malam sastra bagi guru’ di balai pemuda surabaya. pernah pula diberi predikat sebagai ‘presiden penyair jawa timur oleh doktor kentrung, suripan sadi hutomo. Pensiunan dari balai bahasa jawa timur ini, sekarang ketua forum sastra bersama surabaya (fsbs), biro sastra dewan kesenian surabaya (dks), dan sekjen paguyuban pengarang sastra jawa surabaya (ppsjs). alamat: puri mojobaru az-23 canggu, kecamatan jetis, – mojokerto 61352  alamatnya di dunia maya: amri.mira@gmail.com atau aming.syair@gmail.com; rumah maya: amingaminoedhin.blogspot.com*

 



* Bahan diskusi “Jagongan Sastra” ulang tahun Ludruk Karya Budaya di Pondok Jula-Juli, Desa Canggu, Jetis,  Mojokerto – 28 Mei 2024

Tidak ada komentar: