MENULIS PUISI ITU JUGA NGIBADAH[1]
Oleh: Aming Aminoedhin
Bagi
saya pribadi, menulis puisi itu juga ngibadah. Mengapa demikian?
Sebab
selama puisi yang ditulis, dan kemudian dibaca oleh pembacanya, lantas pembaca
itu merasa ada kebenaran yang ditulis penyairnya; apa lagi bisa mengubah
perilaku pembaca lebih baik, maka sang penyair dapat pahala. Dan jika pahala
itu banyak jumlahnya, insya Allah penyair masuk surga! Amin YRA!
Tapi
menulis puisi bisa juga masuk neraka, jika puisi itu berisi soal yang tidak
baik, bahkan mengarah ke persoalan ajakan membenci orang lain, apa lagi
membenci Tuhan YME.
Sungguh, jangan menulis puisi semacam itu. Tulislah
puisi berdasar intuisi kebeningan hati.
Beberapa
waktu yang lalu, mungkin sepuluh tahun yang lalu, saya termasuk yang
diolok-olok secara guyonan oleh teman-teman di kompleks Balai Pemuda Surabaya,
yang mengatakan bahwa penyair yang paling awal masuk neraka, adalah Aming.
“Mengapa?”
kata saya.
“Karena
kamulah penyair yang mengajak pembaca Berjamaah
di Plaza,” tandasnya!
Padahal
puisi itu, secara ide penulisan adalah karena banyaknya orang-orang masuk ke
plaza, hingga berjubel jumlahnya. Tepatnya, ketika Tunjungan Plaza Surabaya
baru dibuka, sekitar tahun 1992. Sementara pada waktu itu harinya Jum’at,
seakan mereka tidak lagi hirau akan masjid yang mengumandangkan adzan sholat
Jum’at, ajakan untuk bersholat jamaah. Plaza, menurutku jadi semacam berhala
baru. Sehingga banyak orang ikut berjamaah di dalamnya. Lewat peristiwa itu,
maka lahirlah puisi itu, yang secara komplit, bunyinya:
BERJAMAAH
DI PLAZA
kata seorang kyai, belajar ngaji
adalah amalan yang patut dipuji
dan sholat berjamaah
dapat pahala berkah
berlipat-lipat jumlah
tapi kenapa banyak orang
belajar nyanyi,
belajar tari
dan baca puisi?
tapi kenapa banyak orang berjamaah
hanya di plaza-plaza
hamburkan uang berjuta-juta?
adakah ini dapat dipuji, dan
adakah plaza menyimpan pahala
berlipat ganda?
ah… barangkali saja, plaza-plaza
telah jadi berhala baru
yang dipoles gincu
begitu indah
dan banyak orang ikut berjamaah
Surabaya,
1992
Setahun sebelumnya, 1991, saya juga menulis tentang
kota Surabaya. Tentu beda lagi peristiwa yang saya coba angkat ke dalam bentuk
puisi. Ketika itu, kemarau nan panas, air Kalimas susut, hitam, kotor, serta
airnya berbuih sisa limbah industri. Seakan-akan Kalimas menangis, tapi
orang-orang tak peduli. Sementara mobil-mobil juga menebar polusi, juga
pabrik-pabrik menebar sesak udara kota. Orang-orang diam, anggota dewan diam,
walikota diam. Dan saya hanya bisa teriak lewat puisi, Surabaya Musim
Kemarau, entah didengar atau tidak, saya juga tidak peduli.
SURABAYA
MUSIM KEMARAU
surabaya kini lagi musim angin
malam begitu dingin. karena
sahabat setia
kemarau panjang ini adalah debu
yang diterbangkan angin polusi
selalu
dengan cuaca begitu panas sekali
di siang hari
ke mana perginya awan dan hujan
aku tiada pernah mengerti?
daun-daun pepohonan sepanjang
jalan kota
telah berapa lama jatuh
dahan dan ratingnya kering.
matahari
dengan leluasa membakar bumi.
sangar sekali
air kalimas susut. berwarna keruh
hitam dan menakutkan
ini musim kemarau panjang. tapi
limbah industri
terus mengapungkan busa.
putih-putih
di atas sepanjang alur kalimas
berbuih
kalimas merintih!
akulah saksi itu., surabaya musim
kemarau
segalanya seperti risau. bahkan
suara-suara
mobil berlarian terdengar parau.
kacau!
kota telah dibakar laju peradaban
dunia
barangkali mengejar mimpi
teknologi
bahkan mungkin ambisi demi ambisi
tanpa batas tepi. tanpa ada
teraih di tangan
seorang pemimpi. ilusi!
surabaya musim kemarau
hijau daun pepohonan berganti
warna
asap cerobong pabrik terus
mengobrak-abrik
udara kota. sesak terasa di dada
sandiwara peradaban kota terus
berlangsung
tanpa ujung tanpa juntrung
lantas ke mana rasa bimbang ini
harus ditimbang?
kepada dewan walikota. atau pada
pak walikota? kepada angin, atau
pada
musim dingin?
surabaya musim kemarau
teriakanku semakin parau
hati pun kian semakin risau
Surabaya,
1991
Dalam
mengarungi perjalanan hidup di kota Surabaya, saya menangkap ada beberapa
persoalan yang terasa berubah pada individu manusianya. Ada yang yang suka
angkuh, menjilat, terbar maksiat, laku bejad, dan bahkan iklan-iklan yang
terpampang di pinggir jalanan berkejapan semalaman hanyalah palsu belaka.
Bahkan di luar sana (Jakarta) ada juga anggota Dewan yang mengajarkan tanpa
aturan naik meja. Abad kian jumpalitan, rakyat kian kesrakat.
Melihat
ini semua, saya coba tuliskan puisi Surabaya
Ajari Aku Tentang Benar.
SURABAYA AJARI AKU TENTANG BENAR
Surabaya, ajari aku bicara apa
adanya
Tanpa
harus pandai menjilat apa lagi berlaku bejat
Menebar maksiat dengan
topeng-topeng lampu gemerlap
Ajari aku tidak angkuh
Apa lagi memaksa kehendak
bersikukuh
Hanya lantaran sebentuk kursi
yang kian lama kian rapuh
Surabaya, ajari aku bicara apa
adanya
jangan ajari aku gampang lupa
gampang berdusta
jangan pula ajari aku dan warga
kota, naik meja
seperti orang-orang dewan di
Jakarta
Surabaya, ajari aku jadi wakil
rakyat
lebih banyak menimang dan
menimbang hati nurani
membuat kata putus benar-benar
manusiawi
menjalankan program dengan
kendaraan nurani hati
Surabaya ajari
aku. Ajari aku
Ajari aku jadi wakil rakyat dan
pejabat
tanpa harus berebut, apa lagi
saling sikut
yang berujung rakyat kian melarat kian kesrakat
menatap hidup kian jumpalitan
di ujung abad
tanpa ada ujung. tanpa ada
juntrung
Surabaya memang boleh berdandan
bila malam lampu-lampu iklan
warna-warni
siang, jalanan tertib kendaraan berpolusi
senja meremang, mentarinya
seindah pagi
di antara gedung tua dan Tugu
Pahlawan kita
Surabaya ajari aku. Ajari aku
bicara apa adanya
sebab suara rakyat adalah suara
Tuhan
kau harus kian sadar bahwa
berkata harus benar
dan suara rakyat adalah suara
kebenaran
tak terbantahkan. Tak
terbantahkan!
Surabaya ajari
aku tentang benar. Tentang benar!
Surabaya,
21 November 2005
Sebagai
penyair yang muslim, saya tak lepas bicara soal bulan puasa, dan kebetulan saat
ini kita semua sedang berpuasa. Dalam bulan puasa ada yang namanya malam
lailatul qodar. Di mana, jika seseorang mendapatkan lailatul qodar,
maka pahalanya adalah seribu bulan. Lantas saya coba puisikan, yang saya
sendiri bertanya di penghujung sajak, adakah?
MATEMATIKA LAILATUL QODAR
pakar matematika pernah berhitung
jika seribu bulan
adalah 83 tahun lebih umurnya
sedang usia manusia
tak lebihi angka sejumlah itu
maka bersujud dan beramallah
pada saat lailatul qodar
hingga impaslah segala dosamu
dibayar oleh sujud-amalan
di malam qodar itu
pakar matematika pernah berhitung
jika seribu bulan
adalah 83 tahun lebih umurnya
sedang usia manusia
tak lebihi angka sejumlah itu
maka bersujud dan beramallah
pada saat lailatul qodar
hingga impaslah segala dosamu
dibayar oleh sujud-amalan
di malam qodar itu
aku termangu
(mungkin ragu)
lantas kita semua terjaga
apa benar begitu?
Canggu, 19/8/2010
lantas kita semua terjaga
apa benar begitu?
Canggu, 19/8/2010
Sebenarnya
saya tak hanya menulis puisi, tapi juga geguritan (puisi berbahasa Jawa). Hal
ini saya lakukan, karena saya dilahirkan Jawa, dan merasa tidak Jawa ketika
tidak ikut menulis bahasa Jawa. Di samping itu, saya juga lama berkawan dan
ikut jadi pengurus Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), sehingga
merasa perlu ikut menulis sastra Jawa. Berikut ini contoh tulisan geguritan
yang saya pernah saya tulis.
NDHUK ANAKKU
WADON
* mira aulia alamanda
ndhuk,
anakku wadon sing ayu dhewe
dadi
wong wadon iku kudu
suci
uni, suci rupi, lan suci ati
amarga
donya wis menehi tandha
akeh
wong wadon lambene bengak-bengok
akeh
wong wadon matane plerak-plerok
akeh
wong wadon aten-atene bosok
lungguh
methothok mlaku ora ndedelok
kabeh
iku aja mbok tiru, anakku
aja mbok
tiru!
ndhuk,
anakku wadon, delengen ing tawang
mbulan
ora werna abang mbranang
lintang-lintang
ora gelem gumebyar
lan
srengenge kaya ngece-ece
mula iku
omonga sing apik
dandana
sing resik
mlakuwa
sing becik
ing
ngalam donya
ndhuk,
anakku wadon sing ayu dhewe
goleka
dalan swarga liwat tetep madhep
lan
manteb terus dhedhepe marang Gusti
Canggu, 2003
Guritan
ini lahir, ketika saya mempunyai anak terakhir yang kebetulan perempuan, ada
perasaan was-was ketika melihat zaman telah kian jumpalitan semacam ini. Maka
saya perlu memberi wejangan, atau semacam pitutur agar menjalani hidup tetap
pada jalur kewajaran dan kebenaran. Tidak seperti yang tergambarkan dalam
guritan, banyak perempuan seenaknya dalam berperilaku dalam kehidupannya.
Jadilah anak perempuan yang selalu mendekat pada Tuhan, agar hidup penuh
keindahan.
Ada
lagi yang menarik, ketika Dolly ditutup Bu Risma, apa yang tejadi? Berikut
guritan yang saya tuliskan:
KONANG NDHUWUR BLUMBANG
kodhok ngorek tengah wengi
kaya ora ana enteke anggone muni
swarane kayadene ngelikake marang sapa bae
aja nganti lali manembah marang Gusti Allah
ananging konang kang mabur ana dhuwur blumbang
kayadene ngece, ora nggatekake
wayah peteng ndhedhet kaya ngene
malah kluyuran ing tengah wengi
malah kluyuran ing tengah wengi
konang iku mono, bengesan abang
gandane wangi kaya pocongan
gandane wangi kaya pocongan
mider ing dalan-dalan ora ana kesele
konang iku malah katon ngece-ece
marang sapa bae, ngajak dalanan salah
dalan kang ora prenah
kodhok ngorek ana tengah wengi iku
tak rungu-rungu kaya swara ngaji
utawa dzikir marang Gusti Ilahi Rabbi
konang mabur ndhuwur blumbang
dakpikir-pikir kok malah tansaya kenthir
tambah wengi tansaya ndadi
Gusti, kula
nyuwun pitedah
tetepa ati punika manembah
mboten kelu-maelu konang
kang bengesan abang
kang bengesan abang
Surabaya, 7 Maret 2014
Barangkali hanya itulah yang bisa
saya tulis, guna memicu diskusi pada sore ini. Satu hal yang saya sangat yakini
bahwa menulis itu juga ngibadah dengan caranya sendiri. Artinya, bahwa jika
seseorang menulis dengan baik, insya Allah akan juga mendapatkan kebaikan di
belakang hari. Amin YRA!
Maka menulislah yang baik, jangan
saling hujat seperti yang ada di media-sosial akhir-akhir ini. Bismillah....
mau menulis baik-baik, tanpa harus menyelipkan rasa benci.
Desaku
Canggu, 12 Ramdhan 1438-H (7 Juni 2017)
Aming
Aminoedhin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar