LUDRUK
GURITAN/PUISI
UPAYA
SOSIALISASI SENI PERTUNJUKAN
DI
MASYARAKAT
oleh:
Aming Aminoedhin
Bermain ludruk kata banyak orang, memang
susah. Tapi seberapa susahnya bermain ludruk, kunci utamanya adalah perlu
adanya latihan secara intensif. Kunci lain yang tak kalah pentingnya, adalah
keberanian di atas panggung pentas, bermonolog atau berdialog dengan lawan
mainnya. Selebihnya adalah improvisasi-improvisasi pada masing-masing pemain
ludruk.
Terkadang kita terlalu berteori dalam
bermain ludruk, sementara itu, teori terkadang menjebak kita saat kita
benar-benar bermain di panggung pentas. Bahkan terkadang kita jadi kebingungan
akan berbuat apa di atas panggung, menjadi canggung, kaku, dan mungkin
linglung. Hafalan jadi buyar, dan kemudian demam panggung, gak berbuat apa-apa.
Mati langkah, mati gaya!
Akan tetapi dalam bermain ludruk perlu
juga mengetahui teorinya, termasuk di antaranya persiapan-persiapan sebelum
pentas ludruk. Dalam makalah ini saya mengajak sisi lain dengan bercerita
tentang, bagaimana saya bersama kawan-kawan PPSJS
(Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya) menggarap lakon ludruk sedehana yang diselipi dengan pembacaan puisi/guritan.
Dalam
seni pertunjukan ludruk yang biasa kita lihat, memang harus ada
beksan atau tari-tarian travesti, remo, kidungan,
lawak, dan kemudian cerita atau lakon yang dipentaskan.
Bentuk seni
pertunjukan ini, memang lebih dikenal/dimainkan, serta dicintai oleh mayarakat
yang ada di seputaran wilayah Surabaya, Mojokerto, Jombang, Malang, dan Sidoarjo.
Namun pada perkembangannya, bisa meluas ke hampir semua wilayah di Jawa Timur.
Misalnya: Pasuruan, Gresik, Probolinggo, Lamongan, Tuban, Bangkalan, Sampang,
Nganjuk, dan Madiun. Bahkan, sewaktu
saya kecil (sekitaran 1970-an) di Ngawi ada juga pentas ludruk yang dimainkan
oleh Ludruk Armed atau Arhanud (saya sudah lupa, persisnya).
Dari
peta persebaran pentas ludruk yang meluas di berbagai kota ini, tampaknya
ludruk memang sangatlah digemari oleh masyarakat Jawa Timur. Sungguh, sebuah
seni pertunjukan tradisi yang cukup mengakar dan punya potensi untuk kembali
dikembangkan lagi agar tetaplah lestari.
Mengapa
dikembangkan lagi?
Sebab
selama ini, ludruk merupakan corong/alat kampanye yang cukup efektif dalam menyampaikan
pesan-pesan Pemerintah. Sewaktu zaman Orde Baru, kampanye soal pertanian,
keluarga berencana, atau kesehatan dll. bisa sangat cepat ditangkap masyarakat;
melalui pentas ludruk. Di samping itu, sekarang ini ludruk
juga sudah agak berkurang jumlahnya, berkurang kelompok/grup ludruk, serta
berkurang pula adanya pentas-pentas ludruk.
Bahkan
kota Surabaya, yang merupakan ibu kota Jawa Timur, serta dekat dengan
kantong-kantong kelompok/grup ludruk seperti Mojokerto, Jombang, dan Malang;
jarang sekali ada pentas ludruk. Padahal banyak wisatawan yang ingin menonton
pentas ludruk? Lalu ke mana harus menontonnya?
Sementara
itu, Grup Ludruk Karya Budaya Mojokerto, yang masih tetap
eksis berpentas itu, tapi pentasnya
banyak
di daerah-daerah pinggiran. Gresik, Jombang, Pasuruan,
Lamongan, dan Mojokerto sendiri.
Sedangkan
wisatawan itu, datangnya di kota Surabaya. Sehingga teramat susah/malas jika
harus melihat ludruk dengan jarak tempuh teramat jauh di daerah pinggiran
tersebut.
Upaya
yang cukup bagus, ketika Meimura
bersama Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara-nya, menghidupkan
kembali ludruk anak-anak, atau pentas ludruk dengan lakon-lakon cerita
kekinian. Misalnya: Caligula,
Burung-Burung, dan Wartini Ledhek
Pasar Turi.
Ludruk
Puisi atau Guritan
Di tengah
gempuran teknologi informasi yang terasa melesat cepat ini, seni pertunjukan
ludruk memang terasa ter/dipinggirkan. Belum lagi bersaingan seni-seni modern
kian mewabah dengan berbagai jenis, bentuk dan aliran masing-masing yang terasa
cepat dikenal dan digandrungi masyarakat, utamanya kaum muda.
Dalam
upaya kembali mengangkat dan mengenalkan kembali ludruk di kalangan kaum muda, PPSJS mencoba buat acara ludruk puisi.
Kedengarannya memang agak aneh, tapi itu yang coba kami gelar-pentaskan di
berbagai kota, seperti: Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Solo.
Beberapa
waktu yang lalu, tepatnya sekitar tahun 2015, ketika saya bersama komunitas
PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa
Surabaya) mau pentas sastra Jawa, di Tembi Rumah Budaya, Sewon, Bantul,
Yogyakarta; muncullah ide garapan ludruk puisi ini.
Bermula
dari ide R. Giryadi bersama Widodo Basuki, ingin tampil baca gurit dengan
format lain dari yang lain. Pokoknya harus tampil beda, dalam sajian pentasnya.
Maka muncullah ide, baca gurit di antara potongan lakon ludruk yang digarap
secara sederhana. Tidak lengkap memang, tapi ide garapannya yang penting penonton
tertawa, sekaligus mau dengar isi guritan yang dibaca.
Dari
pentas Ludruk Guritan di Tembi Rumah Budaya – Yogya ini, ternyata
audiens/penonton sangat menikmati sajian kami, komunitas PPSJS,
menggelarpentaskan ludruk guritan. Penonton di Yogyakarta terbahak-bahak,
menonton kami. Penonton terpuaskan gaya baca guritan di antara lakon ludruk
sederhana yang dibuat. Sungguh, sebuah terobosan baca guritan, bersama lawakan;
yang menurut saya cukup berhasil.
Pada
gelaran pentasnya, diawali dengan kidungannya R. Giryadi, lalu bercerita akan
melakonkan sebuah cerita. Lantas muncullahWidodo, Aming, Djoko Prakosa,
Harmono, ikut bergabung dalam memasuki lakon cerita dengan berdialog, yang
dalam dialognya lebih berisi tentang guyonan parikena.
Sementara
itu, di antara cerita selalu diselipkan baca guritan agar tidak menjenuhkan
penontonnya. Satu persatu antarpemain ludruk ini akan tampil baca guritan.
Tampil membaca dengan serius, terkadang juga dibaca dengan guyonan. Sehingga
pentas terasa begitu cair, dan menghibur audiens-nya.
Beberapa
guritan yang dibacakan acara ludruk guritan seperti di bawah ini:
Widodo
Basuki
GRAHANA
grahana
rembulan warna dubang
abang
nyilemi sukmane padhang
lang
gumilang
ana wewadi
sawise
wengi
gumingsir
grahana
dadi tandha
yen
tanpa cahya
manungsa
dadi brahala
2015
aming aminoedhin
NDHUK
ANAKKU WADON
*
mira aulia alamanda
ndhuk, anakku wadon sing ayu
dhewe
dadi wong wadon iku kudu
suci uni, suci rupi, lan suci ati
amarga donya wis menehi tandha
akeh wong wadon lambene bengak-bengok
akeh wong wadon matane
plerak-plerok
akeh wong wadon aten-atene bosok
lungguh methothok mlaku ora
ndedelok
kabeh iku aja mbok tiru, anakku
ndhuk, anakku wadon, delengen ing
tawang
mbulan ora werna abang mbranang
lintang-lintang ora gelem gumebyar
lan srengenge kaya ngece-ece
mula iku omonga sing apik
dandana sing resik
mlakuwa sing becik
ing ngalam donya
ndhuk, anakku wadon sing ayu
dhewe
goleka dalan swarga liwat tetep
madhep
lan manteb terus dhedhepe marang
Gusti
Canggu, 2003
R. Giryadi
MENDHUNG
MENDHUNG
siji kang dadi
penjalukku marang sira
kang lelimengan
ing mega. ireng kaya
areng. aja duka
marang aku kang lagi
keraya-raya:
nandhang branta
ning iku dudu
brantane wong bebrayan
iki brantane
wong kang sesidheman ing
tengahe mendhung
kang lelimengan
ngedhang
sumunare surya
mendhung kaya
tembok gedhe kanthi
lumut lumut
nyengkerem ati surem
surem kang
andakwa urip dadi sak gurem
: dhuh gusti
punapa kula taksih wonten wedal
Sowan kanthi ati
adhem ayem.
mendhung
lelimengan tansaya ireng
Ngebaki kamar
kang nyenyet dening pokal
gawene kekarepan
kang jejel riyel ora
winates pantes.
aku ora isa
obah. obahku kepradhah.
kepradhah tanpa
sesolah. sesolahe wong
kang golek dalan
padhang. padhange
panyawang ing
gemelare sajadah.
Surabaya, ing pinggire mendhung wanci
sore rikala adan magrib, 2014.
Sementara itu beberapa puisi-puisi yang pernah dibacakan pada acara
ludruk puisi, antara lain:
aming aminoedhin
MALAM
SUNYI INI
malam terasa nglangut, hanya kelam berdiri
suara serangga itu juga tak runtut
bersuara begitu carut-marut
seperti indonesiaku kini
kian terasa tak pasti
ke mana arah suara rakyat akan dibawa
langkah kaki
bisa patah di tengah
jika gebalau tak sirna, risau itu kian kacau
malam sunyi ini, kian kudengar
racau suara serangga kian risau kian kacau
racau suara serangga kian risau kian kacau
sesangsai rakyat menunggu sirnanya gebalau
di jakarta tak kunjung usai
ah...indonesia tanah tumpahku
adakah masih akan menimbun duka rakyat
kian melarat kian kesrakat, dan
kian terasa pilu bagai sembilu
ah...indonesia tanah airku
adakah masih akan curahkan air mata rakyat
kian membanjiri berjuta desa-desa
bikin rakyat kian duka lara
malam sunyi ini, hanya bisa kutulis
berbaris puisi soal indonesiaku
kian terasa kritis, bikin hati miris
malam sunyi ini hanya bisa
kutulis indonesia, dalam baris-baris puisi
bukan umpatan bukan pula doa hajatan
bukan demo apa lagi bikin kacau
lantaran puisi ini hanya suara hati
dengar, sekali lagi dengarkan!
Desaku Canggu,
13/4/2015
R Giryadi
PULANG
Wahai ilalang, beri
aku jalan pulang
Di kakiku cakrawala menghilang
Tak ada batas jarak pandang
Mataku terpejam penuh bayang-bayang
: tentang burung-burung bersarang pulang
Nyaliku laksana kesiur angin petang
Tubuhku merepih ditepian jaman
Berbisik pada rekah padang gersang
: inikah waktu kan menjelang?
Wahai ilalang, beri aku jalan pulang
Aku rindu reroncen tetembangan
Tempat tubuh menimbang bimbang
Tempat tubuh merebah sembahyang
Di kakiku cakrawala menghilang
Tak ada batas jarak pandang
Mataku terpejam penuh bayang-bayang
: tentang burung-burung bersarang pulang
Nyaliku laksana kesiur angin petang
Tubuhku merepih ditepian jaman
Berbisik pada rekah padang gersang
: inikah waktu kan menjelang?
Wahai ilalang, beri aku jalan pulang
Aku rindu reroncen tetembangan
Tempat tubuh menimbang bimbang
Tempat tubuh merebah sembahyang
Oktober panas yang mengeras, 2013
R Djoko Prakosa
NYADRAN
kami datang
padamu..
bersamaan senja
mendatangi kuburmu
berdoa dan
mengenangmu
apa adanya.
kami mulai puasa
besok berharap dapat taberi prihatin
seperti pesan
akhirmu
le..hidup harus taberi prihatin
supaya tetap tajem, eling, lan waspada
prihatin, perihing batin
menjaga
kepedihan batin menjadikan selalu terjaga
dalam hidup!
sepayah apapun
hidup ini
semakmur apapun
hidup kita
…..
kami mulai puasa
besok
menegakkan rasa
prihatin
kami siramkan
air bunga ini
untuk
mengenangmu apa adanya
menjalani pesan
akhirmu
apa adanya.
(Bata Ijo,
16 Juni 2104)
Widodo Basuki
SESAJI PUISI
kukirim sekumpulan puisi
sebagai sesaji
permohonan pada yang mbaureksa
hidup
agar rejeki tak pernah redup
sesaji pada sangkan paraning
dumadi
agar hidup penuh eksistensi
“le, wong sabar iku subur” kata embah
aku manggut-manggut
“ya mbah, rejeki tak perlu berebut”
kukirim sekumpulan puisi
untuk para pengadil
agar senantiasa
madhep dhingkel
maring Allah
urip mung saderma
sumarah
sumendhe
dhepe-dhepe
“le, dengan berserah
Gusti akan meneteskan berkah!”
Sukolegok, 2015
Dari beberapa guritan maupun puisi yang dibacakan dalam pentas ludruk
guritan/puisi
tersebut, sebenarnya tidak bisa terlepas dari
persoalan memasyrakatkan Pancasila.
Betapa tidak?
Sebab isi
guritan/puisi yang dibacakan masih bicara soal bagaimana kita, sebagai manusia,
seharusnya selalu ingat pada Tuhan. Selalu dhedhepe/mendekat
kepada Tuhan-nya. Begitu pula, puisi-puisi yang dibacakan hampir sama dan
senada.
Barangkali tidak
hanya persoalan Tuhan saja yang diusung, tetapi juga manusia itu sendiri yang
seharusnya berlaku baik kepada sesama, kepada alam, dan kepada siapa saja.
Tidak berlaku seenaknya, dengan misalnya korupsi atau main hakim sendiri. Bisa
juga guritan atau puisinya berisi kritik sosial, kritik kepada Pemerintsh,
Pejabat, atau mungkin kritik terhadap aturan-aturan yang kurang membumi, alias
pro kepada rakyat.
Penutup
Pada akhirnya, bahwa PPSJS yang merupakan komunitas pengarang sastra
Jawa di Surabaya ini, telah mencoba menumbuh-kembangkan, dalam arti
memasyarakatkan sastra, sekaligus ludruk dalam bentuk yang sangat sederhana
kepada masyarakat kaum muda, lewat pentas ludruk guritan/puisi tersebut. Hal
ini, agar sastra dan ludruk agar kembali disenangi kaum muda, yang kini banyak
berkiblat pada musik Barat dan Korea.
Ludruk guritan/puisi ini merupakan gerakan atau upaya sosialisasi seni
pertunjukan
ludruk secara sangat sederhana kepada masyarakat kaum
muda. Tentunya, tanpa melupakan pesan-pesan isi Pancasila kepada penontonnya.
Dan apabila kaum muda tersebut mulai tertarik, kita ajak mereka bermain ludruk
secara sebenarnya, seperti Ludruk Karya Budaya.
Barangkali
dalam tulisan pendek ini masih banyak kekurangannya, hal itu perlu untuk dimaafkan,
dan mari kita diskusikan bersama! Selanjutnya mari seni budaya untuk terus
ditumbuhkembangkan guna sosialisai mengkampanyekan amalan Pancasila. Mari!!!
Desaku Canggu, 5 Februari 2018
Aming Aminoedhin
BIODATA PENULIS
aming aminoedhin
nama aslinya:
mohammad amir tohar
lahir di ngawi, 22 desember 1957.
alumni
fakultas sastra, universitas sebelas maret surakarta, jurusan bahasa dan sastra
indonesia. aktif kegiatan teater, dan pernah menyandang predikat “aktor terbaik” festival drama se jatim
tahun 1983 dari teater persada ngawi, pimpinan mh. iskan. pernah menjabat biro sastra
– dewan kesenian surabaya. ketua hp-3-n (himpunan pengarang, penulis, dan
penyair nusantara) jatim, koordinator fass forum apresiasi sastra surabaya),
dan penggagas kegiatan malam sastra surabaya atau “malsasa” di dewan
kesenian surabaya. punya predikat ‘presiden penyair jatim’ dijuluki oleh profesor
doktor suripan sadi hutomo, almarhum. ikut temu penyair jateng di
semarang (1983), temu penyair indonesia di taman ismail marzuki jakarta (1987),
pertemuan sastrawan nusantara (psn) XII di singapura. serta baca puisi di
berbagai kota di jawa timur, dan terakhir baca puisi di tembi rumah budaya, yogyakarta.
karya
puisinya banyak dimuat di koran dan majalah lokal dan ibu kota, antara lain:
Jawa Pos, Surabaya Post, Berita Buana, Republika, Singgalang, Sriwijaya Post,
Banjarmasin Post, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Bali Post,
dan banyak lagi. sedang majalah yang memuat puisinya antara lain: Zaman,
Horison, dan Basis. kumpulan puisinya bersama rekan penyair lain: Husst,
Nyenyet, Wajah Bertiga, Reportase Sunyi, Pagelaran, Malsasa ‘92, ‘94, ‘96,
2000; Surabaya Kotaku, Memo Putih, Tanah Kapur, Tanah Rengkah, Semangat Tanjung
Perak, Gresla Mamoso, Kabar Saka Bendul
Mrisi, Drona Gugat, MOH, Malsasa, Malsalis, Malsabaru, dan terakhir Malsajaya,
bertajuk “Mlesat Bareng Ukara” (22 April 2014). Kumpulan puisinya
sendiri: Tanpa Mripat (kumpulan guritan), Mataku Mata Ikan, Surabaya Musim
Kemarau, Kereta Puisi. Ia, sekarang
masih aktif di ppsjs (paguyuban pengarang sastra jawa surabaya), ketua forum
sastra bersama surabaya (fsbs). email: aming.syair@gmail.com
alamat rumah: puri mojobaru az-23 canggu, kecamatan
jetis – mojoketo 61352
Tidak ada komentar:
Posting Komentar