SKETSA-SKETSA
CERITA LK
Oleh:
Aming Aminoedhin
Banyak cerita-cerita tentang Leo
Kristi yang menarik bagi saya, selain dia orang yang suka senyum setiap waktu,
setiap bertemu; ia suka mau cerita jika
kita mau bertanya. Saya bertemu, Leo Kristi, pertama kali sejak masih Dewan
Kesenian Surabaya (DKS) menempati gedung lawasnya. Depan gedung lawas itu,
masih ada pohon keresnya, dan berandanya tak begitu luas itu, biasa untuk
latihan apa saja: baca puisi, nyanyi, atau sekedar untuk kongkow-kongkow
seniman apa saja. Leo Kristi (LK) dan kelompoknya, waktu itu, pernah juga
berlatih di tempat ini. Selepas Isya, mereka berlatih melantunkan lagu-lagunya
nan indah itu, jika tak salah waktu itu vokalis perempuannya, Cicilia, yang
selalu pakai celena pendek warna putih. Aku lupa tahun berapa waktu itu. Tapi
masih terngiang lagu-lagu Leo Kristi itu indah dilantunkan riang. Heroik tapi
juga romantik.
Selain Leo Kristi, di DKS, saya juga
sering ketemu Naniel, personilnya Konser Rakyat Leo Kristi. Suatu waktu, kuputar
lagu-lagu Leo dari ponsel-ku, sambil berbincang soal LK. Naniel pernah cerita bahwa gambaran sosok guru tua pada lagu Di Deretan Rel-Rel itu, adalah tokoh Pak
Guru Tua yang jualan kopi di stasiun Lawang, dekat Malang. Selengkapnya syair
lagunya seperti ini:
DI DERETAN REL-REL
Pagi masih sunyi seperti
hatiku
Ketika kududuk di bangku peron
Tiada seorang pun menemani
Majalah dan koran pagi, tak banyak menolongku
Dan hati mulai bernyanyi
Olalai olai oleiei…oleilei oleieioleiei…
Olalai olai oleioi…oleilei oleoleioi…
Becek hujan turun semalaman
Menambah dinginnya pagi
Dengan seratus rupiah di kantong
Dapatkan rokok keretek , kopi panas dan goreng pisang
Di kedai pak guru tua
Olalai..olai oleioi…oleilei oleoleioi…
Olalai olai oleioi…oleilei oleoleioi…
Saat pulang kini telah tiba
Kereta pagi berangkat siang hari
Satu gerbong seratus penumpang
Di sela-sela tumpukan keranjang dan karung-karung
Perempuan berteriak ribut
Bayi-bayi menangis
Hmmmm…jalan menuju kota gaduh selalu
Hmmmm…jalan menuju kota gaduh selalu
Hmmmm…jalan menuju kota gaduh selalu
Lalalallalalala..lalalalalallalalla……
Lihat kereta apiku mengeluh
Lihat kereta tua mengeluh!
Ketika kududuk di bangku peron
Tiada seorang pun menemani
Majalah dan koran pagi, tak banyak menolongku
Dan hati mulai bernyanyi
Olalai olai oleiei…oleilei oleieioleiei…
Olalai olai oleioi…oleilei oleoleioi…
Becek hujan turun semalaman
Menambah dinginnya pagi
Dengan seratus rupiah di kantong
Dapatkan rokok keretek , kopi panas dan goreng pisang
Di kedai pak guru tua
Olalai..olai oleioi…oleilei oleoleioi…
Olalai olai oleioi…oleilei oleoleioi…
Saat pulang kini telah tiba
Kereta pagi berangkat siang hari
Satu gerbong seratus penumpang
Di sela-sela tumpukan keranjang dan karung-karung
Perempuan berteriak ribut
Bayi-bayi menangis
Hmmmm…jalan menuju kota gaduh selalu
Hmmmm…jalan menuju kota gaduh selalu
Hmmmm…jalan menuju kota gaduh selalu
Lalalallalalala..lalalalalallalalla……
Lihat kereta apiku mengeluh
Lihat kereta tua mengeluh!
* * *
Suatu ketika Leo Kristi pernah juga
diundang untuk ikut memeriahkan Festival Seni Surabaya (tahunnya lupa). Dalam
tampilan itu, ia minta memasang lukisan-lukisannya dengan ukuran besar-besar di
pajang di dinding-dinding Balai Pemuda. Minta pula dalam arena panggung
pentasnya nanti diletakkkan beberapa balok es besar-besar yang tak beraturan
(alias malang-melintang) untuk mendukung tampilannya.
Panitia FSS, ketika itu juga
menyanggupi atas semua permintaan Leo Kristi yang agak aneh ini. Dan saat
waktunya tiba ia harus tampil, ternyata dia hanya ke luar sebentar mencangklong
gitar, seraya berucap selamat malam. Lantas turun panggung, dan menghilang
entah ke mana?
Beberapa penonton, penggemar dan
fans-nya Leo Kristi, banyak yang berteriak-teriak; tapi pertunjukan ternyata
telah usai. Itulah gaya tampilan seni pertunjukan Leo Kristi!
Tak
perlu risau tak perlu galau! Biasa saja!
Jika tak aneh, maka bukanlah Leo
Kristi!
* * *
Pernah juga suatu ketika, ketika
saya dolan ke DKS, saat ada pameran lukisan entah punya siapa (lupa juga
tahunnya), saya bertemu Asri Nugroho (pelukis) yang berada di acara pameran
itu. Lantas tiba-tiba ia, mengajak saya ke rumah Leo Kristi yang berada di
Karang Empat, Surabaya. Katanya, “Ayo ke rumah Leo, dia sekarang lagi doyan
melukis. Ayo kita lihat lukisannya!” ajaknya.
Dengan menumpang mobil Asri Nugroho,
saya meluncur ke rumah Leo Kristi di Karang Empat itu. Tiba di rumahnya, benar,
dia sedang melukis. Rumahnya yang agak aneh, karena di dinding-dinding
tersandar ada perahu, jaring, dan dayung-dayung di pohon randu yang ada di
dalam rumah. Terpajang juga beberapa lukisan abstraknya yang berukuran
besar-besar itu. Sungguh saya senang bisa ikut berkunjung ke rumahnya itu. Aneh
dan sekaligus cerminan rumah seniman.
Tapi ada yang menarik dalam
kunjungan itu, ketika kami sama-sama melihat tayangan Ebiet G Ade, di televisi,
dia bertanya pada saya, “Pira jumlahe rek, albume Ebiet?”
Saya jawab dengan sekenanya,
“Wah....ya wis huakeh, Rek!”
“Iya....rek, awake dhewe, kalah
akeh!” kata Leo Kristi.
Dalam dialog itu, tampak bahwa Leo
Kristi merasakan bahwa ia kurang produktif dalam karya album yang dibuatnya.
Padahal seingat saya, kemunculan Leo Kristi, memang lebih dulu katimbang Ebiet
G Ade. Tapi menurut saya pribadi, nasib memang tak selamanya tertib. Dan
pilihan, serta kesunggguhan berkarya dalam berkesenian memang tidak harus sama.
Leo Kristi, telah memilih jalur konser rakyat! Dan itu pilihan berat, tepat sekaligus
bermatabat! Selamat, dan salut, Cak!
* * *
Sosok yang suka pakai celana pendek,
bertopi, bersepatu putih adalah gambaran Leo Kristi yang nyentrik ini. Dia suka
pula mengikat rambutnya dengan ada bulu (lar) ayam atau burung (tak jelas) di
sela rambutnya itu. Selalu senyuman ramah yang tersungging di bibirnya, jika
bertemu siapa saja. Namun kenyentrikannya, tidak lepas dari persoalan sosial
semacam mau takziah ketika seorang teman seniman meninggal dunia.
Waktu itu, aku bersama dia ikut
takziah pemakaman Mas Yunani Prawiranegara, yang dikuburkan di Surabaya utara.
Selepas pemakaman, aku berjalan pulang bersamanya, melalui jalan setapak saja.
Karena panas mentari menyengat kami berdua, berhentilah di bawah pohon kamboja
dekat jalan setapak itu. Dari arah utara menuju ke selatan itu hanya jalan
setapak, dan waktu itu akan lewat Prof. Dr. Tjuk Sukiadi yang sama-sama
takziah.
Lantas secara guyonan aku bicara
sama dia, “Sik-sik.... nanti Pak Tjuk Sukiadi lewat jalan ini, apakah beliau
akan menyapa Anda atau tidak? Jika tidak, maka kau memang tidak terkenal di
kota Surabaya.”
Leo menjawab,”Oke! Kita lihat saja
nanti!” tandasnya.
Ternyata ketika Pak Tjuk lewat,
tidak menyapa, bahkan menoleh pun tidak!
Setelah Pak Tjuk Sukiadi berlalu
agak jauh, lantas kami berdua ngakak bersama-sama, dan berucap bareng-bareng,
“Ternyata kita tidak terkenal di Surabaya!”
“Hidup memang ternyata sungguh tidak
dinyana. Kita bisa terkenal di blantika musik atau sastra, tapi tidak ada
apa-apanya, ketika di blantika pemakaman semacam ini,” kataku sambil kami
beriringan menuju parkiran.
Leo Kristi hanya mengiyakan
kata-kata saya tadi, sambil tertawa.
Siang itu panas begitu menyengat,
Leo Kristi pulang dengan motor Ninja warna hijaunya, dan aku numpak Honda lawas
yang kupunya. Selamat jalan, Mas Yunani! Selamat jalan juga buat Leo Kristi!***(aming aminoedhin).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar