CERITA TENTANG LEO KRISTI
Oleh:
Aming Aminoedhin
Penghujung tahun lalu, tepatnya
22-27 Desember 2016, ketika Cak Poeng pameran tunggal seni rupa di Galeri Dewan
Kesenian Surabaya. Entah hari keberapa pameran (lupa), saya mampir ikut nontok
pamerannya, kebetulan bertemu dengan Leo Kristi. Waktu itu hujan memang
membasahi kota Surabaya. Sejak selepas Isya hingga menjelang parak pagi tiba.
Jalanan basah, dan aku enggan melangkah pulang ke rumah. Bincang lukisan terasa
begitu indah! Lebih lagi ada si Leo Kristi yang juga baru saja pameran lukisan
di sini.
Pengunjung pameran, ketika itu
memang tidak banyak jumlahnya. Sehingga kami bisa sangat leluasa berbincang panjang
dengan Cak Pung, Saya, Leo Kristi, dan Widodo Basuki, serta Mr. X yang mengaku
dari Madura. Secara kebetulan Mr. X kenal sekali dengan Cak Pung sejak lama.
Sehingga perbincangan kian seru soal sketsa, lukisan, dan pameran lukisan.
Dalam bincang panjang tersebut, Mr.
X mengaku sebagai pemalsu lukisan, para pelukis terkenal Indonesia. Buat dia,
hal itu biasa saja, dan tidak merasa berdosa. Saya, Leo Kristi, dan Widodo
Basuki; jadi ngakak dibuatnya. Tidak hanya ngakak, tapi terbelalak menganga!
“Kok masih ada umat kayak dia ya?”
kami bertiga bertanya-tanya.
Selanjutnya kian serulah, kami
bertiga melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada Mr. X yang ternyata tidak tahu persis siapa
yang dihadapi waktu itu. Cerita tentang bagai-mana cara melukis persis seperti
aslinya, dan kemudian cara menjualnya kepada kolektor lukisan. Bagaimana pula
membeli kurator atau kritikus seni rupa. Termasuk bicara siapa kritikus seni
rupa yang bisa dibayar, dan siapa pula yang tidak bisa dibayar. Bicara pula
siapa kolektor yang suka terima lukisan palsu, dan banyak lagi tentang lukisan asli
dan lukisan palsu. Sungguh, perbicangan lukisan seru kala itu.
Di luar galeri DKS, hujan masih saja
turun. Kian deras, dan kian pula kami bertiga merasa menemukan kawan baru yang
asyik diajak bicara soal lukisan-lukisan. Bahkan telah berbatang-batang rokok
kami sulut habis, cerita tentang lukisan palsu dan orang yang meng-aku pernah
memalsu itu, belum juga habis ceritanya.
Terselip juga perbincangan
bisik-bisik saya dan Leo, bahwa orang ini gila juga. Bera-ni mengaku sebagai
pemalsu lukisan pelukis terkenal. Bahkan ketika saya katakan pada Mr. X, bahwa yang
dihadapi itu adalah Leo Kristi, dia baru terjaga. Tersadar, dan kemudian
berkata, “Bagaimana kalau dia mau mengundang Leo Kristi di Madura?”
Mr. X bilang, “Nama Leo Kristi bisa
dijual di Madura,” katanya.
Leo Kristi menjawab, “Ya, nanti sama
Aming Presiden Penyair Jatim ini. Saya nyanyi, dan Aming Aminoedhin baca
puisinya.”
Kemudian Mr. X minta nomor hape Leo
Kristi, dan berjanji akan mengundang kami ke Madura, untuk tampilan pentasnya.
Tapi hingga Leo tiada (21/5/2017), tak ada kabar beritanya. Hanya angan-angan
belaka!!!
Lewat tengah malam, waktu itu hujan
masih menetes, tapi tipis tinggal rimis saja. Sang troubador Leo Kristi pamit
mau pulang, katanya “Aku mau packing Ming, esok pagi mau ke Bandung!”
“Oh...ya selamat jalan, Cak! Semoga
lancar dan sukses!” jawabku.
Dengan sepeda motor maticnya, dia
meluncur ke luar dari kompleks Balai Pemuda Surabaya. Malam terasa beku, meski
merasa kehangatan bincang bersamanya penuh tawa, pada bincang terakhir kali di
Balai Pemuda Surabaya itu. Akhir tahun 2016 lalu.
Selamat jalan, Leo Kristi. Semoga
senyummu terkembang walau kausendiri, seperti potongan syair lagumu “Kereta
Laju” (serasa melayang serasa terbang
senyumku terkembang walau kusendiri). *** (aming aminoedhin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar