PESAN PENGGURIT
SASTRA JAWA
oleh: aming aminoedhin*
Memeringati hari
‘Sumpah Pemuda’ perlu kiranya mengingat pada amandemen pasal 31
Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, “Negara menghormati dan memelihara
bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” Maka selayaklah apabila
kehidupan, serta perkembangan bahasa dan sastra Jawa haruslah dijaga kelestariannya. Terlebih lagi
kehidupan bahasa dan sastra Jawa pada era globalisasi sangatlah dipengaruhi
oleh perkembangan peradaban manusia yang penuh dengan kemajuan teknologi
informasi, frekuensi dan intensitas interaksi, dan komunikasi manusia
antarbenua yang makin hari makin meningkat. Dalam situasi seperti inilah
kehidupan bahasa dan sastra Jawa menunjukkan fenomena yang makin kompleks.
Perjalanan panjang sejarah bahasa dan sastra Jawa mengalami pasang surut
seiring dengan kebijakan penguasa dan sikap pemiliknya akibat pengaruh
lingkungan yang datang silih berganti. Begitu pula dalam hal penerbitan majalah
berbahasa Jawa, juga mengalami pasang surut. Tercatat pada tahun 1970-1980-an
ada beberapa majalah berbahasa Jawa, seperti: Jaya Baya, Panjebar Semangat, Mekar Sari, dan Djaka Lodhang. Dua majalah yang disebut terakhir adalah terbitan
dari kota Yogyakarta, sedangkan dua majalah terdahulu adalah terbitan dari kota
Surabaya. Majalah Djaka Lodhang
hingga kini masih terbit, tapi Mekar Sari
sudah tidak lagi terbit. Beberapa tahun terakhir malah dijadikan suplemen pada
setiap hari Minggu, di surat kabar Kedaulatan
Rakyat yang juga terbit di
Yogjakarta.
Melalui penerbitan dua
majalah berbahasa Jawa bernama Jaya Baya
dan Panjebar Semangat yang terbit di
Surabaya, termasuk wilayah provinsi Jawa Timur inilah, perkembangan bahasa dan
sastra Jawa bisa berkembang di Jawa
Timur. Perkembangan itu terjadi karena dua majalah inilah yang banyak memuat
karya-karya sastra berupa cerita pendek atau cerita cekak, dan puisi atau
geguritan yang berbahasa Jawa.
Dewasa ini kita banyak menjumpai hasil karya sastra Jawa modern, entah
berbentuk puisi (geguritan), cerita
pendek (cerita cekak), novel, dan
drama yang mengambil bahan dari budaya dan sastra tradisional, baik pengambilan
secara substansi maupun dalam bentuk pengutipan dari sastra tradisional.
Kehadiran karya sastra Jawa modern di Jawa Timur tidak terlepas dari situasi sosial,
budaya, dan politik. Bahkan tampak sangat kentara kaitan antara sastra dengan
situasi dan peristiwa sosial, budaya, dan politik. Secara garis besar
perkembangan sastra Jawa modern di Jawa
Timur dapat dibagi pada masa sebelum kemerdekaan, dan sastra pada masa setelah
kemerdekaan. Tidaklah dapat dipandang aneh jika persoalan-persoalan
yang terjadi dalam karya sastra, apakah itu puisi, cerita pendek maupun novel
yang menyiratkan kaitan yang signifikan dengan berlangsungnya kehidupan sosial,
budaya, dan politik sejalan dengan perkembangan zaman.
Tidak hanya karya-karya sastra yang dimuat di majalah berbahasa Jawa, tapi
para pengarangnya pun, tidak segan-segan menerbitkan sendiri buku-buku karya
sastra Jawanya. Mendanai sendiri atau bersama komunitasnya, menerbitkan
karyanya, lantas mengedarkan, atau membacakannya di ruang publik komunitas
sastra. Jika mau mencatat ada nama-nama pengarangnya, sebut saja: Suharmono
Kasijun, Bonari Nabonenar, Trinil, Suparto Brata, Sunarko ‘Sodrun’ Budiman,
Aming Aminoedhin, Tito Setyo Budhi, Herry Lamongan, Pringgo HR, Widodo Basuki,
Jarot Setyono, Djoko Prakosa, Ary Nurdiana, Indri S. Diarwanti, Djajus Pete, JFX Hoery, dan masih banyak
lagi.
Guritan
Bun-Bun Tumetes
Di tengah hiruk pikuk penerbitan karya sastra yang begitu banyaknya itu,
tulisan pendek ini hanya akan membicarakan salah satu di antaranya. Sebuah
antologi geguritan bertajuk ‘Bun-Bun
Tumetes’ karya Widodo Basuki.
Buku ini diterbitkan oleh Dewan Kesenian Surabaya (DKS) yang bekerja sama
dengan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) pada Agustus 2010 lalu. Antologi yang
sangat sederhana ini memuat 22 judul guritan yang kebanyakan cukup
pendek-pendek. Secara angka tahun penulisan ada 8 judul guritan ditulis tahun
2006, ada 6 judul berangka tahun 2006, tahun 2001, 2003, dan 2005 masing-masing termuat 2 judul
guritan. Sedangkan masing-masing satu judul guritan, berangka tahun 2008 dan
2010. Sampul bukunya yang juga sederhana, foto wayang kardus bergambar ‘Semar’ buatan pengarangnya Widodo Basuki sendiri.
Keseluruhan geguritan Widodo Basuki hampir bicara soal hidup dan kehidupan manusia di
bumi ini, dan beberapa judul guritan memokuskan persoalan kehidupan manusia
Jawa. Sebut saja guritan yang berjudul ‘Sasmita’ (hal.3) yang dalam baris-baris terakhirnya
berbunyi: oooo....... wong jawa//iki wis
ngancik jaman majuning kawruh//geneya isih wanuh// ing kapercayan kang lusuh// (ooo...
orang jawa//di jaman ilmu pengetahuan modern//kenapa masih bergaul//dengan
kepercayaan tahyul//).
Pada guritan lain, berjudul ‘Dongeng
Mistis’ (hal. 10) pengarang malah menutup guritannya dengan kalimat: wong jawa//senengane dolanan nyawa//. (orang
jawa //senangnya bermain-main dengan nyawa/).
Berbicara soal hidup dan kehidupan anak manusia, Widodo Basuki, sebagai penggurit memang mempunyai kecermatan dalam
mengolah guritnya. Beberapa naskah guritnya cukup memberikan pencerahan bagi
pembacanya. Tentunya, orang-orang yang paham akan bahasa Jawa. Beberapa guritan
nyemoni (menyindir) bagi pembacanya,
yang biasanya banyak omong tapi tak
berbuat apa-apa. Hal itu diumpamakan sebagai suara anjing yang membikin berisik
di telinga.
Guritan itu dituliskan berjudul ‘Mbaung’
(hal. 14) yang secara keseluruhan naskahnya berbunyi: swara asu//mbaung//brebegi kuping//manasi jantung//--ah,//selawase asu
mbaung//dianggep nggawa kabar ala// asu//mbaung//bareng bathara kala//nandur
memala// -- aja gela// (suara anjing//menggonggong//berisik di
telinga//menggetarkan jantung//-- ah,//selamanya anjing menggonggong//dipercaya
membawa kabar jelek//anjing//menggonggong//bersama bethara kala//menebar
bencana//-- jangan sakit hati//.
Pada bagian lain, Widodo, juga bicara soal politik yang dikaitkan dengan
rakyat yang tetap melarat dan kesrakat, guritan ‘Tengara’ (hal.16) bicara akan hal itu. Coba simak baitnya yang
berbunyi:mung pitakonku//wiwit biyen
nganti saiki//nasibe dimar ublik//tansah dipolitisasi//kanggo
pribadi//yagene?// (hanya
pertanyaanku// dari dulu hingga sekarang//nasibnya dimar ublik
(rakyat)//tetap dipolitisasi//buat pribadi seseorang// kenapa?).
Sementara itu, jika kita mau cermat membaca, karya guritan yang dijadikan
judul buku ‘Bun-Bun Tumetes’ (hal. 1)
maka kita akan diingatkan bahwa waktu selalu berjalan. Seperti dituliskan dalam
bait kedua: urip winengku ing
kodrat//rambut sijiloro saya putih//rebut wektu// (hidup bergantung
kodrat//satu dua rambut kian memutih//mengejar waktu//). Maka perlu kiranya
kita sebagai manusia untuk terus tetap waspada, dan sekecil embun yang jatuh
menetes itu akan mendinginkan kerasnya hati ini.
Widodo Basuki, sebagai penggurit telah mengingatkan pesan
kepada kita semua, sebagai anak manusia agar tidak berlaku sewenang-wenang pada
hidup dan kehidupan ini. Tinggal kita, sebagai manusia, adakah mau peduli?
Desaku Canggu, 30/08/2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar