MAJALAH SENI BUDAYA
DI JATIM
Oleh: Aming Aminoedhin*)
Sastra
sebagai salah satu cabang seni, cukuplah banyak digemari oleh masyarakat di
Jawa Timur. Hal tersebut dapat terlihat
dari maraknya keberadaan komunitas sastra, baik Indonesia maupun Jawa yang hidup
dan berkembang di Provinsi Jawa Timur. Komunitas-komunitas tersebut misalnya: FASS (Forum Apresiasi Sastra Surabaya), Forasamo (Forum Apresiasi Sastra
Mojokerto), Sanggar Sastra Kalimas (Unesa), Komunitas Sastra Rabo Sore (Unesa),
FS3LP (Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar Unair), FSBS (Forum Sastra Bersama
Surabaya), Komunitas Sastra Teater
Persada (Ngawi), Komunitas BMS (Bengkel
Muda Surabaya), Kostela (Komunitas
Sastra dan Teater Lamongan), KSLP (Komunitas Sastra Lembah Pring - Jombang), KSE (Komunitas Sastra Esok - Sidoarjo), KARS (Komunitas Alam Ruang Sastra –
Sidoarjo), dan mungkin masih banyak lagi. Sementara komunitas sastra Jawa, ada
Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS),
Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB),
Sanggar Sastra Jawa Triwida (SSJT)
Tulungagung, dan Sanggar Sastra Parikuning (SSP)
di Sempu, Banyuwangi.
Banyak
pula naskah karya sastra yang ditulis sastrawan Jawa Timur, selain berupa buku,
juga berupa karya-karya lepas yang termuat di berbagai media-massa (surat kabar
dan majalah), baik terbitan lokal Jawa Timur maupun nasional. Karya tersebut
dapat berupa buku prosa (cerita pendek/cerita sambung), puisi, bahkan naskah
drama. Sedangkan mereka yang masih pemula, banyak pula
yang menulis di ruang-ruang dunia maya atau internet, semacam: facebook,
blogspot, twitter, wordpress dan
lain sebagainya. Sebagian yang lain, malah buat kumpulan puisi atau cerpen
sendiri, dan kemudian dibacakan pada forum-forum diskusi sastra, yang kini kian
menjamur di Jawa Timur. Baik yang diselenggarakan di ibu kota provinsi, Surabaya, atau kota-kota di wilayah Jawa
Timur, semacam: Jombang, Mojokerto,
Gresik, Sidoarjo, Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, Lamongan, Lumajang, Malang,
Jember, Banyuwangi, Ngawi, dan
mungkin masih banyak lagi.
Fenomena
semacam ini tentunya sangatlah menggembirakan bagi masyarakat sastra Jawa
Timur, dan hal ini tentunya, layak untuk diakomodasi oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Timur. Semisal dibuatkan sendiri majalah Sastra dan Budaya tingkat Jawa
Timur. Mengapa demikian?
Sebab
selama ini, majalah sastra Horison,
satu-satunya majalah sastra di Indonesia itu, tidak lagi bisa menampung
karya-karya sastra yang membludak (baik dari Jatim maupun karya-karya sastra
dari provinsi lain) yang cakupannya se-Indonesia.
Di
Jawa Timur sendiri, karya sastra yang dilahirkan telah begitu banyaknya.
Terbukti dengan banyaknya komunitas-komunitas sastra menerbitkan karyanya
sendiri, tanpa pernah kita ketahui, apakah pernah dimuat di sebuah koran atau
majalah. Meski sebenarnya hal tersebut tidak menjadikan ukuran baik-tidaknya
sebuah karya sastra, tapi setidaknya bisa dijadikan semacam parameter
sementara; bahwa karya-karya tersebut telah terseleksi oleh dewan redaksi
sebuah koran atau majalah yang telah memuatnya.
Hal tersebut akan lebih baik, ketika
naskah-naskah sastra karya sastrawan muda Jatim itu, bisa ditampung dalam
sebuah majalah sastra sendiri, terbitan Jawa Timur. Tidak ikut nebeng (gabung) nama di majalah sastra
satu-satunya di Indonesia, bernama Horison,
yang mana mereka harus berjuang melawan antrian panjang dari para penulis lain
di luar Jawa Timur. Sungguh, kerja yang melelahkan!
Nah...
apabila Jawa Timur punya majalah sastra sendiri, antrian panjang melelahkan itu
akan bisa sedikit kita kurangi. Sekaligus menampung kreativitas sastrawan muda
yang kian membludak jumlahnya.
Majalah
Sastra Jatim, Mungkinkah?
Sekian
tahun yang lalu, sekitar tahun 1980-1990-an,
membuat semacam majalah kebudayaan yang memuat sastra di Jawa Timur
memang telah dirintis oleh beberapa komunitas sastra. Pertama, Teater Ideot, yang diprakarsai oleh Muhammad Sinwan, dengan menerbitkan majalah kebudayaan ‘Iklim’. Kedua, komunitas Sanggar Sastra Kalimas, yang dimotori Tengsoe Tjahjono (IKIP Surabaya,
sekarang Unesa) menerbitkan majalah kebudayaan ‘Kalimas’ Surabaya.
Dua majalah yang berlabel ‘majalah kebudayaan’ ini banyak memuat karya sastra, baik cerpen
dan puisi. Hal ini disebabkan redaksi pengelolanya berangkat dari mahasiswa
jurusan bahasa dan sastra Indonesia, dan pemain teater. Sehingga tidaklah salah,
jika banyak memuat karya sastra.
Akan
tetapi dua majalah ini tidak bisa bertahan lama. Di samping tidak didukung dana
yang kuat, juga kesulitan dalam menjual, dan mendistribusikan majalahnya.
Sedangkan
majalah berlabel ‘Buletin DKS’ yang
diterbitkan Dewan Kesenian Surabaya pada waktu itu, juga tidak bertahan lama
penerbitannya. Lantas buletin itu pun tidak terbit tanpa diketahui sebabnya.
Tapi syukurlah, kini ada gantinya, “Alur”
yang juga diterbitkan Dewan Kesenian Surabaya. Moga-moga bisa bertahan, dan
jadi alternatif bagi para penulis sastra Jawa Timur, utamanya kaum muda. Ada juga majalah “Pandom” jurnal budaya Surabaya, tak lama terbit juga mati. Sementara
majalah seni dan budaya‘Kidung’
terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur, meski tetap terbit, tapi tidak kontinyu
sebulan sekali terbitannya. Bahkan distribusi majalah ‘Kidung’ juga tidak menjangkau luas kepada masyarakat. Begitu pula
majalah ‘Bende’ terbitan Dikbangkes
Jatim, tidak menjangkau banyak masyarakat luas di Jawa Timur.
Di
tengah hiruk pikuknya anak-anak muda sekarang lagi keranjingan menulis sastra (cerpen maupun puisi), maka
selayaknyalah Pemerintah Provinsi Jatim, c.q Dewan Kesenian Jawa Timur, untuk
membuat majalah sastra Jatim sendiri. Atau memperbaiki penerbitan dan
distribusinya majalah seni dan budaya ‘Kidung’
itu menjadi terbit secara kontinyu, setiap sebulan sekali. Memuat karya sastra,
yang berupa prosa, puisi, dan naskah drama. Apa lagi kini ketua DKJT baru, baru
saja terpilih kedua kalinya.
Jawa
Timur punya banyak nama-nama sastrawan yang cukup disegani di tingkat Nasional,
seperti: Budi Darma, Suparto Brata,
Akhudiat, D. Zawawi Imron, dan seabreg yang lain. Lantas ada nama-nama yang
lebih muda: Tengsoe Tjahjono, Sabrot D.
Malioboro, Suharmono Kasijun, Beni Setia, Rusdi Zaki, Bonari Nabonenar, M. Shoim Anwar, Aming Aminoedhin,
Herry Lamongan, R. Giryadi, Widodo Basuki, Tjahjono Widarmanto & Widijanto, Mashuri, HU Mardiluhung, W.
Haryanto, Indra Tjahyadi, , Zoya Herawati, Wina Bojonegoro, Sirikit Syah, dan banyak lagi.
Nama-nama
para sastrawan tersebutlah yang sebenarnya bisa mejadi tim redaksi majalah
sastra budaya Jatim yang akan kita buat
nanti. Nama-nama mereka itu cukuplah handal untuk bisa menyeleksi naskah masuk
yang mungkin akan berjibun jumlahnya.
Persoalannya
sekarang, apakah Pemerintah Provinsi Jawa Timur (cq DKJT), benar-benar mau
menerbitkan majalah sastra Jatim sendiri? Atau barangkali melalui UPT
Dikbangkes majalah itu bisa diterbitkan?
Harapannya,
majalah seni budaya tersebut, jika terbit haruslah menjangkau banyak masyarakat
seni secara luas di Jawa Timur. Utamanya para guru seni budaya di sekolah. Adakah
bisa? Saya pikir masih bisa!
Mungkinkah?
Sangat mungkin!
Desaku Canggu, 27/12/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar