AIRMATA PENYAIR NEGERI INI
Oleh: Aming Aminoedhin
Judul buku : Negeri
Sembilan Matahari
Antologi Puisi Prosa Liris Kritik Sosial 50 Penyair
se-Indonesia
Editor : Muhammad Ardiansyah
Kata Pengantar : Moch Satrio Welang
Sampul buku : Arif
Bahtiar
Penerbit :
Kendi Aksara, Bantul, Yogyakarta
Cetakan :
I, 2013
Tebal :
vi+238 halaman
ISBN :
978-602-99907-6-8
Bacalah buku
bertajuk Negeri Sembilan Matahari (NSM), yang memuat karya-karya penyair
se-Indonesia ini, karena seakan kita
melihat carut-marut Indonesia yang kian hari kian memanas ini. Harga
bawang putih melambung tinggi, pejabat kian banyak ditangkapi lantaran korupsi, tkw, bencana lumpur
panas, bahkan hingga persoalan rakyat yang kian kesrakat, dan kian mlarat tak
terobati.
Menurut Moch Satrio Welang, sebagai koordinator penerbitan antologi puisi ini,
dalam kata pengantarnya mengatakan, “Di saat politik memanas, para politikus
bermain drama, sulit dibedakan mana infotaiment,
dan politik di Indonesia yang memiliki kemampuan bermain drama yang memukau.
Mungkin para sastrawan terengah-engah di atas realitias bangsa ini, yang
benar-benar mengalahkan surealisme dunia fiksi.” Lebih tandas Welang mengatakan, “Imajinasi dan
khayalan sekarang menyeruak dari layar kaca dan hadir di tengah-tengah kita.”
Buku
ini memuat karya 50 penyair Indonesia, yang masing-masing penyair puisinya
termuat 3 judul puisi. Mereka itu dari berbagai daerah, seperti: Palu
(Sulawesi), Bengkulu, Jambi, Pekanbaru, Painan, Palembang (Sumatra), Samarinda
(Kalimantan), Batu, Malang, Surabaya, Madiun, Mojokerto (Jatim), Solo,
Sukoharjo, Purwokerto (Jateng), Cirebon, Purwakarta, Bandung, Bekasi (Jabar),
Jakarta, Denpasar, Lombok, Mataram, dan bahkan ada 2 penyair asal Hongkong, Hana Yohana dan Mega
Vristian S (asal Malang).
Dalam
buku ini, termuat juga endorsement tulisan
Ratna Sarumpaet, Gerson Poyk, Afrizal
Malna, Oka Rusmini, Saut Situmorang, Sosiawan Leak, dan Joko Pinurbo. Endorsement
Ratna Sarumpaet mengatakan, “Karya-karya dalam buku ini
berbicara lantang mengenai segala ketimpangan yang menjadi realitas sosial di
masyarakat. Itulah tugas seniman. Mengingatkan semua pihak bahwa mayoritas
masyarakat Indonesia masih jauh dari sejahtera, dan Negara bertanggung jawab
mengejar ketertinggalan itu.”
Secara
ironis penyair Hasan Bisri (Jakarta),
menyebutkan negara tak lagi mengejar ketertinggalan, tapi: Negeriku memang negeri kata-kata/Pemimpin-pemimpin di negeri ini memang
mengira/Dengan kata-kata habis perkara (Negeri Kata-Kata, hal 111). Sedang
penyair dari Hongkong, Mega Vristian
Sambodo bertanya: ketika airmata
darah duka perempuan-perempuan kembara/menghasilkan setoran uang ke negara/lalu
laskarmu menggelar pesta/dari uang korupsi sebagian milik penghasil
devisa/teladan mana lagi yang kan kau contohkan (Pertanyaan Untuk Presiden,
hal. 159).
Puisi-puisi
lainnya banyak yang bicara atau mengkritisi politisi, antara lain puisi berjudul: Setumpuk Telinga di Tong Sampah Samping
Gedung Parlemen, Jangan Dimanfaatkan, Wakil Rakyat Pemimpin dan Pemimpi,
Surabaya Ajari Aku Tentang Benar, Prosaika Republik Tanpa Harap, Wakil Rakyat,
Suara Setan & Reformis Yang Terberak-Berak, dan banyak lagi. Bicara
pendidikan ada puisi berjudul: Oemar
Bakrie Masa Kini, Pendidikan Semu, Arwah
Galau, Apa Kabar Pendidikan Negeri Ini, dan Dari Guru.
Sementara itu, soal lumpur Lapindo yang beritanya menasional itu ditulis
pada puisi: Masih Lapindo, Dari Lumpur
Lahir Dajjal, Sebutir Telur Matang, dan
Notasi Pulang Kampung. Dunia TKW, yang berjuluk pahlawan devisa negara
ditulis dalam puisi bertajuk: Ruyati,
Saat Keluar Negeri Bukan Kebanggaan, Berdarah, Pa, Pertanyaan Untuk Presiden,
dan Wajah-wajah Dalam Bingkai Hitam.
Membaca
buku NSM seperti membaca Indonesia
yang muram, atau bahkan membaca airmata penyair yang menangisi negerinya.
Setidaknya, sebagai pembaca buku ini, akan tahu betapa penyelenggara negara
ini, belum maksimal menanganinya. Ini berarti mereka gagal, dan tak sesuai
janji mereka. Korupsi kian semakin merajalela!
Buku
bertajuk NSM ini adalah satu dari
buku trilogi sastra kritik sosial yang telah terbit secara bersamaan, di tahun
2013 ini, dengan dikomandani Moch Satrio Welang dari Denpasar, Bali.
Dua buku lainnya, bertajuk Langit Terbakar
Saat Anak-anak Itu Lapar (LTSAIL) antologi puisi, memuat 50 penyair
lainnya. Sedangkan Semangkuk Nasi dan
Sang Presiden (SNDSP) kumpulan cerpen, memuat 20 cerpenis Indonesia.
Menarik
untuk dicatat, bahwa dari 50 penyair yang menulis dalam antologi itu, penyair
perempuannya, lagi-lagi hanya sekitar belasan orang yang ikut di dalamnya.
Selebihnya, semua penyair adalah kaum lelaki. Namun dari catatan biodata
penulis bisa dilihat bahwa para penulisnya berasal hampir dari wilayah
Indonesia.
Mengakhiri resensi ini, barangkali
menarik jika diikutkan apa yang dikatakan Joko
Pinurbo, dalam endorsement-nya, “Antologi puisi ini menunjukkan betapa negeri
yang kaya raya dan elok permai ini penuh dengan ironi. Di mana-mana kita
menyaksikan kontras antara apa yang dicita-citakan dan dicitrakan dengan apa
yang tampak dalam kenyataan. Penyebab utamanya adalah matinya hati bangsa. Dan
bangsa yang mati hati tak bisa lagi mencintai dan membela anak-anaknya sendiri.
Barangkali puisi adalah nyanyi sunyi untuk tetap menghidupkan hati.”
Maka bacalah buku Negeri Sembilan Matahari, dengan
matahati. Hal ini karena airmata penyair negeri ini, telah tertuang
dalam baris-baris puisi. Agar hati kita tak dipenuhi rasa dengki, iri, dan bahkan
mungkin tidak melakukan korupsi. Bacalah!***
Desaku
Canggu, 21 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar