Mengenang Suparto Brata
MAESTRO SASTRA SURABAYA
Oleh: Aming Aminoedhin
Betapa tidak maestronya seorang Suparto Brata? Sebab selama perjalanan hidupnya, beliau telah menulis banyak karya sastra berupa novel dan cerita pendek, baik berbahasa Indonesia maupun Jawa. Bahkan ratusan jumlahnya, dan bagi pembaca setia Harian Kompas pasti akan pernah membaca cerita seperti Kremil, yang termuat secara bersambung di harian ini, sekian tahun yang lalu. Saya sendiri, membaca cerita Kremil juga dipada cerita sambungnya Kompas itu. Sungguh banyak orang yang sangat kenal Suparto Brata, melalui cerita-cerita yang termuat di koran itu.
Beliau pernah menggunakan nama samaran dalam menulis (utamanya
berbahasa Jawa) seperti nama: Peni, Eling
Jatmiko, dan M. Sholeh. Keturunan bangsawan dari Surakarta Hadiningrat,
putra dari R. Suratman Bratatanaya dan RA. Jembawati. Suparto Brata merupakan
anak ke-8 dari 8 bersaudara, namun hanya satu yang hidup, yaitu Raden Mas
Soewondo.
Suparto Brata lahir di kota Surabaya, Sabtu Legi
27 Februari 1932; dan meninggal Jumat, 11 September 2015. Beliau menikah dengan
Rara Ariyati—lahir di Meurudu Aceh 27
Desember 1940—pada tanggal 22 Mei 1962 di Purworejo, Kedu (Jateng). Dikaruniai empat orang anak, yakni Tatit
Merapi Brata (1963), Teratai Ayuningtyas (1965), Neo Semeru Brata (1964), dan
Tenno Singgalang Brata (1971). Keempat anak Suparto Brata, memberinya delapan
orang cucu. Suparto Brata tinggal di Rungkut Asri III/12 Perum YKP RL-I C 17
Surabaya 60293.
Menurut pengakuan, ketika beliau masih hidup
dikatakan bahwa pendidikannya berawal dari pendidikan
di Angka Loro Sragen (1938—1934), Sekolah Rakyat di Surabaya (1943—1945),
Sekolah Rakjat VI Jalan Laut Probolinggo, lulus tahun 1946, SMPN II Jalan
Kepanjen Surabaya, lulus tahun 1950, SMAK St. Louis Jalan Dr. Sutomo Surabaya,
lulus tahun 1956.
Kota Surabaya, memang
punya banyak pengarang yang cukup dikenal sampai ke tingkat Nasional, sekedar
menyebut beberapa nama, seperti: Muhammad Ali, Basuki Rahmad, Suripan Sadi
Hutomo (ketiganya almarhum), lantas Budi Darma, Akhudiat, Dukut Imam Widodo, M.
Shoim Anwar, Suharmono Kasijun, Tengsoe Tjahjono, Suharmono K, R. Giryadi, dan banyak lagi. Namun mereka tidak seperti
Suparto Brata, yang menulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Jawa, dan karya
sastranya tetap punya kualitas dan kuantitas yang cukup diperhitungkan dalam
dunia sastra. Baik di ranah sastra Indonesia dan Jawa.
Tidaklah salah jika beliaunya
diberi predikat sebagai Maestro sastra Surabaya. Gigih dan tekun dalam
menulis dibuktikan dari lamanya ia berkecimpung dalam menulis. Menulis diawali tahun 1951.
Beliau menulis apa saja dari: menulis berita, feature, artikel, dan sastra
di banyak media massa, seperti: Majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Indonesia,
Kisah, Seni, Buku Kita, Sastra, Aneka, Vista, Sarinah, Kartini, Putri
Indonesia, Panjebar Semangat, Mekar Sari, Jaya Baya, Djoko Lodang, Jawa
Anyar, dan Dharma Nyata, korannya antara lain: Surabaya Post, Harian
Umum, Suara Rakjat, Pikiran Rakjat, Trompet Masyarakat, Jawa Pos, Sinar
Harapan, Indonesia Raya, Kompas, Suara Karya, dan Republika.
Hal tersebut dikarenakan
beliau pernah bekerja sebagai pegawai
Kantor Telegrap PTT Surabaya tahun 1952—1960, yang pada waktu senggangnya bisa
digunakan menulis. Beliau lantas bekerja pada Perusahaan Dagang Negara Djaja
Bhakti Surabaya 1960-1967. Jadi wartawan frelance/lepas tahun 1968—1988 di berbagai media massa seperti Jaya Baya, Surabaya Post, Indonesia Raya,
Sinar Harapan, Kompas, dan Suara Karya. Pada saat yang hampir bersamaan,
yakni dari tahun 1971 hingga 1988, Suparto Brata bekerja sebagai PNS di Pemda
II Kotamadia Surabaya, Bagian Humas. Memasuki masa pensiun PNS, beliau merasa
lebih bebas merdeka untuk menulis karya sastra.
Begitu pula soal organisasi sastra Jawa, beliau
tetap terus memberi semangat komunitas ini. Beliau pernah sebagai penasehat PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra
Jawa Surabaya), yang diketuai Dr. Suharmono Kasijun (dosen Unesa). Bahkan
ketika PPSJS akan menerbitkan kumpulan guritan beserta terjemahannya, bertajuk Gurit Bandha Donya, beliau minta
karyanya ikut dalam kumpulan guritan tersebut. Anehnya, guritan beliau hanya
ditulis dalam satu kata, yaitu ‘plung’.
Ketika bedah buku Gurit Bandha Donya, di Taman Budaya Jawa Timur (2014), beliau
sempat hadir, dan ikut diskusi dengan pembedah bukunya, M. Shoim Anwar.
Sedangkan ketika rombongan PPSJS tampil lagi membawa Gurit Bandha Donya dalam sajian ludruk-guritan
di Tembi Rumah Budaya-Yogya, 31 Juli 2015 lalu, sang Maestro tidak kami ajak serta, karena kondisi sedang sakit.
Kini mbah Parto Brata, memang telah tiada. Tapi
karya-karya sastranya akan tetap abadi untuk terus dibaca dan diteliti. Karya
sastra yang kebanyakan bercerita dengan latar/setting tentang kota Solo dan
kota Surabaya.
Selamat jalan maestro sastra Surabaya, doa kami
semua mengiringi! Semoga semua amal ibadahnya diterima Allah SWT; dan
diampuni segala salah dan khilafnya. Aamiin YRA. (Aming Aminoedhin).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar