Mh. Iskan identik Teater Persada Ngawi *** Sutradara dan Pimpinan Teater Persada
oleh: aming aminoedhin
PrologLelaki
tua yang sederhana dengan rambut yang sudah banyak beruban itu, ditemui
penulis di rumahnya di Jalan Trunijoyo 90 Ngawi. Dengan sangat
santainya ia bercerita banyak tentang komunitas dan dirinya, yaitu
Teater Persada Ngawi.
Lelaki
tua yang berkacamata itu, bernama asli Muhammad Iskan; kemudian kata
Muhammad disingkat dengan sebutan Mh untuk inisial menulis karya sastra
atau pada lukisan-lukisan yang dihasilkannya. Mh. Iskan lahir di Ngawi,
11 November 1942. Selain memakai nama Mh. Iskan, lelaki ini juga memakai
julukan lain Esko. Ayahnya seorang pensiunan Kantor Departemen Agama
Kabupaten Ngawi, bernama Muh. Iskak (1921), ibunya bernama Mainah ( lupa
kelahirannya). Keduanya kini sudah almarhum.
Istrinya yang
seorang bidan terkenal di kota Ngawi, bernama Sutidjah (Ngawi, 9
November 1941). Mh. Iskan tidak mempunyai seorang pun anak, oleh sebab
itu ia banyak menghidupi sepupu-sepupunya.
Sekolah, Kerja, dan Ulah SeniDitanya
soal sekolah, ia mengatakan bahwa pendidikan yang pernah ditempuh
selama ini adalah lulus Sekolah Dasar di Ngawi (1956), lulus SMP di
Madiun (1959), dan SMSR di Yogyakarta (1965). Selain pendidikan formal,
Iskan juga pernah mengikuti pendidikan nonformal, seperti: Kursus Tari
Bagong Kussudiardjo (Yogyakarta), Berlatih Teater dan Seni Rupa di
Sanggar Bambu (Yogyakarta), bermain teater bersama Putu Wijaya dan
Arifin C. Noer di Teater Mandiri dan Teater Kecil (Jakarta).
Ia
tidak banyak punya latar belakang pekerjaan, akunya, karena selama ini
Mh. Iskan tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Kabupaten Ngawi. Selain itu, ia banyak menulis, melukis
dan bermain drama, serta melatih drama dan melukis bagi rekan-rekannya
di Teater Persada Ngawi. Hingga ia pensiun, Mh. Iskan mempunyai jabatan
sebagai Penilik Kebudayaan di Kecamatan Ngawi.
Sedangkan ulah seni
dan budaya yang pernah dilakukan antara lain: melukis, menulis sastra
secara otodidak, kemudian bertemu dengan berbagai komunitas, termasuk
komunitas teater. Pada awalnya menulis puisi, membuat sketsa, cerita
pendek, dan naskah drama, yang kesemuanya ditulis dengan media bahasa
Indonesia dan Jawa.
Tulisannya pertama kali dimuat media-massa
pada tahun 1969, lupa nama korannya. Hingga kini honorarium yang
diterima terakhir Rp 300.000,00 (Tiga Ratus Ribu Rupiah).
Menurut
Iskan, bahwa dengan berorganisasi dengan berbagai komunitas, ia banyak
mendapatkan inspirasi untuk menulis karya sastra dan ide untuk beberapa
lukisannya.
Komunitas yang pernah diikutinya antara lain: Teater
Mandiri dan Teater Kecil (Jakarta), Sanggar Bambu (Yogya), Etsa Divina
Artis Magistra (Ngawi), Teater Persada (Ngawi), dan Remaja Masjid di
Ngawi.
Naskah puisinya terkumpul dalam kumpulan puisi bersama
rekannya: Tanah Persada, Tanah Kapur, Tanah Rengkah, Surat Dari Ngawi,
dan banyak lagi. Puisinya termuat di koran Sinar Harapan, Suara Karya,
dan sketsa termuat di Majalah Sastra Horison (Jakarta).
Dalam
dunia kesastraan, Iskan sering menjadi juri lomba baca dan tulis puisi
di Ngawi, juri lomba drama di Surabaya, menjadi sutradara teater
Persada, dan sutradara film garapan BKKBN Jawa Timur (1985), film KPU
Ngawi (2004), dan film Dinas Kesehatan Ngawi (2005). Prestasi yang
pernah disandang adalah dua kali sebagai sutradara terbaik pada Festival
Drama se Jawa Timur tahun 978 dan 1983. Sedangkan pada tahun 1983
tersebut, Teater Persada Ngawi tidak hanya mendapatkan predikat
penyutradaan terbaik, akan juga mengangkat salah satu aktornya mendapat
predikat aktor terbaik, atas nama Aming Aminoedhin.
Melukis dan
menulis sastra, kata Mh. Iskan akan terus dilakukan hingga ajal tiba,
karena tanpa menulis dan melukis, hidup terasa hampa tanpa makna.
Sejarah dan Prestasi Teater PersadaDi
ruang tamu rumahnya yang kebak terpajang lukisannya, penulis menanyakan
tentang Teater Persada Ngawi, dengan antusias Iskan menjawab, dan
bercerita tentang komunitas yang dipimpinnya tersebut.
Berbicara
sejarah komunitas ‘Teater Persada’ Ngawi, cukuplah panjang
perjalanannya, katanya mengawali. Menurutnya ‘Teater Persada’, berawal
dari komunitas para pelajar yang tergabung dalam Pelajar Islam Indonesia
(PII) Cabang Ngawi, tahun 1960-an. Dari komunitas ini, kemudian
terbentuklah apa yang dinamakan komunitas bernama “Himpunan Pecinta
Sastra Etsa’ kemudian lebih dikenal kelompk ‘Etsa Divina Artis Magistra’
yang merupakan gabungan para pelajar PII tersebut, dengan membuat
sebuah kelompok seni pertunjukan, menampilkan berbagai cabang seni. Di
antaranya: pentas keroncong, drama, dan baca puisi. Beberapa nama yang
aktif di komunitas ini adalah: Anwaroeddin, Suwandi Black, Mh. Iskan,
Ummi Haniek, Rodiyah, Sutomo Ete, Gisran, Rosyid Hamidi, Wahab Asyhari,
Salimoel Amien, A. Mukhlis Subekti, M. Har Harijadi, Heru, Aming
Aminoedhin, Djoko Mulyono, Ratih Ratri, Susilowati, Siti Alfiana Latief,
Agnes Maria Soejono, dan banyak lagi.
Pada mulanya, kata Iskan,
komunitas ini tampil di komunitasnya sendiri, Pelajar Islam Indonesia
(PII) Cabang Ngawi, tapi pada perkembangannya bisa mementaskan seni
pertunjukannya di luar komunitasnya. Misalnya diundang di Bupati Ngawi,
pentas drama di pendapa Kabupaten Ngawi.
Berawal dari intensnya
komunitas ini berkumpul dan latihan seni pertunjukan inilah yang
kemudian memunculkan ide memberi nama komunitas, yaitu ‘Komunitas Teater
Persada’ pada tahun 1978. Pada waktu itu, kata Mh. Iskan, komunitas ini
akan mengikuti Lomba Drama se Jawa Timur di Surabaya.
Susunan
kepengurusan, Mh. Iskan, terpilih sebagai ketuanya; dan M. Har Harijadi
menjadi sekretaris. Beberapa nama yang ikut jadi pengurus antara lain:
Salimoel Amien, A. Mukhlis Subekti, Wahab Asyhari, dan Suwandi Black.
Markas
atau pangkalan dari Komunitas Sastra Teater Persada adalah Jalan
Trunojoyo 90, Ngawi; yang merupakan rumah pribadi Mh. Iskan. Sedangkan
latihan-latihan drama, dan baca puisi, biasanya dilaksanakan di pendapa
Paseban WR. Soepratman Widyodiningrat, yang berada di depan Kantor
Bupati Ngawi. Alternatif lain dalam penyelenggaraan latihan drama dan
puisi, berada di halaman masjid besar Ngawi atau di rumah AM. Subekti di
dekat masjid.
Dalam aktivitas pentas drama, kenangnya, ‘Komunitas
Teater Persada’ tidak hanya pentas drama panggung, tapi juga drama
radio di RKPD (Radio Khusus Pemerintah Daerah) Kabupaten Ngawi, dan
Radio Al-Azhar (Radio Swasta milik Pelajar Islam Indonesia) Cabang
Ngawi.
Selain pentas drama radio, ‘Komunitas Teater Persada’
Ngawi, juga pernah membuat video-film bekerja sama dengan BKKBN Jawa
Timur, dengan KPU Kabupaten Ngawi, dan instansi pemerintah di Kabupaten
Ngawi.
Pentas drama panggung ‘Komunitas Teater Persada’ Ngawi
tidak hanya di kotanya sendiri Ngawi, dan berulang kali; akan tetapi
juga tercatat pernah pentas di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT)
Sasonomulyo, Surakarta, Taman Budaya Jawa Timur, Perhimpunan
Persahabatan Indonesia-Amerika (PPIA), Dharmahusada Barat, Surabaya,
Taman Budaya Jawa Tengah di Surabaya; dan Taman Budaya Yogyakarta.
Mh.
Iskan sebagai ketua komunitas, ketika teman-teman Persada tidak lagi
bisa diajak bermain, maka dia memainkan sendiri sebuah naskah monolog
karya Putu Wijaya berjudul ‘Mulut’. Pentas monolog berdurasi sekitar
satu jam ini, telah digelarpentaskan 5 kali pertunjukan. Pentas pertama
di depan siswa-siswa SMAN 1 Ngawi, MAN Ngawi, Dewan Kesenian Surabaya,
dan SMAN 2 Ngawi; pada tahun 2006. Sedangkan tahun 2007 dipentaskan di
depan mahasiswa Universitas Widya Mandala Madiun (tidak ingat tanggal
dan hari pentasnya).
Naskah-naskah drama yang dipentaskan oleh
‘Komunitas Teater Persada’ Ngawi, kebanyakan memang naskah yang ditulis
dan disutradarai sendiri oleh ketuanya, Mh. Iskan; kecuali naskah
pementasan dalam rangka lomba drama se-Jawa Timur.
Dalam rangka
lomba pementasan drama se-Jawa Timur, ‘Komunitas Teater Persada’ Ngawi,
pernah mendapatkan predikat terbaik (sutradara dan kelompok) di tahun 1978;
serta sutradara, kelompok, dan aktor terbaik pada tahun 1983. Secara
catatan prestasi ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi sudah
memenangkan dua kali kemenangan di tingkat Jawa Timur, yaitu 1978 dan
1983. Belum lagi, telah beberapa kali para anggotanya memenangkan
beberapa kali lomba baca dan menulis puisi di berbagai lomba.
Aktivitas
dari ‘Komunitas Teater Persada’ Ngawi memang tak pernah berhenti,
bahkan saya sendiri, Mh. Iskan, tetap bermonolog sendiri serta pentas di
berbagai tempat dan komunitas lain. Di samping itu, Mh. Iskan, juga
masih melukis dengan corak lukisan gaya ‘Sanggar Bambu” Yogyakarta, di
mana dulu ia termasuk anggota komunitas itu.
Epilog
Di
penghujung wawancara, Mh. Iskan, merasa kehilangan atas meninggalnya M.
Har Harijadi, salah satu teman diskusi seni, serta termasuk tokoh
kehumasannya Teater Persada Ngawi, yang tak pernah berhenti terus
menyemangati pentas-pentas teater dan monolognya. Dia, Harijadi,
katanya, orangnya tak pernah lelah dalam mengkomunikasikan kegiatan
Teater Persada Ngawi ke media-massa, bahkan hanya lewat SMS (pesan
singkat) hand-phone. Kini Mh. Iskan masih tetap aktif melukis di rumah,
dan menulis sastra.
Dari hasil wawancara ini, Mh. Iskan dan Teater
Persada Ngawi, telah banyak melakukan kegiatan seni dan budaya di
kotanya. Dan komunitasnya telah banyak memberikan inspirasi dan sugesti
seni budaya kepada teman-teman seniman lainnya, di tanah Ngawi yang sepi
itu. Teater Persada identik dengan Mh. Iskan, dan Mh. Iskan identik
Teater Persada. Mh. Iskan mendapatkan penghargaan seni bidang teater
dari Gubernur Jawa Timur tahun 2008 ini. Sebuah penghargaan yang layak
bagi beliau, karena beliau berkesenian tanpa lelah, tanpa merasa patah,
apa lagi kata kalah. Meski mungkin berkesenian hingga berdarah-darah,
tapi seni budaya harus terus bersuara. Tak ada kata kalah atau menyerah,
bila bicara soal seni budaya, tak ada dalam kamus hidupnya. Selamat dan
sukses selalu! (diperbaharui, bersama foto-foto aming.syair@gmail.com - 26/2/2013).
1 komentar:
lhah, mbah iskan itu kakek saya, kaget banget, setelah beliau meninggal baru tau kalau beliau seniman kawakan di ngawi
Posting Komentar