PARA PENGARANG SASTRA JAWA
1. SUPARTO BRATA
Suparto
Brata,
kelahiran Surabaya, 27 Februari 1932 ini sering menggunakan
nama samaran Peni, Eling Jatmiko, Tera, dan M. Sholeh. Ia lahir dari
pasangan Bendara Raden Ajeng Jembawati (Keturunan Paku Buwono V) dan
Raden Suratman yang berasal dari Surakarta. Pendidikannya dimulai
dari sekolah Angka Loro di Sragen (1938--1934), SR (1943—1945) di
Surabaya, SR dan SMPnya dilalui dalam pengungsian di Probolinggo
(1946–1947), kemudian diteruskan di SMPN II dan SMA Katolik St.
Louis Surabaya (1954-1956).
Suparto Brata, lahir
sebagai anak ke-8 dari 8 bersaudara. Namun, saudaranya yang hidup
hanya satu orang, yaitu Raden Mas Soewondo, anak ke-4, sehingga ia
hanya dua bersaudara. Pengarang yang menikah dengan Raden Rara
Ariayati pada tahun 1962 ini memulai pekerjaan sebagai karyawan
Rumah Sakit Kelamin di Surabaya tahun 1951 – 1952, kemudian pindah
menjadi karyawan kantor telegrap PTT tahun 1952 – 1960 di
Surabaya, pindah lagi menjadi karyawan perusahaan Dagang Negara
Djaya Bhakti di Surabaya tahun 1960 – 1967, dan terakhir tercatat
sebagai pegawai kotamadya II Surabaya tahun 1971 – 1988. Bapak
empat orang anak, Ir. Tatit Merapi Brata ( 1963 ), Teratai
Ayuningtyas, SE ( 1965 ), Neo Semeru Brata, S.TP ( 1964 ), dan Ir.
Tenno Singgalang Brata ( 1971 ), ini sekarang tinggal di Rungkut Asri
III / 12 Perum YKP RL – I – C 17 Surabaya 60293
Pertama kali menulis dengan media bahasa Indonesia
pada tahun 1952 di majalah Siasat
dan Mimbar Indonesia.
Tulisannya itu merupakan artikel, sedangkan karyanya yang berbentuk
sastra pertama kali muncul di majalah Garuda
Jakarta tahun 1953 tanpa diberi imbalan. Tahun 1953 itu pula
tulisannya terbit di majalah Kisah
dengan imbalan Rp. 60. Pertama kali
menulis didorong oleh keinginannya untuk memberitakan apa yang
disaksikan, dipikirkan, diimajinasikan, dan dicita-citakan. Ia selalu
merasa bahwa apa yang telah dia tulis belum sempurna, belum tuntas,
dan belum memuaskan sehingga ia akan terus menulis. Pendapatannya
sebagai seorang pengarang cukup memberikan kontribusi bagi kehidupan
ekonominya. Suparto Brata menceritakan bahwa ketika ia mengambil
rumah di Rungkut, kala itu cicilannya adalah Rp. 121.000. Padahal,
gajinya sebagai pensiunan pegawai negeri hanya Rp. 120.000 sehingga
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya dan biaya kuliah
anak-anaknya, praktis mengandalkan dari menulis. Ketika kebutuhan
ekonomi mendesak, misalnya untuk biaya kuliah anak-anaknya, ia
terpaksa ‘melacurkan’ diri dengan mendaur ulang
tulisan-tulisannya yang pernah terbit untuk dikirimkan kembali ke
media lain. Penghasilan yang cukup lumayan itu yang menjadi salah
satu pendorong untuk produktif. Semasa masih bekerja di kantor
telegrap, ia selalu membawa tulisannya yang ditulis tangan dengan
rapi di rumah. Ia berangkat pagi-pagi sekali dan sebelum jam kerja
dimulai ia mengetik tulisannya dengan mesin ketik kantor. Dengan
demikian, ia merasa tidak mengorupsi waktu kerjanya di kantor
telegrap. Honor tertinggi yang pernah diterima adalah ketika cerita
sambungannya saksi mata dimuat di Kompas.
Ia diberi imbalan Rp. 10.000.000. Uang hasil tulisannya dibelikan
perlengkapan rumah seperti kulkas dan TV. Tulisannya yang berbahasa
Jawa terakhir mendapat imbalan Rp. 18.000 per sekali muat atau total
360.000 untuk cerita sambung
yang dimuat dalam 20 terbitan di majalah Panjebar
Semangat.
Kemampuannya menulis didapat dari belajar membaca karya orang lain,
terutama karya-karya detektif dari Amerika dan Inggris. Ia gemar
membaca karya-karya detektif Agatha Cristie, Shidney Sheldon dan
karya-karya pengarang lainnya. Dari karya-karya yang dibaca itu
timbul keinginan untuk menulis seperti mereka karena ia merasa mampu
menulis seperti itu dan ia juga ingin terkenal seperti
penulis-penulis tersebut.
Pendapatannya dari menulis dalam bahasa Indonesia
jauh lebih besar bila dibandingkan dengan tulisannya dalam bahasa
Jawa. Ia menulis karangan yang berbangsa Indonesia di Siasat,
Indonesia,
Zenith,
dan Mimbar Indonesia.
Segala genre,
kecuali puisi, ia tulis karena ia ingin menulis lebih baik dari yang
telah dibacanya.
Sebagai pengarang sastra Jawa yang sangat
produktif, ia banyak mendapat penghargaan. Saking banyaknya
penghargaan yang diperoleh, ia sampai lupa. Beberapa penghargaan yang
masih diingatnya adalah (1) pemenang penulis sandiwara dari
Departemen P dan K ( 1958 ) dan (2) dari yayasan Rancage tahun 2000
sebagai pembina bahasa dan sastra Jawa dan untuk kumpulan crita
cekaknya yang berjudul Trem
(Pustaka Pelajar) pada tahun 2001 dan
Donyane Wong Culika (2005).
Kesulitan yang dialami sebagai pengarang adalah dalam hal penyebaran
karya sastranya untuk sampai kepada pembaca. Selama menjadi pengarang
ia merasa mendapat bantuan dari para redaktur majalah bahasa Jawa
yang telah meloloskan karangannya, para penerbit buku bahasa Jawa,
teman pengarang, peneliti, kritikus sastra, dan para mahasiswa yang
telah menjadikan karya-karyanya sebagai objek penulisan skripsi atau
tesis S-2.
Pengarang, yang bertekad akan terus menulis sampai merasa puas karena
sampai sekarang ia belum merasa puas ini berharap agar sastra Jawa
dapat menjadi warga sastra dunia. Dia menganggap bahwa bahasa Jawa
dapat digunakan sebagai bahasa komunikasi dalam dunia modern. Hal itu
didasarkan pada pengalamannya sebagai pengarang sastra Jawa yang
merasa bahwa bahasa Jawa cukup sempurna sebagai bahasa pengantar di
bidang apa saja dan kapan saja. Ia menganggap bahwa bahasa Jawa cukup
sempurna untuk mengungkapkan kehidupan, perasaan, peradaban, dan
sebagainya tentang hidup manusia kapan saja dari dahulu hingga
sekarang.
Hasil karya Suparto Brata, sejak tulisannya yang pertama sampai
dengan yang terbaru (2002), didokumentasikan dengan sangat baik.
- Tak Ada Nasi Lain (1958, diperbaiki 1989, 249 hal, diterbitkan bersambung Kompas Januari – Maret 1990).
- Si Gadis Datang (drama, 18-26 Desember 1958, dimainkan oleh SGTK Surabaya 1958, dimainkan oleh Sandradika Surabaya, ditayangkan TVRI Pusat Jakarta 1973 memperkenalkan Eva Rosdiana Dewi)
- Cinta Dan Penghargaannya (drama, Pemenang Harapan I penulisan naskah drama Departemen P& K Yogya tahun 1958).
- Kaum Republik (33 hal, pemenang pertama Sayembara crita sambung Panjebar Semangat. Terbit di Panjebar Semangat tahun 1959, judulnya diganti menjadi Jiwa Republik. Diterbitkan oleh CV. Ariyati 1965, dengan judul Lara Lapane Kaum Republik).
- Tanpa Tlacak (Seri Detektif Handaka, 1959, dimuat Panjebar Semangat 4 Maret-6 Mei 1961 (9X) dan dibukukan oleh CV Setia Kawan Surabaya tahun 1962).
- Kaum Republik (drama, dimuat bersambung di majalah Aneka Jakarta No. 6 Th. X 10 Mei 1960 - No. 14 Th. XI 10 Juli 1960. (9X)).
- Katresnan Kang Angker (dengan nama samaran Peni, 20 Juli – 10 Agustus 1961 52 hal. Dimuat bersambung di Panjebar Semangat No. 7 Th. 29. 17 Februari 1962 - No. 19 Th 29, 2 Juni 1962. (13X). Dibukukan Setia Kawan Surabaya 1962. Dimainkan jadi drama di FKIP Sanata Dharma Yogyakarta oleh Rama Th. Koendjono S.J. 1963).
- Pethite Nyai Blorong (dengan nama samaran Peni, 24 Januari – 12 Februari 1962. 60 hal, ide cerita Mignon G. Eberhart: White The Patient Slept, dimuat bersambung di Panjebar Semangat 1962 dan dibukukan oleh CV Ariyat Surabaya, 1965 serta dicetak ulang oleh Yayasan Penerbit Djojobojo Surabaya, 1996).
- Emprit Abuntut Bedug (seri Detektip Handaka. Agustus 1962, 60 hal, dimuat bersambung Panjebar Semangat 1963, dibukukan oleh CV. Ariyati Surabaya, 1966).
- Kaduk Wani (seri Wiradi, 1962, 18 hal, dimuat bersambung Jaya Baya, 1966).
- Kena Pulut (seri Wiradi, 1963, 50 hal, dimuat bersambung Jaya Baya, 1967).
- Mulai Dengan Senyum (drama, dimuat bersambung di majalah Gapura Surabaya 1963).
- Kadurakan Ing Kidul Dringu (Oktober 1963, 64 hal., dimuat bersambung Panyebar Semangat, 1963, dibukukan CV. Ariyati Surabaya, 1965).
- Titising Sepata (24 Januari 1964, 116 hal., cerkak (fragmen) di Jaya Baya 1966, dengan judul: Wong Wadon Narionint).
- Tretes Tintrim (seri Detektip Handaka, 1- 27 Agustus 1964, dimuat bersambung Jaya Baya, 1961, dibukukan oleh CV. Ariyati Surabaya, 1965).
- Asmarani (dengan nama samaran Peni, 1964, dimuat bersambung Jaya Baya 1964, dibukukan oleh PT. Bina Ilmu Surabaya, 1983).
- Pawestri Telu (dengan nama samaran Peni, Agustus – September 1964, dimuat bersambung Jaya Baya, 1964, dibukukan oleh PT. Bina Ilmu Surabaya, 1983).
- Sanja Sangu Trebela (dengan nama samaran Peni, 6 Oktober 1964, 64 hal. Ide cerita Friedrich Duerrenmatt, dari naskah drama Die Besuch der Alten Dame. Dimuat bersambung Panjebar Semangat, 1964. Dibukukan oleh CV. Ariyati Surabaya, 1967. Diterbitkan ulang oleh Yayasan Penerbitan Djojoboyo Surabaya, Juli 1996).
- Sala Lelimengan (24 Januari 1965, 65 hal., dimuat bersambung Panjebar Semangat 15 April – 15 Agustus 1965 (18X)).
- Guru Sangtanu (Maret - Juni 1966. 400 hal., belum terbit).
- November Abang (7, September – 16 Oktober 1965, 56 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya, 1965).
- Jaring Kalamangga (seri Detektip Handaka. Januari – Maret 1966, 83 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya, 1966).
- Patriot-patriot Kasmaran (29 April 1966, 25 hal. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1966).
- Lintang Panjer Sore (17 Juli 1966, 32 hal. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1966).
- Dinamit (19 September 1966, 36 hal. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1966).
- Pendekar Banjaragam (cerita silat, diterbitkan CV. Gema Solo, 1966-1967, 6 jilid).
- Gempar Djojocoroko (18 Juni 1967. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1967).
- Boyolali Ricuh (1967. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1978).
- Asmara Jahanam (Seri Mubagus, 1967. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1967).
- Clurit Bataputih (1967. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1967. Dimuat bersambung oleh Jawa Pos, 1982).
- Nyawa 28 (dengan nama samaran Eliang Jatmika. Dimuat bersambung Jaya Baya 1967).
- Gempur-gempuran di Lereng Lawu (seri Mubagus. 26 Oktober 1968. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1968).
- Asmara Terpendam (1968, belum diterbitkan).
- Bidadari Cemara Sewu (seri Mubagus 1968. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1968).
- Kucing Item Tergencet (seri Mubagus 1968. Diterbitkan oleh Gema Solo, 1968).
- Luwih Becik Neraka (Dimuat bersambung di Panjebar Semangat, 1970. Judul diganti oleh Redaksi: Tangise Prawan Sundha).
- Dlemok-dlemok Ireng (1971, 51 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya, 1972. Judul diganti oleh Redaksi Ngebut).
- Dom Sumuruping Banyu (1971, 51 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya, No. 14 tahun 26 5 Desember 1971 – 8 Maret 1972. (14X)).
- Jemini (dengan nama samarab Peni, 1971, 86 hal. Ide cerita Lin Scholte. Dimuat bersambung Jaya Baya, No. 28 Th. XXVI Maret 1972 (14X)).
- Jaring Kalamangga (diindonesiakan dari judul sama. Diterbitkan CV. Bina Ilmu Surabaya, 1972).
- Malam Pengantin (2 Agustus 1972, 50 hal. Cerita film untuk Basuki Film).
- Fantasi (1 Oktober 1972. Dimuat bersambung Panjebar Semangat, No. 44 th. 38-24 November 1972. (12X)).
- Asap Hitam (2. Oktober – 6 November 1972. Belum diterbitkan).
- Sang Ajudan (2 Januari – 10 Februari 1973. Belum diterbitkan).
- Bibit di Mantren (26 Februari – 26 Maret 1973. Belum diterbitkan).
- Kepelet (dengan nama samaran Peni), 18 Januari 1973. 56 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya, no. 47/XXVII, 29 1973, judul diganti Nglacak Ilange Sedulur Ipe (8X)).
- Surabaya Tumpah Darahku (1973. Dimuat bersambung Kompas, 10 November 1973 (37X). Dibukukan oleh CV. Bina Ilmu Surabaya, 1978).
- Garuda Putih (seri Detektip Handaka, 5 Januari 1974. Dimuat bersambung Panjebar Semangat, 31 Januari 1974. (11X)).
- Sisa-sisa Kemarin (1974. Pemenang Harapan I, sayembara menulis novel DKJ 1974).
- Ngingu Kutuk Ing Suwakan (1974, 52 hal. Dimuat bersambung di Panjebar Semangat, 15 Maret 1975. (11X)).
- Hari Jadi Kota Surabaya (682 TAHUN SURA ING BAYA. Karya bersama Kolonel Laut Dokter Sugiyono Tirtiatmojo, diterbitkan Pemda II Kotamadya Surabaya, 1875).
- Gila di Abun-abun (April-Juli 1975, 206 hal. Belum diterbitkan).
- Harimau Mati Meninggalkan Belang (Desember 1975. Diterbitkan oleh CV. Bina Ilmu Surabaya, 1978).
- Oh, Surabaya (1975. Diterbitkan CV. Bina Ilmu Surabaya. (Inpres SD 1975)).
- Damarwulan (29 Maret 1976. Diterbitkan PT. Gramedia Jakarta, 1976. (Inpres SD)).
- Mata-mata (Juni-Agustus 1976. 143 hal. Diterbitkan oleh PT. Dunia Pustaka Jaya, 1967. Diindonesiakan dari Dom Sumuruping Banyu).
- Sayembara di Mamenang (11 November 1967. Diterbitkan oleh PT. Dunia Pustaka Jaya, 1967).
- Ali Baba (15 Januari 1977. Diterbitkan oleh PT. Gramedia Jakarta, 1977).
- Rembulan Kasmaran (28 Januari 1977, 100 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya, 1977).
- Hisaplah Maduku, Lalu Campakkan (18 Agustus 1977, 50 hal. Diindonesiakan dari Dlemok-dlemok Ireng. Diterbitkan sebagai booklet VISTA 1979).
- Terjerat Buih Pantai Selatan (22 Maret 1977, 50 hal. Di Indonesiakan dari Kepelet, diterbitkan oleh CV. Surya Raya Surabaya, 1978).
- Hancurkanlah Pasukan Tartar Itu (1978. Diterbitkan CV. Surya Raya, 1978).
- Rembulan Kasmaran (22 Agustus 1978, 140 hal. Di Indonesiakan dari Rembulan Kasmaran, dibukukan oleh PT. Cita Bandung 1980.)
- Generasi Yang Hilang (1979. Pemenang II sayembara menulis novel Kartini, 1979. Dibukukan oleh Kartini Group, 1980).
- Panji Gandrung Anggreni (1979. 100 hal. Diterbitkan oleh PT. Bina Ilmu Surabaya 1981).
- Kota Angin Tercinta (Januari – September 1979. 197 hal. Dimuat bersambung oleh Jawa Pos, Februari – April 1987).
- Donyane Wong Culika (16 Oktober – 26 Desember 1979. pemenang Harapan I novel PKJT 1979. Belum pernah disiarkan).
- Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa (Oktober 1980. Pemenang harapan I naskah bacaan mahasiswa Dept. P.&.K. 1980. Dibukukan Dept. P.&.K. Jakarta, 1982).
- Kunanti di Selat Bali (29 Oktober – 21 November 1980. Pemenang I novel Majalah Putri Indonesia, 1981. dibukukan Kartini Group, 1981. Disadur oleh Prof. Madya Ju San Yuan dan diterbitkan dalam bahasa Cina di RRC, 1989).
- Pacarku di Bis Kota (18-23 April 1981, 33 hal. Dibukukan PT. Bina Ilmu, 1995).
- Kekenesan Partiyem. (Terdiri dari dua bagian. Bagian Pertama dimuat Kartini bersambung dengan judul : Tanahku, Darahku (1981). Bagian kedua dimuat Sarinah bersambung dengan judul : Dalam Irama Musim, Desember 1985, 224 hal).
- Memperebutkan Pusaka Jenggal (13 Oktober 1982, 67 hal. Dibukukan oleh PT. Bina Ilmu, 1982).
- Surabaya No Monogatari (Surabaya Zaman Jepang, Mei 1983. Dimuat bersambung Jawa Pos, 30 Mei – 21 Juni 1983. (20X)).
- Sugriwo Subali (1983, 100 hal. Dibukukan Tiga A Solo, 1983).
- Nona Sekretaris (dengan nama samaran Peni, ide cerita Jacqueline Susann: Valley of the Dolls, 1966, 15 Desember 1983 – 24 Mei 1984, 150 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya no. 19/XXXVIII 9 Januari 1984 – 5 Agustus 1984. (28X)).
- November Merah (DiIndonesiakan dari November Abang. Dibukukan oleh PT. Bina Ilmu, 1984).
- Pahlawan November (Pemenang I Lomba naskah buku anak-anak Penerbit IK Bandung. Dibukukan oleh PT. Bina Ilmu 1985).
- Membakar Surabaya (skenario sinetron, 1986. 108 hal).
- Geger Jayacaraka (dari judul Gempar Djojocoroko, 1967. Dimuat bersambung Surabaya Post, 1986).
- Pertempuran 10 November 1945 (Buku sejarah karya bersama diterbitkan oleh Panitia Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan 10 November 1945 di Surabaya, diketuai oleh Blegoh Soemarto (Ketua DPRD I Jawa Timur), 1985).
- Dimana Kamu, Yusman? (10 September 1988, 109 hal. DiIndonesiakan dari Kepelet. Belum terbit).
- Dokoh Jantung Hati (dari judul Boyolali Ricuh (1967). Dimuat bersambung Surabaya Post, November 1988. Januari 1980).
- Sejarah Pers Jawa Timur (1988. Karya bersama, Panitia SPS Jawa Timur).
- Sejarah Panglima-panglima Brawijaya (sampai Majen Sugeng Subroto, karya bersama Panitia LIPI Jakarta dan Seksi Sejarah Kodam V Brawijaya. 1988).
- Buron Papat, 1989 (skenario ludruk untuk TVRI Stasion Surabaya).
- Membakar Surabaya (Oktober 1989 – Desember 1989, 204 hal. Dimuat bersambung Surya, November – Desember 1989).
- Tokoh Hitam Putih (Oktober 1989, 42 hal. Skenario TV, seri Polwan Citra).
- Iklan (November 1989, 30 hal. Skenario TV, seri Polwan Citra).
- Pacar Si Udin (8 Desember 1989, 39 hal. Skenario TV, seri Polwan Citra).
- Saputangan Gambar Naga (Febaruari-April 1989. Dimuat bersambung Surabaya Post, 17 April – 6 September 1990).
- Spookhuis (28 Agustus 1990, 59 hal. Dimuat bersambung Panjebar Semangat, no. 6, 2 Februari 1991 – no. 16, 16 April 1991. (11X)).
- Mencari Sarang Angin (27 Januari 1991 – 26 April 1991, 286 hal. Dimuat bersambung Jawa Pos, 23 Oktober 1991 – 27 Desember 1991).
- Kunarpa Tan Bisa Kandha (seri Detektip Handaka, 20 Juni 1991, 81 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya no. 12/17 November 1991 – no. 28/8 Maret 1992. (17X)).
- Detektif (16 Agustus 1991. 30 hal. Skenario TV, seri Melati Mekar Setangkai).
- Gadis Tangsi (2 September – 1 Oktober 1991. 150 hal. Dimuat bersambung Jawa Pos, 16 Januari – 8 April 1994 (71X)).
- Terjebak di Monitor (4 – 27 November 1991. Pemenang Harapan II Sayembara menulis novel Kartini 1991. 108 hal. Dimuat bersambung Kartini, Oktober 1992).
- Astirin Mbalela (dengan nama samaran Peni, 6 Januari – 22 Maret 1992. 100 hal. Dimuat bersambung Djaka Lodang Yogyakarta, 27 Maret – 10 Juli 1993. (16X)).
- Aurora, Sang Pengantin (13 Juni – 24 Juli 1992. 133 hal. Dimuat bersambung Surabata Post, 27 Agustus – 22 November 1992. (86X).
- Donyane Wong Culika (perbaikan cerita 1979, 7-28 September 1992, 154 hal. Belum diterbitkan).
- Dahuru Ing Loji Kepencil (29 Juli 1993. 40 hal. Dimuat bersambung Jawa Anyar 21 Juni – 1 September 1993).
- Trem (antologi crita cekak 1960 – 1993, 350 hal. Diterbitkan jadi buku oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta November 2000).
- Surabaya, di Sanalah Aku Berdiri (September – 11 November 1994. 303 hal.)
- Kremil (11 November 1994 – Maret 1995. 273 hal. Dimuat bersambung Kompas, 7 Agustus 1995 – 9 Januari 1996. (151X). Diterbitkan buku oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta Juli 2002).
- Solo Gelap Gulita (diIndonesiakan dan Solo Lelimengan, 1965, 13 Juni – 13 Juli 1995. Dimuat bersambung Republika, 2 Oktober – 3 Desember 1995 (77X). Judul diganti Buku Harian Seorang Perwira).
- Clemang-Clemong (8-31 Agustus 1995, 95 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya 4 Agustus – 22 Desember 1996, (21X)).
- Saksi Mata (7 Oktober – 3 Desember 1995. 253 hal. Dimuat bersambung Kompas Januari 2002).
- Dinamit (8 Desember 1995 – 12 Januari 1996, 150 hal. Dimuat bersambung Surabaya Post, 8 September 1996 – 27 November 1996. (81X)).
- Teti Si Tegar Hati (perbaikan dari Gadis Tangsi, 14 Februari 1996 – 1 Oktober 1996 475 hal. Belum diterbitkan).
- Pariwara Mini (25 Oktober – 15 November 1998. 44 hal. Dimuat bersambung Djaka Lodang, 13 Maret 1999 – 1 Mei 1999 (10X)).
- Pacare Udin (25 November – 20 Desember 1998. 62 hal. Dimuat bersambung Panjebar Semangat, 2 Januari 1999 – 10 April 1999. (15X)).
- Bekasi Remeng-remeng (20 Maret – 12 April 2000. 65 hal. Dimuat bersambung Panjebar Semangat, 8 Juli 2000 – 30 September 2000. (13X)).
- Lelakone Si Lan Man (kumpulan crita cekak 1960-2002, 218 hal.).
- Donyane Wong Culika (perbaikan, diperbaiki 15 Maret 2001) 514 hal.).
- Interogasi (kumpulan cerita pendek, 188 hal. Diterbitkan oleh Dewan kesenian Jawa Timur, Surabaya, Agustus 2001).
- Keluwarga Pejuang (21 November 01 – 21 Januari 02, 119 hal. Dimuat bersambung Panjebar Semangat NO. 9, 2 Maret 2002 – No. 27 6 Juli 2002).
- Srawungku Karo Sastra Jawa (Esai, 27 Februari – 24 Mei 2002, 200 hal.).
Karyanya
yang berupa cerita pendek (berbahasa Indonesia): (1) "Miss Rika
Di Angkasa" (Garuda,
no. 40, 25 Oktober 1953), (2) "Layar Terkembang" (Kisah,
no. 5 th. I, November 1953), (3) "Di Tepi Bengawan Solo"
(Mimbar Indonesia,
Jakarta, no. 5 th. VIII, 30 Januari 1954), (4) "Kembali Ke
Pangkalan" (Siasat,
no. 357, th. VIII, 11 April 1954), (.5) "Gadis Dari Penjara"
(Roman,
no. 1 th. I, Oktober 1954), (5) "Gadis Dan Janda" (Roman,
no. 1 th. II, Januari 1955), (6) "Rumah Hantu" (Roman,
no. 1 th. I Januari 1955), (7) "Mencari Rangka" (Indonesia,
no. 2 th VI, Februari 1955), (8) "Lahirnya Tuhan" (Roman,
no. 5 th. II Mei 1955), (9) "Arang" (Siasat,
no. 419, th. X, 19 Juni 1955), (10) "Per" (Kisah, no. 5 th.
IV, Mei 1956), (11) "Pes" (Kisah,
no. 10 th. IV, Oktober 1956), (12) "Hilangnya Dunia Asli"
(Sadar,
no. 39 th. VIII, 30 Desember 1956), (13) "Mengatur Perabot
Rumah" (Mimbar Indonesia,
no. 13 th XI, 13 Maret 1957), (14) "Gembala Kambing"
(Siasat,
no. 520, th. XI, 29 Mei 1957), (15) "Pohon Tomat" (Siasat,
no. 548 dan 549 th. XI, 11 dan 18 Desember 1957), (16) "Cyrano
Kami" (Aneka,
no. 8 th. IX, 10 Mei 1958), (17) "Menanti Lahirnya Napoleon"
(Sarinah,
no. 2 th. I, Juli 1958), (18) "Dansawan Baru" (Aneka,
no. 28 th. IX, 1 Desember 1958), (19)
"Amarah Seorang Jurutulis" (Roman,
no. 3 th. VI Maret 1959), (20) "Dendam Kesepian" (Hidangan,
no. 10 th, IV, 10 Maret 1959), (21) "Dendam Seorang Bandol"
(Aneka,
no. 8 th. X, 10 Mei 1959), (21) "Penjual Kue Dan Tumbuhan
Durian" (Roman,
no. 8 th. VI Agustus 1959), (22) "Kupu-kupu Di Tengah Padang"
(Aneka,
no. 17 th. X, 15 Agustus 1959), (23) "Malam Tidak Jahanam"
(Aneka,
no. 32 th. X, 10 Januari 1960), (24) "Dua Asmarawan"
(Hidangan,
no. 13 th, V, 5 Maret 1960;Harian Surabaya
Post (Surabaya), no. 117 th. IV, 29 Mei
1961; Harian Umum (Surabaya) no. 199 th. XII, 1 Juni 1961; Gelora
(Surabaya), no. 13/14 th 11, Juli 1961), (25) "Tak Ada Nasi
Lain" (Aneka, no. 3 th. XI, 21 Maret 1960), (26) "Hadaninggar"
(Indah,
no. 37 th. IV, Agustus 1960), (27) "Gara-gara" (Indah,
no. 40 th. IV, November 1960), (28) "Daun Keladi" (Indah,
no. 37 th. IV, Agustus 1960), (29) "Kena Getah" (Gelora
Surabaya Post, no. 168 th. IX, 18
September 1961), (30) "Kurang Bulan" (Tanah
Air, no. 12 th. XV, 1961), (31)
"Pencuri Dompet" (Tanah Air,
no. 3 th. XVI, 1962), (32) "Laboratorium Kasih" (Tanah
Air, no. 7 th. XVI, 1962), (33)
"Langkah-lankah Berpeluh" (Tanah
Air, no. 1 th. XVIII, 1964), (34)
"Buronan Si Mata Merah" (Tanah
Air, no. 5 th. XVIII, 1964), (35)
"Surabaya Tumpah Darahku" (Gapura,
no. 1 th. 1 April 1968), (36) "Dibayangi Tali Gantungan"
(Harian Indonesia Raya,
5 April 1970), (37) "Jatuhnya Seorang Nyonya Besar" (Harian
Kompas, 25 Mei 1970), (38) "Mreteli
Roda Mobilnya" (Harian Indonesia
Raya, 19 Juli 1970), (39) "Semalam
Dengan Titisari" (Harian Indonesia
Raya,16 Agustus 1970), (40) "Penyamun
Anak Perawan" (Harian Kompas,
13 Oktober 1970), (41) "Interogasi" (Harian Kompas,
30 Januari 1971), (42) "Bertamu" (Harian Kompas,
5 Juni 1971), (43) "Berteduh" (Harian Kompas,
11 Desember 1971), (43) "Orang Baru" (Harian Sinar
Harapan, Sabtu 15 Januari 1972), (44)
"Asia No Yoi Kodomo" (Harian Kompas,
9 Mei 1972), (45) "Cover Story" (Majalah Senyum,
7 Januari 1973), (46) "Karya Sastera" (Harian Kompas,
1 Juli 1979), (47) "Manjepret Hantu" (Putri
Indonesia, no. 74, 25 Agustus – 7
September 1981), (47) "Pasien Terakhir, no. 199, 21 Juni – 4
Juli 1982), (48) "Pengantin Baru" (Kartini,
no. 216, 21 14 – 27 Februari 1983), (49) "Saksi Dari Menara"
(Harian Kompas,
5 Juni 1983), (50) "Laki-laki Pergi Sendiri" (Sarinah,
13 Juni 1983), (51) "Dendam Kesumat" (Surabaya
Post, 7 Agustus 1988), (52) "Limau
Walikota" (Surabaya Post,
24 September 1989), (53) "Pangilon Sang Walikota" (Surabaya
Post, 5 Agustus 1990), (54) "Empat"
(Suara Pembaruan,
9 Juni 1991), "Kereta Jenasah" (Kompas,
8 November 1992), dan (55) "Paman Doblang Vs Mbah Jambrot"
(Surabaya Post,
14 Agustus 1994).
2. SURIPAN SADI HUTOMO
Suripan Sadi Hutomo,
lahir di Blora pada tanggal 5 Februari 1940 (meninggal dunia pada
tanggal 19 Juni 2001). Beliau sering disebut sebagai HB Jassin-nya
sastra Jawa karena aktivitas kritik sastra Jawanya di berbagai
majalah berbahasa Jawa, seperti Jayabaya,
Panjebar Semangat,
Djaka Lodang,
Mekarsari,
Kumandhang,
dan Dharma Nyata
serta ketekunannya dalam mendokumentasikan karya sastra Jawa tidak
jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh HB Jassin terhadap sastra
Indonesia.
Suripan menyelesaikan pendidikan SMA di Blora. Tahun 1968, ia lulus
dari Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Airlangga di
Madang. Pada tanggal 3 Agustus 1987 mendapat gelar doctor dalam
bidang filologi lisan dari Universitas Indonesia dengan judul
disertasi “Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban”. Selanjutnya, ia
menempuh posdoktoral di Universiteit Leiden, Belanda.
Keterlibatan Suripan dalam dunia kesusasteraan, baik sastra Indonesia
maupun sastra Jawa, tidak hanya melalui tulisan, tetapi juga secara
langsung dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengannya. Suripan
aktif membina Organisasi Pengarang Sastra Jawa Pusat (OPSJ), anggota
pembina Sarasehan Sastra Jawa di Ungaran, melakukan siaran apresiasi
sastra di RRI dan TVRI Surabaya, memprakarsai dan mendanai
berdirinya Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS),
memprakarsai dan merintis dibukannya Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa
di IKIP Surabaya, melakukan ceramah-ceramah sastra di berbagai forum,
bersama dengan Basoeki Rahmat menjadi anggota pleno Dewan Kesenian
Surabaya, dan sebagainya.
Meskipun keberadaannya sebagai akademisi dan
kritikus sastra lebih menonjol dibandingkan dengan posisinya sebagai
pengarang, Suripan juga menunjukan prestasi yang baik dalam dunia
tulis menulis. Dua karyanya pernah mendapatkan penghargaan, yaitu (1)
“Cumedhak”
berupa puisi, juara I dalam lomba penulisan puisi oleh Pusat Kesenian
Jawa Tengah (PKJT) pada tahun 1971 dan (2) “Apa
Wis”, berupa gurit,
terpilih sebagai pemenang lomba menulis gurit
yang diselenggarakan Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT). Sebagai
kritikus sastra, tulisannya yang berupa kritik juga pernah
mendapatkan penghargaan yaitu (1) “Kringet
Saka Tangan Prakosa: Kumpulan Crita Cekak St. Iesmaniasita”
mendapat penghargaan dari Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) pada
tahun 1974 dan (2) “Ngrembug Layang
Jatiswara” yang terbit di majalah
Jaya Baya
pada tahun 1984 mendapat hadiah dari Proyek Javanologi Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Karya-karya yang berupa buku teori dan kumpulan
esai adalah (1) Telaah Kesusasteraan
Jawa Modern ( Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1974), (2) Mutiara
yang Terlupakan : Metode Penelitian Sastra Lisan
(Fakultas Bahasa dan Seni IKIP Surabaya), (3) Sosiologi
Sastra Jawa, (4) “Intoyo,
Bapak Soneta Jawa Anyar” (Jaya Baya,
24 November 1974), (5) “Sepisan Maneh
Bab Intoyo, Bapak Soneta Jawa Anyar” (Jaya Baya,
26 Januari 1975), (6) “Pengarang Wanita dalam Sastra Jawa” , (7)
“Pengarang Iesmaniasita: Napas lan
Lageyane ing Karya-Karyane” (Panjebar Semangat,
20 Agustus—3 September 1983), (8) “Organisasi Pengarang Sastra
Jawa (OPSJ)”, dan (9) “Grup Diskusi Sastra Blora”.
Hasil karya sastranya antara lain (1) Angin
Sumilir (Balai Pustaka, 1988, antologi
guritan)
- Kidung Balada (Pusat Kesenian Jawa Tengah, 1980, antologi guritan), (2) Hartati (1988, kumpulan guritan), (3) Guritan : Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980 (Sinar Wijaya Surabaya, 1985), (4) "Kabar Saka Bendulmrisi:" "Ing Kreteg Kaliwangan Ana Rembulan Jingga: Kagem Hari Astuti Sisihanku" dalam Kabar Saka Bendulmrisi: Kumpulan Guritan (PPSJS, 2001), (5) "Kelipe Lampu Kapal" dalam Drona Gugat (Bukan Panitia Parade Seni WR Supratman, 1995), (6) “Prawan Cilik” (Jaya Baya no. 10 tahun 1967, guritan), (7) “Pelabuhan Semarang’ (Jaya Baya no. 30, 1969), (8) “Iki Sonet” (Jaya Baya no. 6, 1972), dan (9) “Cepu Katresnan” (Jaya Baya no. 7, 1974)
3. DJAJUS PETE DAN CERKAKNYA
Djajus Pete,
lahir di desa Dempel, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur,
pada tanggal 1 Agustus 1948. Djajus saat ini tinggal di Jalan
Tambangan II/203, Purwosari, Kabupaten Bojonegoro. Dalam
karya-karyanya Djajus sering menggunakan nama samaran Djajus Pete.
Tidak ada alasan khusus dari Djajus, mengapa ia menggunakan nama itu.
Laki-laki beragama Islam ini pada tahun 1961, menamatkan sekolah
dasar (SD) di Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro, kemudian
melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) tahun 1967 di
Bojonegoro, pada tahun 1968 melanjutkan ke sekolah pendidikan guru
(SPG) di Kabupaten Bojonegoro. Pendidikan terakhirnya ditempuh di
KPG Bojonegoro pada tahun 1976.
Pengalaman kerja Djajus diawali sebagai guru
sekolah dasar (SD) sejak tahun 1971 di Bojonegoro dan pada tahun
1985—1993 sebagai wartawan Jaya Baya dan Surabaya Post. Kegiatan
kepengarangan Djajus dimulai tahun 1967. Ia mengakui dunia tulis
menulis baginya adalah semacam bakat yang didukung kerja keras untuk
terus belajar menulis yang lebih baik dari yang telah dihasilkan
sebelumnya. Pada awalnya Djajus merasa harus banyak membaca
karya-karya sastra untuk memenuhi keinginannya yang sangat besar
dalam hal menulis. Ia juga menyarankan hal yang sama kepada
penulis-penulis pemula. Hingga kemudian, ide atau gagasan itu secara
otomatis mengalir dan mengendap dalam pikiran sebagai bahan yang
akan dituangkan dalam bentuk karya sastra. Ide atau gagasan tidak
harus dicari-cari karena sebenarnya ide itu telah tersedia di
sekitarnya. Materi karya-karya Djajus terutama cerita
cekak miring sebagian besar adalah
berupa pengutaraan gagasan (menumpahkan uneg-uneg)
yang dibumbuhi dengan latar penceritaan yang inkonvensional .
Karya pertama yang dihasilkan oleh Djajus berupa
geguritan
berjudul “Pepesthen” yang dimuat dalam majalah Panjebar
Semangat tahun 1967. dalam berkarya
Djaus sulit memeberikan gambaran bagaimana proses kreatifnya. Hal
tersebut menurutnya, karena sebuah proses kreatif itu bersifat
person, cakupannya seperti tudak terhingga, mulai dari bagaimana
mengungkap ide (meskipun ide datang dengan sendirinya), hingga berupa
sebuah tulisan setelah mengalami proses pengendapan yang sangat lama.
Sering ia tidak langsung menulis apa yang menjadi
idenya, tetapi harus memprosesnya terlebih dahulu dengan perenungan
yang sangat dalam, barulah dapat diwujudkan dalam bentuk tulisan atau
karya sastra. Djajus mengakui bahwa ia bukanlah glongan pengarang
spontanitas yang memunyai keterampilan langsung berhadapan dengan
mesin ketik ketika sebuah ide muncul. Ia membutuhkan beberapa tahapan
yang bisa dikatakan rumit. Sebuah cerita
cekak membutuhkan proses
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, dan tidak jarang menambah dan
mengurangi dengan gagasan baru untuk menjadi lebih sempurna.
Ia mengakui bahwa pada awalnya ia selalu dibantu oleh pengarang
senior seperti JFX Hoery. Hoery lah yang pertama kali memberikan
dorongan dan semangat menjadi penulis sastra Jawa. Suripan Sadi
Hutomo dalam suratnya selalu memberikan saran, semangat, dan
keyakinan bahwa Djajus akan menjadi pengarang yang besar. Dorongan
semangat dari tokoh-tokoh besar tersebut disikapi Djajus dengan
rendah hati. Ia bahkan terus-menerus mengasah kemampuan, karena ia
berkeyakinan bahwa menjadi penulis sastra Jwa ternyata tidak cukup
hanya bermodal semangat, tetapi harus masuk dalam taraf penyerahan
diri secara mutlak. Artinya, setiap tingakah laku dan perbuatan,
sesuatu yang ia dengar, ia lihat, dan ia rasakan hanyalah untuk
kepentingan sastra Jawa. Dorongan menulis seperti itu telah menyatu
dalam denyut nadinya. Profesi menulis dijalani dengan sepenuh jiwa,
sepanjang masih bernafas, dengan berpegangan bahwa sastra adalah
renungan pengarang tentang kehidupan untuk menyebarkan nilai religi,
moral maupun filsafat. Bahkan ia berfikir bahwa dirinya bukan guru,
melainkan pengarang. Tentang profesi guru yang diembannya tersebut,
Djajus mengatakan bahwa itulah jalan pengabdiannya kepada masyarakat
secara langsung, sedangkan menulis atau mengarang disebytnya sebagai
duania yang ia ciptakan sendiri. Di dunia tulis-menulis itulah Djajus
serasa hidup bebas. Kebebasan berekspresi, berpikir dan berkarya
itulah yang menjadi karya-karya Djajus menjadi unik.
Tentang peranan penerbit dewasa ini berkaitan
dengan profesinya sebagai penulis, menurut Djajus sangat menunjang
dalam menerbitkan hasil karyanya, walaupun media-media tersebut
keberadaannya masih terbatas, khususnya media yang berbahasa Jawa.
Tentang penghasilan, Djajus berpendapat bahwa honor yang diterimanya
untuk sebuah karya sastra dapat dianggap belum layak. Akan tetapi,
masalah utama perkembangan sastra Jawa tidak hanya itu. Ada faktor
yang lebih penting yakni kemauan dan kemampuan untuk secara total
nguri-uri
bahasa dan sastra Jawa.
Walupun demikian, ia sangat optimis bahwa sastra Jawa masih akan
terus hidup, apalagi dibantu oleh media-media berbahasa Jawa karena
majalah-majalah tersebut merupakan benteng terakhir media ekspresi
estetik sastra Jawa.
Djajus menulis dalam berbagai genre sastra, yaitu
cerita pendek (cerita cekak),
cerita bersambung (cerbung), dan geguritan.
Akan tetapi, beberapa tahun terakhir ini ia memfokuskan diri hanya
menulis cerita pendek.
Karya monumental Djajus Pete berjudul “Kretek
Emas Jurang Gupit”, yang berupa buku antologi cerita
cekak. Antologi ini berisi sepuluh
cerita pendek yang ditulis antara tahun 1986—1998 dan pernah dimuat
dalam majalah berbahasa Jawa Panjebar
Semangat dan Jaya
Baya. Zed Amidien seorang wartawan
majalah Tempo, membantu menerbitkan buku tersebut dengan dibantu
sejumlah pengarang sastra yang ada di Surabaya. Antologi cerita
cekak “Kreteg Emas Jurang Gupit”
merupakan buku Djajus yang memperoleh penghargaan Rancage.
Kesepuluh cerita pendek tersebut adalah “Bedhug”
(Panjebar Semangat,
No. 19, 10 Mei 1997), “Dasamuka” (Jaya
Baya, No. 19/XLVI, 5 Januari 1992),
“Kadurjanan”(Jaya Baya, No.
41/XLIV, 10 Juni 1990), “Kakus” (Panjebar
Semangat, No. 44, 31 Oktober 1992),
“Kreteg Emas Jurang Jupit” (Jaya
Baya, No. 47/XL, 20 Juli 1986), “Pasar
Rakyat” (Panjebar Semangat, No.
25, 22 Juni 1996) dengan judul “Topeng”, “Petruk” (Jaya
Baya, No. 4/XLV, 23 September 1990),
“Rajapati” (Panjebar Semangat, No.
49, 5 Desember 1998), “Setan-setan” (Panjebar
Semangat, No. 31, 31 Juli 1993), dan
“Tikus lan Kucinge Penyair” (Jaya
Baya, No. 8/XLV, 21 Oktober 1990).
Setelah membaca sepuluh cerita pendek yang termuat dalam antologi
itu, pembaca dihadapkan paad cerita dengan permasalahan-permasalahan
absurd. Akan tetapi, dengan keabsurdan itu justru pemca seolah
disadarkan bahwa hal-hal tersirat dalam cerita itu sebenarnya amat
dekat, bahkan mungkin melekat dan menyatu dengan sifat, sikap, dan
perilaku manusia.
Dalam “Bedhug”, Djajus seolah menyadarkan bahwa disekitar kita,
masih banyak orang tega melakukan kekejaman, kejahatan, dan korupsi
di saat orang lain sedang mengalami kesusahan. Llebih tragis lagi,
yang berbuat seperti itu adalah orang-orang yang begitu kita percaya,
kita anut, dan kita beri amanat menjadi pemimpin.
Sedangkan pada cerita “Dasamuka”, pengarang mengingatkan bahwa di
dalam kehidupan ini keburukan dan kejahatan tidak dapat dihilangkan
begitu saja. Orang-orang jahat merupakan bagian dari orang baik dalm
kehidupan manusia. Aturan-aturan atau norma yang dibuat oleh
masyarakat tidak selamanya membuat menusia menjadi lebih baik.
Absurdisme Djajus menjkadi-jadi dalam cerita pendeknya “Kadurjanan”.
Hal ini diperkuat dengan pengakuannya yang ia tulis juga dalam
ceritanya itu
“Aneh, batinku kaget mlegong. Selawase ngarang
cerita wiwit tahun 1971, lagi iki ana paraganing critaku bisa nyebal
metu saka kekeraning imajinasiku. Bisa nguwuh nyaruwe marang lakuning
crita kang lagi dak garap” (Kreteg Emas Jurang Gupit h.20)
Dalam cerita ini, tokoh cerita Khosin dapat berdialog dengan Djajus
Pete sebagai pengarang. Khosin yang dalam cerita itu berperan sebagai
pembunuh, memberontak daningin keluar dari alur cerita yang ingin
dibuat oleh Djajus. Pada akhir cerita, tokoh Khosin bahkan akan
membeli cerita Djajus seharga lima kali honor yang bisa diterima
Djajus sebagai pengarang.
“Kakus” mengajarka kepada orang agar tidak
serakah terhadap ap yang telah didapatkannya. Materi yang berlimpah
belum jadi jaminan seseorang akan bahagia di dalam kehidupannya.
Dalam cerita ini juga digambarkan bahwa orang yang berkecukupan dalam
hal harta, dapat dengan mudah mewujudkan keinginannya, meski itu
dilakukan dengan cara mengorbankan orang lain.
“Kretek Emas Jurang Gupit”, bercerita tentang
keinginan masyarakat yang hendak membangun sebuah jembatan yang
menghubungkan dua desa yang selama ini dipisahkan oleh sebuah jurang.
Istimewanya, jembatan yang akan dibangun tersebut berbahan baku emas.
Membandingkan cerita cekak yang disajikan dalam kumpulan cerita cekak
“Kretek Emas Jurang Gupit”, pembaca diajak melihat kenyataan
yang sebenarnya tidak mungkin terjadi di alam kenyataan. Hal itu bisa
terjadi pada alam bawah sadar. Segala sesuatu yang berhubungan dengan
dunia, percaya dengan janji-janji yang sebenarnya tidak mungkin
dilakukan oleh manusia. Pada kenyataannya hal-hal yang tidak mungkin
itu menjadi jurang pemisah kehidupan social, keadilan, terasa jauh,
dan lagi mengharap segalasesuatu yang jauh dari kenyataan hidup.
Orang yang selamat ialah orang yang ingat dengan dirinya sendiri da
menyadari segala sesuatu yang terjadi dan kita alami, merupakan
takdir dari yang Maha Kuasa.
“Pasar Rakyat” menyoroti kesewnang-wenangan
sebuah system kekuasaan yang melibatkan orang-orang yang secara
individu sebenarnya masih mempunyai nurani. Kritik social yang kental
juga diungkap oleh Djajus. Cerita ini berkisar pada pergulatan atau
konflik tokoh Kamto, seorang anggota Dispol Pamongpraja yang
ditugaskan untuk menggususr sebuah pasar liar yang dianggap merusdak
keindahan kota besar. Konflik batin timbul saat diceritakan bahw
apara pedagang yang brjualan di pasar itu tidak lain adalah tetangga
para anggota Pamongpraja. Untuk menghindari agar petugas tidak
dikenali, mereka memutuskan untuk memakai topeng. Topeng ini juga
merupakan sebuah simbol ketidaktetapan pendirian seseorang,
tergantung pada lingkungan yang menguasainya. Meskipun bertentangan
dengan kata hatinya, sebuah tugas yang bersifat dilematis harus
dilakukan , meskipun kadangkala tidak dapat diketahui untuk apa dan
untuk siapa ia berbuat demikian.
Keterpurukan wong
cilik menghadapai keras dan kejamnya
kehidupan, kembali digambarkan oleh Djajus dengan mengambil Petruk
simbol. Petruk,
dalam dunia pewayangan merupakan penggambaran tokoh dari rakyat kecil
atau kawula alit.
Diceritakan oleh Djajus seorang perajin wayang kulit yang mendapat
pesanan membuat wayang petruk. Ketika kulit yang sudah digambar
tersbut dijemur, mendadak menjadi rebutan segerombolan anjing. Kulit
itu diperebutkan oleh berpuluh-puluh anjing sehingga koyak di
beberapa tempat. Kulit itu yang semula halus, terpaksa harus
direkayasa agar tetap dapat berwujud Petruk. Yang terjadi emudian
adalah Petruk bentuk yang tidak seperti biasanya. Petruk yang dibuat
kali ini lebih kurus, lebih bongkok, dan lebih hitam. Pesan simbolis
yang dapat ditangkap dati cerita tersebut adalah kesengsaraan
masyarakat kecil yang disebabkan oleh keangkamurkaan penguasa.
“Watege asu iku nistha. Wareg lan kaliren ora
ana bedane. Arepa wis wareg diweleg sega daging, imbuh roti lan
ngombe susu pisan, ya isih saba pawuhan doyan panganan rusuh. Kaya
ngono iku apa irunge mung ambon-ambonen daging wae. Mangka Petruk iku
wis ora ana daginge. Kari lulang garing kok dimangsa” (Kreteg Emas
Jurang Gupit h. 59)
Begitulah Djajus menggambarkan kesengsaraan kaum yang masih banyak
terdapat di negeri ini. sementara masih banyak rakyat yang sengsara
hidupnya, orang-orang yang dekat dengan kekuasaan seolah tidak mau
tahu dan tetap mengincar kekuasaan.
Dalam “Rajapati” sekali lagi Djajus berkisah tentang
ketertindasan rakyat kecil oleh kekuasaan. Kesabaran seseorang yang
tertindas, dalam cerita ini digambarkan sudah habis. Rakyat atau
masyarakat tertindas ternyata dapat berbuat nekat dan tidak terduga
yang bisa mengacaukan keseimbangan pemerintahan atau kekuasaan yang
sedang berjalan. Oleh karena jengkel terus menerus dituduh sebagai
pembunuh, seseorang yang berprofesi sebagai pengasah pisau akhirnya
membunuh polisi yang menuduhnya itu. Bagi orang tersebut , melakukan
kejahatan atau tidak, akibat yang akan ia terima akan sama, yakni
tetap dihukum. Daripada ia dihukum untuk kesalahan yang tidak ia
perbuat, lebih baik ia melakukan tuduhan yang diarahkan kepadanya,
yakni membunuh.
Dalam cerita cekak “Tikus lan Kucinge Penyair”,
Djajus Pete sengaja memilih obyek yang sudah akrab dengan kehidupan
sehari-hari. dari seekor tikus, pengarang sengaja membuat ungkapan
baru, seperti contoh Isti (Istri Tikus),
atau Kuslan (Tikus Lanang),
membuat karya-karya Djajus semakin menarik. Jika diperhatikan dari
cerita cekak satu dengan cerita cekak yang lainnya, menunjukkan
sedikit kalimat, tetapi mempunyai makna yang sangat dalam, pendek dan
mewakili apa yang diharapkan oleh pengarang. Pengarang yang satu ini
dapat dikatakan memang tipe penulis cerita cekak (cerita pendek).
Dalam dunia penciptaan, sama-sama pengharang Jawa, namun ia sendiri
mengalami pergulatan pemilihan kata dan kalimat yang intens.
Dalam “Setan-setan”, Djajus menceritakan
khayalan dan mengungkapkan kritiknya terhaadap dunia penerbitan di
Indonesia. Ia menceritakan bahwa di dunia alam
lelembut juga terdapat penerbitan.
Bedanya, penerbitan di alam lelembut
sudah sedemikian majunya. Buku-buku yang diterbitkan tidak dijual,
melainkan dibagikan gratis sejumlah empat juta eksemplar. Dalam
cerita ini Djajus juga mengkritik cerita-cerita horror di berbagai
majalah berbahasa Jawa yang selalu memberikan ilustrasi tokoh setan
dengan sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan. Setan-setan melakukan
protes terhadap manusia yang melakukan pekerjaan itu.
a. Karya sastra berupa Crita Cekak
(1) “Tatu Lawas Kambuh Maneh” (Penebar
Semangat, No. 15, 10 Mei 1971), (2)
“Erma” (Dharma Nyata, No.
18, Minggu V, September 1971), (3) “Baladewa
Ilang Gapite” (Penjebar
Semangat, No. 8, 24 Februari 1972), (4)
“Wewadi Tansah Kineker” (Penjebar
Semangat, No. 28, 24 Juli 1972), (5)
“Antinen Sawetara Dina” (Penjebar
Semangat), (6) “Rekasane Urip”
(Penjebar Semangat, No.
44, 24 November 1972), (7) “Bapak Ana Kene” (Jaya
Baya, No. 40/XXVII, 10 Juni 1973), (8)
“Tiwi” (Djaka Lodhang, Minggu
IV, Oktober 1973), (9) “Ringkih” (Dharma
Nyata, No.131
4.
SUHARMONO KASIJUN
Suharmono
Kasijun, lahir di Ponorogo, 19
Maret 1953 ini sering menggunakan nama samaran Anam Rabus. Ia
menyelesaikan SR (1960 – 1966), SMP (1967 – 1969) di Ponorogo,
sedangkan SMAnya (1970-1973) dilalui di tiga kota yaitu Ponorogo,
Madiun dan Surabaya. Tahun 1975 – 1978 menempuh pendidikan Sarjana
Muda di IKIP Surabaya dilanjutkan dengan S1 di IKIP Malang. Sekarang
ia berkesempatan menempuh pendidikan S-3 di Unesa. Setamat dari
pendidikan S1, ia menjadi guru PPSP IKIP Surabaya (1980-1988) dan
mengajar di Jurusan Bahasa Jawa FPBS IKIP Surabaya tahun 1981 –
1987. Sekarang menjadi dosen Universitas Negeri Surabaya (UNESA),
jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Suharmono lahir sebagai anak ke-11 dari 11 bersaudara pasangan
Sumiyatin dan Kasiyun Atmo Sukarto yang berasal dari Ponorogo,
tepatnya di Desa Kauman, Kecamatan Kauman – Sumoroto, Kabupaten
Ponorogo. Saudaranya yang hidup hanya delapan orang yaitu Ismiyati,
Suhartomo, Suharwoto, Suhartono, Istini, Siti Chaerul, Suhartanto,
dan Indartiningsih. Pernikahannya dengan Zuhrowati pada tahun 1983
dikaruniai tiga orang putra Lalita Jiwanti (1984), Aji Parama
Jiwangga (1985), dan Manggala Anindita Jiwangga (1990). Bersama
keluarganya, pengarang, yang mulai menulis dalam bahasa Indonesia
untuk majalah dinding sekolah pada tahun 1972, ini sekarang bertempat
tinggal di jalan Mangga IV/ H – 35 Pondok Candra Indah Surabaya
60400.
Karangannya,
yang pertama, terbit di koran Sinar Kota
dan tidak mendapat bayaran. Pengarang yang memperoleh kemampuan
mengarangnya secara otodidak ini termotivasi menjadi pengarang karena
ingin terkenal. Media bahasa Indonesia dan bahasa Jawa digunakan
dalam upaya mengekspresikan jiwa dan idealismennya karena kedua
bahasa itu dikuasainya dengan baik. Menulis sudah merupakan bagian
hidupnya. Selama menjadi pengarang Sastra Jawa, ia tidak banyak
mengalami kesulitan. Orang yang dianggap membantu proses kreatifnya
adalah Suripan Sadi Hutomo. Suharmono akan terus menulis karena
menulis sudah merupakan bagian hidupnya sehari-hari. Wawas rambahnya
cukup luas terbukti dari tulisan-tulisannya yang tidak hanya berupa
novel, tetapi juga crita cekak
dan gurit.
Ia memang ingin menulis semua genre sastra. Honornya sebagai penulis
berkisar antara Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 1.000.000. Sebagai
pengarang Sastra Jawa, ia berharap agar masyarakat etnis Jawa mau
menghargai budaya Jawa.
Karya-karyanya
mendapat pengakuan publik, seperti (1) novelnya yang berjudul Den
Bagus pernah menjadi juara harapan
sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1980, (2) cerkaknya
yang berjudul “Tatu-tatu Lawos”
memenangkan lomba penulis cerkak
Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) tahun 1980, (3) novelnya yang
berjudul Kidung Katresnan
memenangkan juara harapan Sayembara novel PKJT tahun 1981, (4) crita
sambungnya yang berjudul Pupus
Kang Pepes dinilai sebagai crita
sambung terbaik Panjebar
Semangat dalam kurun waktu lima tahun,
dan (5) Pupus kang Pepes
mendapat hadiah dari Yayasan Rancage tahun 1999.
Karya
yang berbentuk puisi dimuat di majalah Penjebar
Semangat, Jaya Baya, dan
Kumandang sejak tahun 1974 sampai
sekarang “Kidung Langsir Wengi”,
“Ing Pucuk Gagak Layar Dakcancang Gendera Putih”, “Mujahidin
Perak”, “Tandong”, “Ketudangan”, “Doran”, “Mitraku”,
“Wus”, “Kidung Kayu Aking”, “Wengkar”, “Jalatunda”,
“Guritan Kapang”, “Lintang-lintang”, Udan Riwis-riwis Kenya
Manis”, “Lajnaran”, “Doran”, “Dukuh Kupang, “Panguripan”,
“Pasuruan”, Karyanya yang berbentuk
crita sambung
adalah Gerimis
(Jaka Lodang,
1980), Kidung Katresnan
(Penjebar Semangat,
1986), Guwing
(Jaya Baya,
1989), Pupus Kang Pepes
(Panjebar Semangat,
1991), dan Edan (Jaya
Baya, 1997),
“Kampus”, “Keluke Cerobong Pabrik”, “Pomahku Omah Putih”,
“Perang Kembang”, yang terbit dalam
buku antologi bersama antara lain
"Mujahidin Perak" "Kelandengan" "Kidung Kayu
Aking" "Mitraku" "Wus" dalam
Kabar Saka Bendulmrisi: Kumpulan Guritan (PPSJS,
2001) dan "Kidung Kayu Aking"
dalam Drona
Gugat (Bukan Panitian Parade Seni WR
Supratman, 1995), dll. Karyanya yang berupa crita
cekak dalam
Penjebar Semangat dan
Jaya Baya tahun 1973 sampai sekarang
“Subuh”, “Peteng Sing Ireng”, “Sanip Tambak Oso”,
“Biotrop”, “Ratni”, “Tumbal”, “Bapa”,
“Andheng-andheng Ngisor Lambe”, “Sore Ing Pesisir”,
“Tatu-tatu Lawas”, “Gombak”, “Barong Dance”, “Sahadewa”,
“Warok”, “Wiramane Lagu Dangdut”, “Musibah”, “Surup”,
“Prahara”, “Tangga Anyar”, “Ratin”
dll.
Karyanya
yang berbentuk crita sambung
adalah Gerimis
(Jaka Lodang,
1980), Kidung Katresnan
(Penjebar Semangat,
1986), Guwing
(Jaya Baya,
1989), Pupus Kang Pepes
(Panjebar Semangat,
1991), dan Edan (Jaya
Baya, 1997),
Pernah menjabat sebagai ketua Umum Paguyuban Pengarang Sastra Jawa
Surabaya (PPSJS) 1990 – 1994, dan kemudian menjadi ketua umum lagi
pada periode 2001 – 2004. Hingga sekarang masih mengajar di Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia – Universitas Negeri Surabaya (UNESA).
5. WIDODO BASUKI
Widodo Basuki,
lahir di Trenggalek pada tanggal 18 Juli 1967. Ia termasuk pengarang
sastra Jawa yang produktif. Karya-karyanya telah terbit di berbagai
media berbahasa Jawa, seperti Penjebar
Semangat dan
Jaya Baya. Meskipun lebih dikenal
sebagai penyair, Widodo Basuki juga menulis cerpen, esai, drama,
cerita bersambung, dan cerita rakyat untuk anak-anak. Ia sering
diundang untuk membacakan puisi-puisinya, terlibat dalam pementasan
drama, dan menjadi pembicara dalam berbagai seminar dan sarasehan.
Dalam tulisannya, kadang-kadang ia menggunakan nama Liesty W, W.
Basuki, dan Widodo B.
Ia
adalah anak ke-5 dari delapan bersaudara. Ibunya bernama Asilah dan
ayahnya bernama S. Muchtarom. Ia berasal dari etnis Jawa dan beragama
Islam. Widodo Basuki menempuh pendidikan di SD Tawing I (1974 –
1980), SMP Munungan (1980-1983), dan SMAN I Trenggalek (1983-986).
Setelah lulus dari SMAN I Trenggalek, ia meneruskan ke STK
“Wilwatikta” Surabaya (1986—1990) dan lulus dari IKIP PGRI
Surabaya (1994—1997) jurusan seni rupa. Ia menikah tahun 1995
dengan Dra. Sri Sulistiani, M.Pd. dosen bahasa dan sastra Jawa di
Universitas Negeri Surabaya. Ia mempunyai dua anak, yaitu dan
dikaruniai dua orang putra, yaitu Abhimata Zuhra Pramudita (1997) dan
Gupita Zahra Laksmi Mahardhika (1999).
Sebelum menjadi wartawan dan redaktur majalah
Jayabaya
dari tahun 1993 sampai sekarang, Widodo Basuki pernah bekerja sebagai
desainer Taman PT. Moer Sociates (1991—1992), Guru menggambar SD
(1987—1991), dan penulis lepas (1987—1993).
Karyanya yang telah diterbitkan dalam bentuk buku,
baik sebagai antologi sendiri maupun bersama, antara lain (1) Gurit
Panantang (Bengkel Muda Surabaya, 1993,
pernah dibaca di DKS dan aula Deppen Blitar tahun 1993), (2) "Layang
Saka Tlatah Wetan" "Manjing Djroning Dhisket"
"Rembulane Dahpaser" "Tembang ing Sungapan"
"Pitakon" dalam Pisungsung
: Antologi Guntan 6 Penyair (1995), (3)
"Episode Sawise Iku"
dalam Drona Gugat
(Bukan Panitia Parade Seni WR Supratman, 1995), (4) Layang
Saka Paran, (5) "Jagir
Wonokromo Surup Surya" "Layang Saka Tlatah Sumbreng"
"Pithakon ing Pethit Ombak"
dalam Kabar Saka Bendulmrisi: Kumpulan
Guritan (PPSJS, 2001), (5) "Nyuwun
Praune Anakku" "Kadurakan ing Kidul Srengenge"
dalam Omonga Apa Wae: Kumpulan Puisi dan
Guritan (Festival Cak Durasim, 2000),
(6) "Tembang Lemah Ngare"
"Bebanteng Majapahit" "Kadurakan ing Kidung Srengenge"
dalam Negeri Bayang-Bayang
(Festival Seni Surabaya, 1996), (7) "Megatruh
ing Tengah Wengi" "Nalika Bende Tinabuh"
dalam Prosesi Kolaborasi Ruwatan Balai
Pemuda (Seni Multimedia Komunitas
Seniman Surabaya, 1998), (8) "Mbatik"
"Kadurakan ing Kedhung Srengenge" Medhitasi Godhong
Gedhang: Pelukis Agus Koching"
dalam Gerimis Lembayung: Puisi, Essay,
dan Geguritan, (9) Kitir
Tengah Wengi (terbitan sendiri dan
dibaca pada acara Semaan Sastra di Galeri DKS), (10) Layang
Saka Tlatah Wetan:
Antologi Guritan (terbitan sendiri dan
dibaca pada Malam Pagelaran dan Diskusi Sastra Daerah di DKJ TIM
Jakarta), (11) "Megatruh Tengah
Wengi" "Ublik ing Trotoar" "O, Jogrok"
"Bambar Bunelan" dalam
Tes….:Antologi Puisi Penyair Jawa
Timur (Taman Budaya Jawa Timur, 1987),
(12) Liong, Tembang Prapatan
(Taman Budaya Yogyakarta, 1999), (13) Wulan
Sandhuwuring Geni (Yayasan Obor
Jakarta, 1996), (14) Bandha Warisan,
Antologi Dongeng Jawa (SSJY-LKBS,
2001), Bandha Pusaka: Antologi Crita
Cekak (SSJY-LKBS, 2001), dan
Ayang-Ayang Wewayangan (PPSJS, 1992). Tulisannya yang lain (1) Menak
Sopal dan Buaya Putih (berupa cerita
untuk anak, PT Citra Jaya Murni, 1997), (2) Orang-orang
Berpeci (berupa naskah drama untuk
Bengkel Muda Surabaya tahun 1996), (3) Geger
Kali Rungkut (berupa naskah wayang
kentrung bersama-sama dengan Bengkel Muda Surabaya tahun 1998) dan
tulisan-tulisannya yang berupa cerpen, cerita bersambung,
cerita anak-anak, cerita wayang, artikel sastra tersebar di berbagai
media, seperti Jaya Baya, Panjebar
Semangat, Surabaya Post, Jawa Pos, Surya.
Karya-karyanya sering mendapat penghargaan.
Penghargaan paling bergengsi yang pernah diterima adalah dari Yayasan
Rancage untuk kumpulan puisinya yang berjudul Layang
Saka Paran pada tahun 2000. Puisinya
yang berjudul “Guritan Pari Sawali”
pernah terpilih sebagai juara I versi Kanwil Depdikbud Jawa Timur
tahun 1996. “Cak Dul lan Maimanah”
adalah cerpennya yang memenangkan juara harapan II dari Sanggar
Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) tahun 1998. Cerpennya yang berjudul
“Supinah”
terpilih sebagai sepuluh besar dalam lomba penulisan cerpen berbahasa
Jawa Taman Budaya Yogyakarta tahun 1998 dan dimasukan dalam antologi
Liong: Tembang Prapatan (1999).
"Njaga Banyune Sendang"
juara I Naskah Dongeng, Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta dan Lembaga
Kajian Budaya Surakarta tahun 2002. "Kudhi
Bujel" juara harapan I lomba
menulis cerpen Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta dan Lembaga Kajian
Budaya Surakarta 2002). "Lumantar
Koperasi, Ndadekake Wong Cilik Bisa Gumuyu"
juara I Jurnalistik Perkoperasian, Depkop-Deppen Jawa Timur tahun
1993.
Pada tanggal 24 Juni 1999, ia diundang untuk membacakan puisinya
dalam acara gelar sastra daerah oleh Dewan Kesenian Jakarta bertempat
di Taman Ismail Marzuki. Tahun 2001, ia menjadi pemakalah dalam
Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta dan diundang pada Kongres
Internasional Budaya Sunda di Bandung serta terlibat dalam
penerjemahan teks klasik dan pesisiran naskah Jawa Lama, Serat Babad
Madura. Widodo juga aktif di seni teater Bengkel Muda Surabaya,
Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, Kelompok Seni Rupa
Bermain, mengisi fragmen bahasa Jawa di TVRI, siaran pembinaan bahasa
dan sastra Jawa di RRI Surabaya bersama Paguyuban Pengarang Sastra
Jawa Surabaya, dan mengikuti pameran lukisan dan keramikIa pernah
menduduki posisi sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Surabaya
periode tahun 1998—2003. Di samping itu, ia berusaha memasukkan
sastra Jawa dalam kentrung atau naskah drama yang dipentaskan bersama
teman-temannya di Bengkel Muda Surabaya. Untuk berbagai aktivitas dan
perhatiannya pada sastra Jawa modern di Jawa Timur, Widodo Basuki
mendapat perhatian dan apresiasi dari Pemerintah Daerah Provinsi Jawa
Timur berupa Penghargaan Seniman Jawa Timur pada tahun 2004.
6. BONARI NABONENAR
Bonari Nabonenar,
lahir di Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek pada
tanggal 1 Januari 1964. Bonari, termasuk pengarang dwibahasa dan
cukup produktif. Ia tidak hanya menulis puisi atau cerpen, tetapi
juga artikel, esai, anekdot, dan novelet yang ditulis dengan
menggunakan media bahasa Jawa dan Indonesia. Karya-karyanya
dipublikasikan melalui media, seperti Panjebar
Semangat, Jaya Baya, Merdeka, Bernas, Suara Merdeka, Wawasan, Surya,
Jawa Pos, dan Surabaya
Post. Bonari menganggap bahwa bahasa
adalah alat yang dapat digunakan untuk mengekpresikan ide dan
gagasannya. Ia mengibaratkan menulis seperti menanam benih padi,
yaitu di tanam di media yang tepat. Begitu pula dengan ide dan
gagasannya yang juga harus diekpresikan dengan bahasa yang tepat.
Kata 'Nabonenar” di belakang namanya, adalah nama tambahan. Bonari
sering menggunakan nama samaran, seperti Sriningtyastuti dan Nuning
Ningtyas dalam tulisan-tulisannya. Ayahnya bernama Sugimin dan ibunya
bernama Insiyah. Keduanya berasal dari Trenggalek. Bonari berasal
dari etnis Jawa dan beragama Islam. Ia menikah dengan Sri Winarni, S.
Pd. Pada tahun 1994 dan dikaruniani seorang putri bernama Nang
Aristya.
Bonari menempuh pendidikan SD Cakul I (1970-1976),
SMP Berbantuan Panggul (1976-1979), SPG Sore di Trenggalek
(1979-1982), dan IKIP Surabaya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (1982-1987). Setelah lulus, bekal ilmu keguruan itu ia
manfaatkan untuk bekerja sebagai guru tidak tetap di SMA Panggul,
Trenggalek, pada tahun 1987—1989. Tahun 1992—1994, ia menjadi
staf redaksi tabloid Jawa Anyar. Tahun
1995—2000, ia bergabung dengan JPNN (Jawa
Pos News Network) dan tahun 2000 ia
menjadi redaktur tabloid X-file.
Bersama dengan Leres Budi Santosa dan Arif Santosa, ia memprakarsai
berdirinya Lembaga Kajian Budaya Jawa Pos. Ia juga salah seorang
penggagas Kongres Sastra Jawa (2001), pengadilan sastra Jawa (2002),
dan festival sastra buruh. Dalam organisasi ia juga aktif, seperti
menjadi pengurus komunitas sastra Jawa Cantrik, ketua Paguyuban
Pengarang Sastra Jawa Surabaya (2004—2008), dan komite sastra Dewan
Kesenian Jawa Timur (2003—2008). Pada tahun 2003, ia dikirim oleh
Dewan Kesenian Jawa Timur mengikuti Pertemuan sastrawan Nusantara XII
di Singapura dan mengunjungi Dewan Bahasa di Malaysia. Tahun 2005, ia
diundang untuk memberikan workshop penulisan bagi para pekerja rumah
tangga (TKI) di University of Hong Kong di Kowloon.
Bonari sudah mulai menggemari kegiatan menulis
sejak masih sekolah dasar melalui pelajaran mengarang yang diberikan
oleh gurunya dan dari kegemarannya membaca. Bakatnya dibidang menulis
mulai terasah dengan baik ketika duduk di bangku SPG karena mempunyai
kesempatan lebih banyak untuk membaca karya-karya para pengarang
Indonesia dan bergaul dengan para pengarang sastra Jawa di Sanggar
Sastra Triwida, Tulungagung. Karyanya yang pertama berupa puisi dan
dimuat di majalah Taman Siswa
Yogyakarta pada tahun 1981. Cerpennya yang berjudul "Klanthung
Sastramindring" pernah mendapat
hadiah sebagai Juara II lomba menulis crita
cekak yang diselenggarakan oleh Balai
Bahasa Yogyakarta bekerja sama dengan Dewan Kesenian Yogyakarta pada
tahun 1991.
Sebagai pengarang, Bonari cukup produktif
menghasilkan dan mempublikasikan karya-karyanya. Berikut adalah
sebagian karya-karya Bonari yang sudah diterbitkan dalam majalah
"Ombak Kuni", "Kembang
Kang Mekar ing Ketiga Aking" (JB,
cc, 1987), "Pakeliran"
"Omah" "Lakon"
(JB, grt, 1987),
"Wong Ayu lan Gedhang" (PS,
cc, 1990), "Ing
Pangkone Sulastri" (MS,
cc, 1990), "Rembulan
Tatu" (MS,
grt, 1990), "Kayu
Pating Slekrah" (DL,
cc, 1990), "Lambe"
(JB, cc, 1990), "Klantung
Sastramidring" "Guru: Kacatur Ngalor-ngidul"
(PS, cc,
1991), "Cendhela" "Angin"
(JB, cc, 1991), "Prahara"
(PS, cc, 1992), "Dheweke Teka"
"Candhi Wurung"
(JB, grt,
1992), "Tembang Tangise Sinten"
(Surabaya Post, grt,1992),
"Jaka Durung Duwe SIM" ( JB,
cc,1992)., "Maling"
dan (Jawa Anyar, cc, 1994),"
Ponorogo" (PS,
grt, 1995).
Karya-karya Bonari juga ada yang diterbitkan dalam
bentuk buku dalam antologi bersama pengarang lain, seperti (1) Byar
(1992), merupakan kumpulan crita cekak
Sanggar Triwida Tulungagung, (2) Mutiara
Segegem (Jurusan Bahasa dan Sastra
Daerah IKIP Yogyakarta), (3) "Ana
Kembang Mekar ing Tatu" "Ana Kembang Mekar ing Tawang"
"Sukerta" "Maneh-maneh" "Pupuh Ngucireng"
dalam Pisungsung: Antologi Guritan Enam
Penyair yang diterbitkan oleh Forum
Kajian Kebudayaan Surabaya, (4) Suharto
dalam Cerpen Indonesia, merupakan
kumpulan cerpen berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Bentang
Yogyakarta tahun 2001, (5) "Aji
Tresna" "Aku Lan Sliramu" "Dhuhkitaku"
"Malatrisna" dalam Kabar
Saka Bendulmrisi: Kumpulan Guritan
(PPSJS, 2001), (6) "Dakgelah Lakune
Rembulan" dalam Drona
Gugat (Bukan Panitia Parade Seni WR
Supratman, 1995), dan (7) Bermula dari
Tambi, merupakan kumpulan cerpen
berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Panitia Pekan Seni Surabaya
tahun 2001.
Di samping menggeluti sastra Jawa, Bonari juga
memiliki perhatian pada kebudayaan Jawa dan dunia pendidikan.
Perhatiannya itu tampak dari tulisannya, seperti (1) "Cangkriman:
Biyen lan Saiki" (Panjebar
Semangat, 1987), (2) "Murid:
Biyen lan Saiki" (Panjebar
Semangat, 1989), (3) "Kasusastran
lan Bonsai" (Panjebar
Semangat, 1989), (4) "Majalah
Sastra Jawa, Perlu" (Mekar
Sari, 1990), (5) "Maneh,
Sithik Ngenani Gurit" (Panjebar
Semangat, 1990), (6) "Pancakaki:
Biyen lan Saiki" (Panjebar
Semangat, 1991), "Nasibe
Lulusan SPG" (Panjebar
Semangat, 1991), "Isih
Cilik Ngabotohan" (Panjebar
Semangat, 1992), "Sastra
Jawa: Juru Kritik lan Tesmak"
(Panjebar Semangat,
1992), dan "Nangisi Ludruk"
(Panjebar Semangat,
1994).
7. ST. IESMANIASITA
St. Iesmaniasita,
lahir di desa Terusan, Mojokerto,
18 Maret 1933; dengan nama Sulistyo Utami Djojowisastro. Pengarang
ini serba bisa dan sangat produktif. Karyanya berbentuk cerita
pendek, cerita bersambung, drama, dan puisi. Karya puisinya lebih
dari 500 judul, cerpennya lebih dari 100 judul, dan cerita
bersambungnya lebih dari 10 judul. Karya-karyanya itu terbit di
berbagai media seperti Jayabaya,
Panjebar Semangat, Crita Cekak, Mekarsari, Djaka Lodang, Candra
Kiranan, dan Waspada.
Pada umumnya, karya-karyanya telah diterbitkan, baik dalam terbitan
sendiri maupun dalam antologi bersama pengarang lain. Sebagai
penyair, St Iesmaniasita dianggap memelopori penulisan puisi bebas
dalam sastra Jawa, baik dari segi struktur maupun bahasa. Sebagai
cerpenis, ia juga dianggap telah mengawali penulisan cerpen
supranatural (menyatukan dunia nyata dan dunia fana).
Iesmaniasita, anak pertama dari sembilan bersaudara yang terdiri atas
dua perempuan dan tujuh laki-laki. St Iesmaniasita berasal dari suku
Jawa. Ayahnya bernama M. Said dan bekerja sebagai pegawai perairan di
Mojokerto. Ibunya bernama Soedorowerti adalah seorang ibu rumah
tangga. Pendidikan sekolah rakyat diselesaikannya tahun 1951 dan
pendidikan guru SGB diselesaikannya tahun 1954 di Mojokerto. Sekolah
menengah pertama diselesaikannya di Wlingi, Blitar. Selanjutnya, dia
mengikuti kursus guru tahun 1963.
Selepas pendidikan guru SGB, St Iesmaniasita mengabdikan diri
sebagai guru di SD Mojosari tahun 1954. Tahun 1958, dia pindah
menjadi guru di SD Purwotengah II. Selanjutnya, dia mengabdikan diri
di SD Wates VI. Di SD Wates dia menjabat sebagai kepala sekolah
sampai memasuki masa pensiun tahun 1993. Dia tidak menikah, dan
selama hidupnya tinggal di rumah keluarganya di Jalan Trunojoyo 19
Mojokerto. Dia tinggal bersama adiknya, Ny. Setiati, dan
keponakan-keponakannya. Dia meninggal dunia pada tanggal 8 April 2000
di Rumah Sakit Mojokerto karena penyakit liver.
St Iesmaniasita mulai menulis pada tahun 1950.
Tulisan pertamanya berupa cerpen. Akan tetapi, dia baru dikenal luas
pada tahun 1954 ketika puisinya yang berjudul ”Kowe Wis Lega?”
(”Sudah Puaskah Engkau?”) terbit di majalah Panjebar
Semangat No. 8 Tahun XIII, tanggal 2
Februari. Selanjutnya, ”Kowe Wis Lega?” masuk dalam buku Kalimput
ing Pedut: Kumpulan Crita Cekak Lan Guritan yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1976. Puisi itu amat terkenal
dan dinilai sarat dengan konsep avangard.
Melalui puisinya itu, dia dianggap sebagai pelopor dan pembaharu
sastra Jawa modern, khususnya puisi. Dia juga adalah pengarang
perempuan pertama dalam sastra Jawa dan dianggap sebagai pengarang
pertama yang berani tampil dengan bahasa Jawa yang tidak baku.
Bahasa Jawa ragam ngoko yang digunakannya mengundang kontroversi.
Berikut kutipan puisi ”Kowe Wis Lega?” dan terjemahannya oleh
Widati (2004:67)
Aku turuning pujangga
bisa nyipta Palgunadi & Anggrahini
bisa nyipta Panji & Candrakirana
bisa nyipta edining kuncup melati
jingga tuwin aruning ludira.
O, jaman Kanwa
jaman Sedah
pepuspan amrik
mekar endah.
Leluhurku
urip ing saben jaman
ngelik sesindhenan ing padesan
lan ngumbara urut pasisir
nasak wana salumahing bawana.
rungokna
rungokna....
O, sumitra,
apa sliramu wis lega
sesindhenan lagu warisan??
(Panjebar Semangat,
2 Februari 1954)
Sudah Puaskah Engkau?
Aku keturunan Pujangga
dapat menciptakan Palgunadi & Anggraini
dapat menciptakan Panji & Candrakirana
dapat cerita indahnya kuncup melati
jingga dan harumnya darah
O, zaman Kanwa
zaman Sedah
bunga-bunga menarik
mekar indah
Leluhurku
hidup sepanjang zaman
mengalun menembang
di pedesaan
dan mengembara di sepanjang pantai
menembus hutan di seluruh (muka) bumi
dengarkan, dengarkan..........
O, kawan
apakah engkau sudah puas
menembangkan lagu warisan?
Kesenangan membaca yang dimiliki St Iesmaniasita diperkirakan berasal
dari tradisi keluarganya yang senang membaca. Keluarganya yang
tergolong berkecukupan pada zamannya berlangganan majalah berbahasa
Jawa Panjebar Semangat dan Jaya Baya, majalah Intisari, koran Kompas,
Surabaya Post, dan Jawa Pos. Ia juga memiliki hobi mendengarkan musik
klasik dan membaca karya-karya alexander Pushkin (penyair dan
cerpenis Rusia).
Iesmaniasita mulai menulis sejak kelas III SMP.
Dia mempunyai nama samaran Lies Djojowisastro dan Umi Gultoum.
Karyanya yang berupa kumpulan cerpen dan sudah diterbitkan adalah
(1) Kidung Wengi ing Gunung Gamping
(Balai Pustaka, 1958) dan (2) Kringet
Saka Tangan Prakosa (Yayasan Jayabaya,
1974). Kumpulan puisinya yang telah diterbitkan adalah (1) Kalimput
ing Pedhut (Balai Pustaka, 1976) yang
di dalamnya ada 3 buah cerpen dan 20 puisi dan (2) Mawar-Mawar
Ketiga (Yayasan Jaya Baya, 1996).
Antologi puisi bersama yang memuat karya Iesmaniasita adalah (1)
Geguritan : Antologi Sajak-Sajak Jawa
(Pustaka Sasanamulya, 1978), (2) Seroja
Mekar ( Balai Pustaka, 1985), (3)
Kalung Barleyan:
Antologi Guritan Penyair Wanita
(Suripan Sadi Hutomo (ed), F IKIP Surabaya), (4) Kabar
Saka Bendulmrisi : Kumpulan Guritan
(PPSJS, 2001, suntingan Suharmono Kasiyun), Lintang-Lintang
Ambyor (1983, suntingan Soesatya
Darnawi) dan Guritan : Antologi Puisi
Jawa Modern 1940-1980 (1950, suntingan
Suripan Sadi Hutomo).
St Iesmaniasita selalu aktif, baik sebagai pembicara maupun peserta
dalam pertemuan-pertemuan yang membicarakan sastra Jawa. Tahun 1983,
dia mendapat penghargaan dari Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta atas
jasanya mengembangkan sastra Jawa. Tahun 1999, dia mendapat hadiah
Rancage sebagai orang yang telah berjasa melakukan pembinaan sastra
Jawa.
Menurut Widati (2001:303), St Iesmaniasita adalah pelopor penulisan
puisi Jawa modern, baik dalam bentuk: bebas dalam larik, jumlah
silabus, irama yang ringan, dan persajakan yang dinamis, maupun dalam
tema dan masalah yang digarap. Widati juga mengatakan bahwa St
Iesmaniasita telah mengawali model penulisan perempuan yang berbeda
dengan laki-laki. Hampir semua cerpennya menunjukkan bahwa teknik
penulisannya berbeda dengan laki-laki yang merefleksikan adanya
perlakuan berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Suripan Sadi Hutomo (1983) mengatakan bahwa St Iesmaniasita adalah
pengarang wanita yang meretas jalan bagi kaumnya dalam mengembangkan
sastra Jawa modern karena sebelum St Iesmaniasita muncul, belum
ditemukan hasil karya perempuan pengarang sastra Jawa.
8. SRI 'TRINIL' SETYOWATI
Trinil, lahir
di Surabaya tanggal 27 Juli 1965 dengan nama Sri Setyawati,
termasuk sebagai pengarang generasi
muda sastra Jawa. Meskipun tergolong baru, dia banyak dibicarakan
karena dianggap memelopori penulisan karya sastra dengan ragam dialek
Suroboyo-an, khusunya
dalam genre puisi.
Trinil anak ketiga dari empat bersaudara, dua
perempuan dan dua laki-laki. Trinil berasal dari suku Jawa dan
beragama Islam. Trinil menempuh pendidikan SD tahun 1972 – 1978,
SMP tahun 1978 – 1981, SMA Tritunggal 3 tahun 1981 – 1984, STK
Wilwatikta tahun 1985 – 1989, dan IKIP Negeri tahun 1992 – 1997
di kota kelahirannya, Surabaya. Atas biaya dari Fakultas, Trinil
menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Negeri Surabaya. Saat ini,
Trinil sedang menempuh pendidikan doktor di Universitas Negeri
Malang. Ketika menjadi mahasiswa seni tari, Trinil mendapat
penghargaan dari Menpora sebagai pemeran utama dalam lakon Rumah
Tak Beratap yang dipentaskan dalam
Pekan Teater Nasional tahun 1996 dan dari Direktorat STSI Surakarta
sebagai penari eksibisi dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional di
Surakarta tahun 1996.
Setamat dari Jurusan Seni Tari, IKIP Surabaya, sejak tahun 1998
sampai sekarang, Trinil mengabdikan diri sebagai pengajar di
Universitas Negeri Surabaya (dahulu IKIP Surabaya). Sebelumnya, dia
pernah mengajar di TK tahun 1984 – 2000 dan selalu menang dalam
lomba sebagai koreografer.
Trinil menikah dengan Edhy Brodjowaskito, seorang Pegawai Negeri di
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Dari pernikahan itu, Trinil
dikaruniai tiga orang anak, yaitu Randhu Radjawanu (lahir 1989),
Dhirgan Grudowaringin (lahir 1992), dan Merak Badra Wakaruyung (lahir
2001). Ayah Trinil bernama Salam Parto Suyidno berasal dari Ngawi dan
ibunya bernama Armunah berasal dari Gresik. Trinil mempunyai tiga
orang saudara, yaitu Endang Sri Purwanti (Guru SMP), Bambang Sukarno
(Pegawai PJKA), dan Djoko Setyo Utomo (Swasta).
Trinil mulai menulis tahun 1997 di Majalah
Jayabaya.
Selain dalam bahasa Jawa ragam dialek Surabaya dan Surakarta, dia
juga menulis dalam bahasa Indonesia. Tulisan dalam bahasa
Indonesianya berupa esai untuk tabloid Wisata
dan Budaya dan majalah Budaya
Dewan Kesenian Jawa Timur. Tulisannya
mengenai pendidikan, feminisme, wisata, budaya, seni, dan sejarah ada
di majalah Kidung
dan tabloid Bromo
(th 1998 – 2001). Hasil karyanya yang berupa puisi dan novel sudah
diterbitkan, yaitu Donga Kembang Waru
(2000) dan Sarunge Jagung
(2004).
Menurut Sutarto (2005), upaya Trinil mengangkat
martabat ragam dialek Surabaya menjadi bukti nyata bahwa pengarang
yang hidup dalam komunitas budaya tertentu dapat mengekspresikan
gagasannya dan pengalaman hidupnya melalui bahasa yang dikuasainya.
Trinil dinilai berhasil menepatkan budaya Jawa-Surabaya sebagai ruh
dalam puisi-puisinya dan hal itu merupakan lompatan langka karena
selama ini Surabaya telah ditampilkan dalam berbagai wajah, baik
dalam karya seni maupun dalam cultural
events, tetapi belum berhasil
menghadirkan ruh Surabaya di dalamnya. Ragam dialek Surabaya dianggap
sebagai bahasa yang kasar dan hampir tidak pernah dipilih sebagai
bahasa sastra, apalagi puisi sehingga keberanian Trinil tergolong
istimewa dalam dunia sastra Jawa.
Menurut Kasiyun (2004), puisi Trinil khas Surabaya karena memiliki
rima, mencakup berbagai kata kiasan yang ada di Jawa Timur, dan
memakai struktur sastra tradisional, seperti Dandhanggula, Pucung,
dan Maskumambang. Kekhasan itu terutama dikarenakan menggunakan
bahasa ragam dialek Surabaya dan berisi kritik terhadap kota
Surabaya.
Brata (2005) mengatakan bahwa Trinil telah memasarkan ragam dialek
Surabaya kepada masyarakat, khususnya kalangan generasi muda agar
tidak malu menggunakannya. Ia menunjukkan bahwa karya sastra etnik
bukan karya yang memalukan. Menurutnya, Trinil pantas disebut sebagai
satu-satunya pembaharu dalam dunia sastra Jawa modern ragam dialek
Surabaya.
9. J.F.X HOERY DAN KARYANYA
Nama panjangnya Joseph
Fransiscus Xaverius Hoery, yang
kemudian disingkat JFX Hoery ini, lahir di desa Karangnongko,
Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan pada tanggal 7 Agustus 1945
ini dapat dikatakan sebagai salah satu ikon sastra Jawa di
Bojonegoro. Pemeluk agama Katholik ini mulai menulis sejak berusia 14
tahun, ketika karya pertamanya dimuat di salah satu majalah yang
berbahasa Jawa Taman Putra pimpinan
Pak SIN (Soebagijo IN) terbitan Panjebar
Semangat, Surabaya tahun 1959.
Tulisan pertama yang dimuat adalah laporan perjalanan wisata yang
dillakukan pada saat itu. Untuk penulisan pertama di majalah
tersebut, ia tidak memperoleh honor. Satu-satunya motivasi awal yang
menggerakkan dirinya untuk tepat menulis adalah keinginannya yang
besar untuk dapat mengarang.
Setelah karya pertamanya dimuat di majalah,
selanjutnya tulisan Hoery termuat di banyak majalah berbahasa Jawa
seperti Panjebar Semangat, Jaya Baya,
Dharma Nyata, Dharma Kanda, Djaka Ludang, Cenderawasih, Mekar Sari,
Kumandang, Pustaka Candra, dan
Parikesit. Tulisan-tulisan
yang dimuat tersebut berupa cerita cekak
’cerita pendek’, cerita
sambung ‘cerita bersambung’,
geguritan ‘puisi’,
cerita rakyat, laporan atau reportase, dan juga esai. Pengarang yang
juga menggunakan nama samaran Retno Yudhawati, Cantrik Gunung Lima,
dan Frans HJ ini beristrikan Sri Narjati, Ama.Pd. Seorang guru yang
mengajar di SDN di Bojonegoro. Mantan anggota DPRD Kabupaten
Bojonegoro. Dalam usia pernikahan yang mencapai 30 tahun (menikah 3
November 1974), pasangan ini dikaruniai 2 anak perempuan dan 1
laki-laki yang sekarang semuanya bergelar sarjana.
Menyelesaikan jenjang pendidikan di sekolah dasar tahun 1957 di kota
kelahirannya, Hoery kemudian pindah ke Blora dan menyelesaikan
pendidikan SMP di kota itu tahun 1963. Tahun 1967, Hoery lulus dari
STM C1 Mesin di Semarang, Jawa Tengah. Kegemaran menulis Hoery terus
diasah dengan cara melanjutkan pada kursus-kursus seperti mengetik,
administrasi, jurnalistik, dan penataran kewartawanan.
Dunia kepenulisan J.F.X. Hoery berlanjut saat ia
menjadi wartawan. Tahun 1975—1980 menjadi wartawan di mingguan Jaka
Lodhang, tahun 1976 di mingguan
Kumandang,
1980—1985 di majalah Mekarsari,
tahun 1985—1989 sebagai wartawan di harian Kedaulatan
Rakyat, dan tahun 1991—2001 di harian
Bernas.
Kegiatan menulis sempat ia hentikan sementara, saat ia disibukkan
oleh pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai anggota DPRD Kabupaten
Bojonegoro. Setelah masa bhaktinya sebagai anggota DPRD selesai tahun
2004 ia mulai menulis kembali beberapa karya sastra, terutama
karya-karya sastra berbahasa Jawa. Selain menulis karya sastra
menggunakan bahasa Jawa Hoery juga menulis menggunakan bahasa
Indonesia. Majalah-majalah dan surat kabar yang pernah memuat
tulisan-tulisan Hoery antara lain Kuncum Jakarta, Arena Pelajar
Jakarta, kuncup Jakarta, Buana Minggu Jakarta, Suara Merdeka Minggu
Semarang, Warta Pertamina Jakarta, dan Suluh Marhaen Surabaya. Karya
sastra dalam bentuk buku selain “pagelaran” yang diterbitkan oleh
Narasi Yogjakarta, berjudul “Lintang Abyor”, “Kabar Saka Tlatah
Jati“, juga buku cerita anak-anak “Permaisuri yang Cerdik” dan
“Sosiawan-sosiawan kecil” yang diterbitkan oleh PT Mandira
Semarang.
Perhatian terhadap sastra Jawa dan
perkembangannya, diwujudkan Hoery dalam keaktifannya dalam
organisasi-organisasi kesastraan seperti organisasi Pengarang sastra
Jawa (OPSJ), anggota pleno Dewan Kesenian Bojonegoro, dan sebagai
ketua Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), sebuah organisasi
local kesastraan yang mampu menampung sastrawan, peminat, dan
pemerhati sastra Jawa. Selain itu, dalam bidang kemasyarakatan, Hoery
juga aktif di Keuskupan Surabaya wilayah Kevikevan IV sebagai staf
komisi sosial (Komsos)
sebagai sekretaris pada Paroki Santo WillI Brodus Cepu, dan juga
anggota Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI) Jawa Tengah.
Hoery mengakui, kemampuan menulis yang ia miliki,
didapatkannya dari pengetuahannya dari pergaulannya dengan teman
sesama pengarang, berdialog dan berdiskusi, baik dalam situasi formal
maupun informal. Hal-hal seperti itu menjadi bagian proses kreatif
seorang Hoery, di samping pengembangan imajinasi dan penuturan
pengalaman hidup yang ia dapatkan sehari-hari. Dengan keyakinan bahwa
bahasa, sastra dan kebudayaan Jawa tidak akan pernah mati, hingga
sekarang Hoery masih terus menulis. Hingga kini telah 325 geguritan,
dan sekitar 85 crita
cekak telah ia hasilkan. Ia berharap,
dalam perkembangan selanjutnya semakin banyak bermunculan
lembaga-lembaga yang mengkhususkan diri dalam perhatiannya terhadap
karya-karya sastra seperti Yayasan Rancage milik Ajip Rosidi. Melalui
yayasan inilah, pada tanggal 31 Maret 2004, bertempat di Universitas
Pakuan Bogor, hoery memperoleh penghargaan buku antologi “Pagelaran”
yang memuat 185 kumpulan guritannya.
Diakui oleh Hoery, ketika menerima pengahargaan itu berbagai perasaan
seperti bangga, malu dan juga prihatin bercampur menjadi satu. Bangga
karena ia menerima penghargaan tersebut merupakan perwujudan
prestasinya dalam berkiprah dalam dunia sastra selama ini. Malu
karena menganugerahkan pengahargaan itu adalah sebuah yayasan yang
didirikan oleh tokoh yang berasal dari Suku Sunda, Ajip Rosidi. Hal
itu, menurut Hoery menandakan bahwa masyarakat Jawa tidak begitu
memperhatikan dan mengindahkan keberadaan serta keluhuran sastra
Jawa. Keprihatinan Hoery didasarkan pada kenyataan bahwa sastra Jawa
sudah tidak diagungkan lagi oleh mayoritas suku Jawa.
Di samping hadiah sastra Rancage, geguritan
Hoery juga pernah meraih juara harapan
dalam kegiatan yang diadakan oleh lembaga Javanologi tahun 1982.
Geguritannya
“Bendhe-bendhe Patembayan” juga pernah terpilih sebagai yang
terbaik versi Taman Budaya Yogyakarta. Berikut adalah karya-karya
J.F.X. Hoery.
A. Karya sastranya yang berupa crita
cekak
(1) “Alun Isih Gumulung” (Mekar
sari No. 13 tanggal 1 September 1975),
(2) “Sunar Dewanti” (Mekar Sari
No. 19 tanggal 1 Desember 1975), (3) “Tilgram Saka Bapak” (Mekar
Sari No. 2 tanggal 15 Maret 1976), (5)
“Anak Lanang Mbarep” (Mekar Sari
No. 22 tanggal 15 Januari 1977), (6) “Kowe Apa Wis Dhewasa Tenan
Mirah” (Mekar Sari No.
12 tanggal 15 Agustus 1977), (7) “Layang Saka Sumenep” (Mekar
Sari No. 2 tanggal 15 Maret 1978), (8)
“Klebu Jaring” (Mekar Sari
No. 7 tanggal 1 Juni 1978), (9) “Mojang Kamojang” (Mekar
Sari No. 13 tanggal 1 September 1978),
(10) ;Gondrong” “Mekar Sari
No. 13 tanggal 1 Desember 1978), (11) “Kasep” (Mekar
Sari No. 4 tanggal 15 April 1979), (12)
“Kawiyak” (Mekar Sari No.
13 tanggal 1 September 1979) (13) “Mbakyune Nyawang Kanthi Tajem”
(Mekar Sari No.
10 tanggal 15 Juli 1980), (14) “Atining Wanita” 9
Mekar Sari No. 20 tanggal 15 Desember
1980), (15) “Angin Wengi Segara Kidul” (Jaya
Baya No. 45 tanggal 6 Juli 1975), (16)
“Banjire Wis Surut” (Jaya Baya
No. 49 tanggal 3 Agustus 1975), (17) “Mengko Ketemu Maneh” (Jaya
Baya), (18) “Lien Nio Atimu Putih”
(Jaya Baya
No. 11 tanggal 11 November 1984), (19) “Rembulan Surem” (Jaya
Baya No. 17 tanggal 21 Desember 1984),
(20) “Wisel” (Jaya Baya
No. 50 tanggal 12 Agustus 1984(, (21) “Dhewekw Wis Bali” (Jaya
Baya), (22) “Gunung Lima Sinaput
Pedhut” (Jaya Baya
No. 51 tanggal 19 Agustus 1990), (23) “Layang Waiyat” (Jaya
Baya, 1975), (24) “Panjaluke Mbak
Widya” (Jaya Baya
1983), (25) “Hadiah Natal” (Jaya
Baya), (26) “Tamu Lingsir Wengi Ing
Lokasi” (Jaya Baya
No. 38 tanggal 19 Mei 1985), (27) “Pangorbanan” (Jaya
Baya), (28) ‘Guru” (Jaya
Baya No. 2 tanggal 9 September 1979),
(29) “Dudu Slahku” (Jaya Baya
No. 45 tanggal 12 Juli 1981), (30) “Cease Fire” (Jaya
Baya No. 29 tanggal 17 Maret 1991),
(31) “Kenya Ing Kamar Losmen” (Jaya
Baya, 1986), (32) “Ah” (Jaya
Baya No. 2 tanggal 8 September 1991),
(33) “Cipanas Gawe Ati Panas” (Jaya
Baya No. 30 tanggal 24 Maret 1895),
(34) “Temlawung” (Jaya Baya
No. 6 tanggal 8 Oktober 1983), (35) “Ambyar” (Jaya
Baya No. 38 tanggal 18 Mei 1980), (36)
“Kinanthi” (Jaya Baya
No. 28 tanggal 12 Maret 1989), (37) “Tsunami” (Jaya
Baya No. 29 tanggal 16 Maret 2003),
(38) ”Lonceng Tengah Wengi” (Jaya
Baya No. 18 tanggal 4 Januari 1976),
(39) “Testening Kringet Ing Tlatah Cengkar” (Jaya
Baya No. 46 tanggal 18 Juli 1976), (40)
“Banjire wis Surut” (Jaya Baya
No. 49 tanggal 3 Agustus 1978), (41) “Oh Jakrta’ (Jaya
Baya No. 46 tanggal 17 Juli 1977), (42)
“Kelayu Kenya Ayu” (Jaya Baya
No. 13 tanggal 12 November 1974), (43) “Kabuncang Ing Pangangen”
(Jaya Baya
No. 36 tanggal 4 14 Mei 1978), (44) “Rembulan Sadhuwuring
Falmboyan” (Jaya Baya
No. 37 tanggal 14 Mei 1978), (45) “Mengko Ketemu Maneh” (Jaya
Baya No. 8 tanggal 19 Oktober 1986),
(46) “Teluk Lorok Dadi Saksi” (Jaya
Baya No. 35 tanggal 26 April 1987),
(47) “Ing Teluk poph” (Jaya Baya
No. 30 tanggal 1 April 1988), (48) “Meja Kursi” (Jaya
Baya), (49) “Nedhenge Flamboyan
Mekar” (Jaya Baya
No. 30 tanggal 28 Maret 1982), (50) “Luputku” (Jaya
Baya No. 1 tanggal 5 Spetember 1993),
(51) “Balok-balok Jati” (Panjebar
Semangat No. 30 tanggal 29 Juli 1978),
(52) “Wewadi” (Panjebar Semangat),
(53) “Jerit Bubar Maghrib” (Panjebar
Semangat No. 33 tanggal 16 Agustus
1975), (54) “Sepur Kapindho” (Panjebar
Semangat), (55) “Kanugrahan”
(Panjebar Semangat),
(56) “Katresnan lan wewadi kang Kineker” (Panjebar
Semangat No. 39 tanggal 25 September
1976), (57) “Oh Anakku” (Panjebar
Semangat No. 15 tanggal 10 April 1982),
(58) “Tanjung” (Panjebar Semangat
No. 41 tanggal 10 Oktober 1987), (59) “Mas Yudi Nyandiwara”
(Panjebar Semangat
No. 24 tanggal 16 April 1973), (60) “Bali” (Panjebar
Semangat No. 1 tanggal 2 Januari 1973),
(61) “Mirah” (Panjebar Semangat
No. 30 tanggal 23 Juli 1977), (62) “Kadurakan” (Panjebar
Semangat No. 37, 2004), (63) “sayati”
(Panjebar Semangat),
(64) “uwit Nakal” (Panjebar Semangat
No. 52 tanggal 24 Desember 19769, (65) “Timbalan” (Panjebar
Semangat No. 52 tanggal 25 desember
1976), (66) “Selekta Abang” (Djaka
Lodang Minggu II September 1975), (67)
“Lukisan” (Djaka Lodang No.
19 tanggal 7 Agustus 1993), (68) “tandure Wis Sumilir”
(Kumandhang),
(69) “Ringin Ngarep Rumah Sakit” (Kumandhang),
(70) “Aja Kleru Tampa Yanny” (Kumandhang),
(71) “Perbawaning Kanugrahan” (Dharma
Nyata), (72) “Turis” (Dharma
Nyata), (75) “Formulir” (Pustaka
candra No. 8 tahun 1981), (76) “Titising Panyuwun” (Pustaka
Candra No. 33 tahun 1981), dan beberapa crita
cekak lain yang tidak terdata oleh
pengarang.
B. Karya sastranya berupa crita
sambung
“Tante Haryati” (Jaya
Baya No. 8 tanggal 16 Oktober 1988—No.
17 tanggal 25 Desember 1988)
C. Karya sastranya berupa geguritan
- “Kali Grindulu” (Panjebar Semangat tahun 1971), (2) “Sugeng Esuk Surabaya” (Panjebar Semangat No. 42 tanggal 10 Nopember 1972), (3) “Pacitan” (Panjebar Semangat), (4) “Sungapan Pacitan” (Kumandhang No. 115 Minggu III Januari 1976), (5) “Tlatah Rengka” (Kumandhang No. 20 tanggal 23 Maret 1074), (6) “Napas-napas Talatah Cengkar” (Dharma Nyata No. 163 Minggu IV Juli 1974), (7) “Cirebon” (Kumandhang No. 1 Minggu III Maret 1975), (8) “karangpacar” (Panjebar Semangat No. 21 tanggal 24 Mei 19750, (9) “Baureno” (Dharma Nyata No. 207 Minggu I Juni 1975), (10) “Wadhuk Leran” (Dharma Nyata No. 207 Minggu I juni 1975), (11) “Kabar Saka Desa” (Dharma Nyata No. 249 Minggu IV Maret 1976), (12) “Madiun” (Djaka Lodang No. 303 Minggu IV Mei 1977), (13) “Ing Sasonomulyo Aku”, (14) “Kayangan Api” (Djaka Lodang No. 341 tanggal 5—15 Mei 1978), (15) “Ing Gegere Gunung Cerme” (Djaka Lodang No. 341 tanggal 5—15 Mei 1978), (16) “Cepu” (Djaka Lodang No.348 tanggal 25 Juli 1978), (17)”Padangan” (Djaka Lodang No. 348 tanggal 25 Juli 1978),(18)”Alun-Alun Bojinegoro” (Panjebar Semangat No. 30 tanggal 28 Juli 1979), (19 “Dakcethet Ing Banjarjo 22” (Panjebar Semangat No. 37 tanggal 15 September 1979), (20) “ Pacitan Cepu Aku Ketemu” (Djaka Lodang No. 349 tanggal 15 Desember 1979), (21) “Alun-Alun Bojonegoro 1982” (Jaya Baya No. 23 tanggal 16 Februari 1983), (22) “Trotoar” (Parikesit No.481 tanggal 4 aApril 1982), (23) “Kenjeran Tugu Pahlawan” (Parikesit No.558 tanggal 25 September 1983), (24) “Gunung Sewu” (Parikesit No.585 tanggal 3 Desember 1983), (25) “ Alas Roban” (Jaya Baya No. 22 tanggal 29 januari 1984), (26)”Angin Padesan” ( Mekarsari No. 11 tanggal 1 Agustus 1985), (27)”Taman” (Jaya Baya No. 28 tanggal 9 Maret 1986), (28)” Sengkaling” (Djaka Lodang No. 740 tanggal 22 November 1986), (29) “Selekta” (Djaka Lodang No. 740 tanggal 22 November 1986),(30) ”Blitar “, (31) “Tarub” (Panjebar Semangat No.17 tanggal 22 November 1987), (32) “Srengenge Mlethek Ing barehan” (Panjebar Semangat No. 14 Tanggal 4 April 1987), (34) “Pacitan kang Dakkangeni” (Jaya Baya No. 2 tanggal 6 Maret 1988), (35) “Bumi Kelairan” (Panjebar Semangat No. 24 tanggal 2 April 1988), (36) “Sadawaning dalan Pacitan-Tegalombo” (Jaya Baya No. 1 tanggal 4 September 1988), (37) “Bojonegoro” (1982), (38) “Sugeng Keri pacitan” (1989), (39) “Punung”(1989), (40 “Yogya” (1989, (41 “Teleng ( Panjebar Semangat No. 48 tanggal 27 November 1933), (42) “Sungapan Lorok”, (43) “Bandar” (Panjebar Semangat No. 34 tanggal 20 Agustus 1995), (44) “Cilacap” (Panjebar Semangat No. 7 tanggal 14 Februari 1988), (45) “Stasiun Purwokerto” (1997), (46) “Baturaden” (1997), (47) “Tlatah Rengka” (Kumandang No. 20 tanggal 23 Maret 1974), (48) “ Panalangsa” (Kumandang No. 22 tanggal 6 April 1974), (49) “Aku Ora Kuwawa” ( kumandang No. 43 tanggal 31 Agustus 1974), (50) “Kapang” (Kumandang No. 52 tanggal 2 November 1974), (51) “Prawan Sunthi” (Dharma Nyata Minggu II April 1974), (52) “Panglocita” (Panjebar Semangat No. 44 tanggal 2 November 1974), (53) “Pangrasa”, (54) “Jaran Guyang” (Djaka Lodang No. 242 Minggu IIIMaret 1976), (55) “Salam Kagem Sliramu” (Panjebar Semangat No. 23 tanggal 5 Juni 1976), (56) “Sliramu Kang Anguwuh Kapang” (Dharma Nyata No. 305 Minggu IV 1977), (57) “Tumenga” (Djaka Lodang Minggu IV Mei 1977), (58) “Sliramu Wis Tinimbalan Bali” (Dharma Nyata No. 280 Minggu IV Oktober 1976), (59) “Sepi” (Lintang-lintang Abyor, 1983), (60) “Antarane aku Lan Sliramu” (Djaka Lodang No. 354 tanggal 25 September 1978), (61) “Ballada Wong-wong Pengeboran” (Jaya Baya 1980): Pemenang II penelitian geguritan Javanologi tahun 1980, (62) “Esem” (Djaka Lodang No. 479 tanggal 21 Nopember 1981), (63) “Swara Ing Batin Swara Ing Asepi” (1982), (64) “ Rembulan Leledhang” (Jaya Baya No. 36 tanggal 8 Mei 1983), (65) “Ing Atiku Ing Atimu” (Parikesit No. 541 tanggal 29 Mei 1983), (66) “Apa Maneh Sing Mboklari” (Parikesit No. 541 tanngal 29 Mei 1983), (67) “ Gumalewang” (1985), (68) “Koncatan” (Jaya Baya No.46 tanggal 13 Juli 1986), (69) “Tumpak” (Panjebar Semangat No. 19 tanggal 9 Mei 1987), (70) “Saka Kedheping Netramu” (Panjebar Semangat No. 10 tanggal 5 Maret 1988), (71) “ Sugeng Tindak Mitra” (Djaka Lodang No. 816 tanggal 7 Mei 1988), (72) “Tumibal” (Djaka Lodang No. 816 tanggal 7 Mei 1988), (73) “Ambyar” (Panjebar Semangat No. 1 tanggal 30 Desember 1989), (74) “ Dakantu Tekane Kabar Ing Mangsa Iki” (Jaya Baya No. 9 tanggal 29 Oktober 1988), (75) “Kaca” (Panjebar Semangat No. 1 tanggal 30 Desember 1989), (76 “ Kasmaran” (Panjebar Semangat No. 49 tanggal 4 Desember 1993), (77) “Pendhut” (Djaka Lodang No. 48 tanggal 27 April 1996), (78) “Kemrungsung” (Jaya Baya No. 31 tanggal 5 April 1998), (79) “ Wengi Pangumbaran” (Mekar Sari No. 22 tanggal 15 Januari 1982), (80) “Keblat” (Jaya Baya No. 41 tanggal 9 Juni 1991), (81) “Slenca” (Jaya Baya No. 8 tanggal 24 Oktober 1993), (82) “Kasaguhan” (Djaka Lodang No. 20 tanggal 15 Oktober 1994), (83) “Kelangan” (1993), (84) “Nglenggana” (Jaya Baya No. 4 tanggal 25 September 1994), (85) “Pamrih” (Jaya Baya No. 5 tanggal 11 Oktober 1995), (86) “Wis Samesthine” (Panjebar Semangat No. 38 tanggal 23 September 1995), (87) “Aku Iki” (Jaya Baya No. 5 tanggal 11 Oktober 1995), (88) “Ora Perlu Ditangisi” (Jaya Baya No. 24 tanggal 15 Februari 1998), (89) “Mega Putih” (Panjebar Semangat No. 6 tanggal 7 Februari 1998), (90) “Pahargyan” Dharma Nyata No. 73 Minggu III Oktober 1972), (91) “Upeti” (Kumandhang 1973), (92) “Penget” (Dharma Kandha No. 220 Minggu III Januari 1974), (93) “Aku Ora Kuwawa” (Kumandhang, No. 43 tanggal 31 Agustus 1974), (94) “Monumen” (Kumandhang, No. 37 tanggal 20 Juli 1974), (95) “Pragmen” (Mekar Sari No. 22 tanggal 15 Januari 1982), (96) “Perkutut” (Djaka Lodang No. 205 Minggu I Juli 1975), (97) “Penggurit Wis Dhek Wingi Mardika” (Dharma Nyata No. 212 Minggu II Juli 1975), (98) “Layang Kekancinagn” (Dharma Nyata No. 227 Minggu IV Oktober 1975), (99) “Sadurunge Sirine Mecah Ombak” (Jaya Baya No. 38 tanggal 23 Mei 1976), (100) “Panantang” (Jaya Baya No. 38 tanggal 23 Mei 1976), (101) “Apa Abamu Panggurit” Kumandhang, No. 136 Minggu II Juni 1976), (102) “Biwara” (Dharma Nyata No. 305 Minggu IV April 1977), (103) “Atiku Lan KArepmu” (1977), (104) “Patembayan” (Kumndhang No. 204 tanggal 21 November 1977), (105) “Simbah” (Djaka Lodang No. 381 tanggal 5 julli 1978), (106) “Layang –I” (Mekar Sari No. 8 tanggal 15 juni 1978), (107) “Layang –II” (Mekar sari No. 8 tanggal 15 Juni 1978), (108) “Kang Diarep” (Dharma Nyata No. 378 Minggu III September 1978), (109) “Ing Mburine Redaksi” (Jaya Baya, 1968), (110) “Pranyatan” (Djaka Lodang No. 365 tanggal 25 Januari 1979), (111) “Lhadallah” (Djaka Lodang No. 383 tanggal 25 Juli –5 Agustus 1979), (112) “Prasetya” (1982), (113) “Trotoar” (Parikesit No. 481 tanggal 4 April 1982), (114) “Pangruwat” (Jaya Baya No. 47 tanggal 22 Juli 1984), (115) “Waris” (Mekar Sari No. 31 tanggal 27 September 1989), (116) “Tuntutan Jaman Edan” (Jaya Baya No. 19 tanggal 5 Januari 1986), (117) “Iki Dudu Layang Panantang” (Jaya baya No. 2 tanggal 6 September 1987), (118) “Iki Layang Kangenku” (Djaka Lodang No. 834 tanggal 10 September 1988), (119) “Senthir” (Djaka Lodang No. 840 tanggal 22 Oktober 1988), (120) “Panggah” (Panjebar Semangat No. 10 tanggal 4 Maret 1989), (121) “Sketsa” (Panjebar Semangat No. 16 Tanggal 15 April 1989), (122) “Panandhang” (1988), (123) “Jingklong” (1989), (124) “Paseksen” (1988), (125) “Kaca” (Panjebar Semangat No. 1 anggal 30 Desember 1989), (126) “Dongeng” (1989), (127) “Paseksen Panggurit” (1990), (128) “Aja” (Jaya Baya No. 7 tanggal 17 OKTOBER 1993), (129) “Kelangan” (1993), (130) “Srakah” (Panjebar Semangat No. 49 tanggal 4 Desember 1993), (131) “Panggresah Ing Tengah Sawah” (Jaya Baya No. 26 tanggal 27 Februari 2000), (132) “Tekamu” (Panjebar Semangat No. 35 tanggal 2 September 1995), (133) “Kendhang” (Jaya Baya No. 29 tanggal 17 Maret 1996), (134) “Sing Katon Kae” (Djaka Lodang No. 25 tanggal 10 November 1996), (135) “Refleksi Kesunyatan” (Panjebar Semanagt No. 14 tanggal 1 April 2000), (136) “Panggugat” (Panjebar Semanagt No. 37 tanggal 13 September 1997), (137) “Kemrungsung” 9Jaya Baya No. 31 tanggal 5 April 1998), (138) “Pagelaran” (Jaya Baya No. 7 tanggal 11 Oktober 1987), (139) “Iman” (Dharma Nyata No. 253 Minggu III April 1976), (140) “Komuni” (Dharma Nyata No. 253 Minggu III April 1974), (141) “Salip” (Dharma Nyata No. 253 Minggu III April 1974), (142) “Natal” (Dharma Nyata No. 288 Minggu IV Desember 1976), (143) “Yerusalem” (Dharma Nyata No. 310 Minggu IV Mei 1977), (144) “Slogan” (Dharma Nyata No. 310 Minggu IV Mei 1977), (145) “Paskah” (Kumandhang No. 204 tanggal 21 November 1977), (146) “Gemothange Lonceng Sangisore Kayu Pamenthangan” (1982), (147) “Ing” (Jaya Baya No. 44 tanggal 1 juli 1984), (148) “Ing Astamu Rinakit Gurit” (Jaya Baya No. 17 tanggal 23 Desember 1984), (149) “Kapangku” (Panjebar Semangat No. 9 tanggal 1 Maret 1986), (150) “Sapa Ta” (1986), (151) “Pasrah” (Panjebar Semangat No. 27 tanggal 5 Juli 1986), (152) “Manunggal” (Panjebar Semangat No. 27 tanggal 5 Juli 1986), (153) “Donga Pungkasan” (Djaka Lodang No. 735 tanggal 18 Oktober 1986), (154) “Menep” (Panjebar Semangat No. 19 tanggal 19 Mei 1987), (155) Sumendhe” (Panjebar Semangat No. 38 tanggal 19 September 1987), (156) “Ing Rasa RasaMu” (Jaya Baya No. 6 tanggal 4 Oktober 1987), (157) “Saka Kedheping NetraMu” (Panjebar Semanagt No. 10 tanggal 5 Maret 1988), (158) “Lintang” (Panjebar Semangat No. 10 tanggal 5 Maret 1988), (159) “Saka Altar Greja Tuwa” (Jaya Baya No. 23 tanggal 31 Januari 1988), (160) “Donga Wengi” (Panjebar Semangat No. 9 tanggal 25 Februari 1989), (161) “Palungan” (1989), (162) “Pitakon” (Panjebar Semangat No. 10 tanggal 3 Maret 1989), (163) “Ing Kene getihmu” (1989), (164) “Roh” (Jaya Baya No. 41 tanggal 10 Juni 1990,(165) “Saka Asihmu” (Jaya Baya No. 41 tanggal 10 Juni 1990, (166) “Suwung” (Djaka Lodang No. 1073 tanggal 10 April 1993), dan banyak lagi.***Catatan: Bahan Kuliah Mahasiswa Jurusan SPI - VII - IAIN Suna - SurabayaDesaku Canggu, Jetis, Mojokerto, 11/10/2012
2 komentar:
Saya punya buku yg saya temukan dulu di perpustakaan yang di bongkar sewaktu SMP di smp 2 kubu karangasem bali bertuliskan sastra jawi kuno setelah kesana kemari saya bawa tak ada 1 org yang mampu baca ukuran A3 se tebal 5cm penampakan kusam tanpa sampul dari tulisan nampak seperti geguritan jawi kuno karna dari tulisan seperti tulisan tangan rapi namun kanan serta kiri paragraf kurang rata mungkin admin bisa bantu atw mungkin tau ini buku apa gambar mungkin nnty nnty kirim via email.. terimakasih
Saya memiliki teman & kenalan yang bergabung di komunitas pembelajar sastra Jawa Kuna.
Jika berkenan, isi dari buku tersebut boleh difoto/discan dan dikirimkan ke pos-el (email) saya?
Terima kasih.
Posting Komentar