GEGURITAN CAMPUR LUDRUK
JADILAH TONTONAN PENUH TAWA
Oleh: Ons Untoro
Suasana
khas surabayaan mendominasi dan nuansa akrab terasa muncul antara pemain dan
penonton. Pembaca puisi dan pemain saling membanyol sehingga mengundang tawa.
Bahkan antara pemain dan penonton juga saling meledek sehingga gelak tawa tak
bisa dihindarkan.
Sebuah pertunjukan yang menarik
ditampilkan dalam acara Sastra Bulan Purnama di Tembi Rumah Budaya, Jumat malam
31 Juli 2015, yakni pembacaan geguritan yang dikemas dalam bentuk ludruk Jawa
Timuran, yang dipentaskan oleh para penggurit dari Surabaya. Pertunjukan ini
memadukan pembacaan geguritan dan ludruk.
Para penggurit dari Surabaya
itu Aming Aminoedhin, Widodo Basuki, Giryadi dan Suharmono. Aming dan Widodo
Basuki memukul gendang dan Giryadi memainkan wayang. Suasana khas surabayaan
mendominasi dan nuansa akrab terasa muncul antara pemain dan penonton. Pembaca
puisi dan pemain saling membanyol sehingga mengundang tawa. Bahkan antara
pemain dan penonton juga saling meledek sehingga gelak tawa tak bisa
dihindarkan.
“Kita memang sengaja mencoba
tampil beda tanpa melepaskan khas surabayaan, meskipun geguritan ditulis dengan
bahasa Jawa yang halus,” ujar Aming Aminoedhin.
Para pembaca geguritan dari
Surabaya dalam gaya ludrukan ini memang kocak dan sadar akan panggung, sehingga
dalam membaca bisa merespon gejala yang dirasakannya, seperti apa yang
dilakukan Giryadi. Ketika dia sedang membaca geguritan ada seorang anak yang
tiba-tiba menangis.
‘Kosik ta, aja nangis aku tak
maca dhisik (Nanti dulu, jangan menangis aku membaca dulu),” kata Giryadi.
Tentu saja penonton tergelak,
dan Giryadi dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa, kembali melanjutkan
membaca geguritan, yang terkumpul dalam antologi geguritan ‘Gurit Bandha
Donya.’
Sambil memainkan wayang,
Giryadi, Widodo Basuki dan Aming Aminoedhin, saling meledek. Melalui tokoh
Gareng, Giryadi yang memainkan wayang itu bisa meledek siapa saja, sehingga
suasana segar dan tawa tak bisa dihilangkan.
Pertunjukan sastra, dalam
konteks ini membaca geguritan, memang perlu menghidupkan suasana, agar tidak
kaku dan tegang sehingga membuat penonton cepat bosan. Tetapi ludrukan
geguritan dari penggurit Surabaya ini membuat penonton tidak cepat bosan, dan
seolah pertunjukan seperti cepat selesai.
Para penggurit dari Surabaya
ini tergabung dalam satu komunitas yang mereka namakan PPSJS kependekan dari
Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, yang sudah berumur 38 tahun. Satu
umur yang termasuk tidak muda untuk sebuah komunitas sastra Jawa.
“Malam ini, tepat 31 Juli 2015
saat acara Sastra Bulan Purnama diselenggarakan di Tembi Rumah Budaya, usia
PPSJS genap berumur 38 tahun,” kata Suharmono, ketua PPSJS mengawali pengantar
sebelum membaca geguritan karyanya.
Apa yang kita lakukan dengan
ludruk geguritan ini, demikian Suharmono mengatakan, merupakan satu aktvitas
yang kita sebut sebagai ngamen geguritan atau ngamen sastra. Kita sudah
melakukan ngamen seperti ini di beberapa kota di Jawa dan malam ini kita ngamen
di Tembi Rumah Budaya.
Sambil ludrukan dan memukul
gendang, para penggurit saling bergantian membaca geguritan. Widodo Basuki,
yang mengenakan pakaian serba hitam, membacakan geguritan karyanya sambil tidak
melupakan banyolan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aming Aminoedhin dan
penggurut lainnya.
Ludruk geguritan jelas
merupakan terobosan dari pertunjukan sastra. Ons Untoro – Foto-foto: Barata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar