LITERASI
BAHASA JAWA TETAP ADA
Oleh:
Aming Aminoedhin*
Ketika pada hari Minggu (21/2/2016)
rubrik Ruang Putih - Jawa Pos, memuat artikel tentang ‘Stagnasi Edukasi Sastra
Jawa’ tulisan Ari Kristianawati; menyulut ingatan saya akan kegiatan literasi berbahasa
Jawa, yaitu peluncuran buku ‘Dalane Uripku’ yang selanjutnya disingkat ‘DU’
karya Suprawoto. Apa yang menarik dari bahasa dan budaya Jawa? Barangkali
wejangan atau pitutur luhurnya yang selalu diusung dalam literasi bahasa Jawa
tersebut, sehingga tetap tertulis di dalamnya.
Berbicara soal literasi bahasa Jawa,
seorang redaktur Majalah Jaya Baya Surabaya, Widodo Basuki, pernah mengatakan
bahwa, “ Ketika ia membuka rubrik calon pengarang bagi para siswa, maka cerita
yang dikirimkan ke redaksi kebanyakan bicara soal unggah-ungguh atau tata
krama, kejujuran, dan budi pekerti luhur dalam kehidupan ini. Meskipun
ceritanya tersebut ditulis dalam bahasa Jawa ngoko.”
Kembali ke persoalan peluncuran buku
DU yang ditulis dalam bahasa Jawa, dilun-curkan pertama kali di Mercure Grand
Mirama Hotel – Jalan Raya Darmo – Surabaya, 12 Februari 2016 lalu. Letaknya di
tengah atau jantung kota Surabaya. Sungguh terasa wah..., jika tak bisa
dikatakan mewah. Buku yang diterbitkan oleh PT Panjebar Semangat Surabaya, dicetak
pertama Februari 2016, dengan tebal 640 halaman tersebut, cukup eksklusif atau mewah
- semewah tempat acara peluncurannya.
Tampak banyak undangan hadir pada
kesempatan tersebut, baik kalangan akademis, seniman, dan sastrawan, baik
Indonesia maupun Jawa. Acara peluncuran DU itu terasa cair, ketika pemandunya
Suko Widodo dan Priyo Aljabar. Banyak guyonan parikena dilontarkan, hingga dialog jadi terasa segar. Bahkan saya
sebagai tamu didaulat pula untuk membacakan 2 geguritan guna meramaikan acara.
Jika harus dikritisi acara ini,
mengapa acaranya digelar di Mercure Hotel? Mengapa tidak diselenggarakan di Gedung
Balai Pemuda Surabaya, Taman Budaya Jatim, atau di kampus-kampus? Utamanya
kampus Unesa yang mempunyai jurusan Bahasa Jawanya? Sebab acara literasi bahasa
Jawa diadakan di hotel, terasa membuat jarak dengan orang Jawa kebanyakan yang
suka bahasa dan sastra Jawa. Mau datang dan bergabung terasa kikuk, bahkan
mungkin canggung.
Sebaiknya acara ini memang harus digelar kembali, karena pentingnya isi buku ini, dengan mengetengahkan juru bedah buku yang mumpuni bahasa dan sastra Jawa, seperti misalnya: Dr. Suharmono Kasijun atau Dr. Tengsoe Tjahjono, yang kebetulan keduanya dari Unesa. Atau siapa saja yang punya kapasitas mengulasnya, seperti redaktur Jaya Baya, Widodo Basuki.
Sebaiknya acara ini memang harus digelar kembali, karena pentingnya isi buku ini, dengan mengetengahkan juru bedah buku yang mumpuni bahasa dan sastra Jawa, seperti misalnya: Dr. Suharmono Kasijun atau Dr. Tengsoe Tjahjono, yang kebetulan keduanya dari Unesa. Atau siapa saja yang punya kapasitas mengulasnya, seperti redaktur Jaya Baya, Widodo Basuki.
Dalane Uripku
Pada awalnya membaca
buku setebal 640 halaman itu, memang terasa agak terasa malas. Namun setelah
kita coba mulai membacanya, akan terasa cair mengalir tanpa terasa. Mengapa
demikian? Ditulis dalam bahasa Jawa ngoko secara bercerita, tanpa harus meng-gurui
pembacanya. Lebih lagi bagi orang Jawa yang gemar membaca, pasti akan terasa
enak, dan kita (pembaca) mendapatkan banyak inspirasi yang apik dan menarik.
Kenapa menarik?
Ada
beberapa hal yang terasa lucu, dan bahkan mengingatkan kita sewaktu masih
sekolah dulu. Ada guru yang galak, dan guru yang halus atau biasa-biasa saja.
Simak potongan kalimat hal. 111 berikut ini: Beda karo Pak Supeno kang alus kaya Arjuna. Yen Pak Sukiran priyayine tegas, trengginas, lan kawentar kereng. Yen ana murid kang ora nggatekake utawa ora apal isine wulangan, biyasane dithuthuk nganggo githik. Mula bocah-bocah yen wis mlebu kelas ora ana kang wani cemuwit kae. (Beda sama Pak Supeno yang halus seperti Arjuna. Pak Sukiran orangnya tegas, trengginas, dan terkenal galak. Jika ada murid tidak memperhatikan atau tidak hafal isi pelajaran, biasanya dipukul pakai bilah kayu. Makanya anak-anak jika sudah masuk kelas tak berani bersuara sama sekali).
Simak potongan kalimat hal. 111 berikut ini: Beda karo Pak Supeno kang alus kaya Arjuna. Yen Pak Sukiran priyayine tegas, trengginas, lan kawentar kereng. Yen ana murid kang ora nggatekake utawa ora apal isine wulangan, biyasane dithuthuk nganggo githik. Mula bocah-bocah yen wis mlebu kelas ora ana kang wani cemuwit kae. (Beda sama Pak Supeno yang halus seperti Arjuna. Pak Sukiran orangnya tegas, trengginas, dan terkenal galak. Jika ada murid tidak memperhatikan atau tidak hafal isi pelajaran, biasanya dipukul pakai bilah kayu. Makanya anak-anak jika sudah masuk kelas tak berani bersuara sama sekali).
Buku berjudul DU ini berkisah
autobiografinya Suprawoto, mantan Kepala Dinas Infokom Jawa Timur (2002-2005).
Barangkali orang media, utamanya wartawan cetak, elektronik (radio, televisi,
dan online) yang ada di Surabaya, pasti kenal tokoh yang satu ini.
Apa
lagi ketika, ia jadi kepala biro humas
PON 2000 di Jawa Timur, wartawan luar Jatim dan bahkan mancanegara pasti kenal
beliau.
DU mengisahkan perjalanan hidup
Suprawoto, sejak dari desanya Maospati – Magetan, sekolah TK hingga SMA di
daerahnya, hingga kuliah di berbagai jenjang perguruan tinggi berbeda, sampai
meraih gelar doktor yang dicita-citakannya. Kisah tentang rumah tangga yang
diarungi bersama istri, Titik Sudarti dengan segala kendalanya, serta bercerita
pula tentang bagaimana ia bekerja yang salah jalur di DPU, lantas pindah ke
Deppen, hingga terakhir menjadi Sekjen Kominfo – RI.
Menceritakan dengan gaya penulisan
bahasa Jawa yang santai, cair, dan mengalir itulah yang membikin pembaca yang
pada awalnya enggan membaca, jadi tak mau berhenti untuk menyelesaikan membaca
buku itu. Lebih lagi bagi orang Jawa yang sudah berumur sekitar 40 hingga 50-an
ke atas, pasti akan terasa diajak tamasya oleh Pak Prawoto. Pembaca seperti
diajak untuk merasa tabah ketika datang musibah, dan bersyukur ketika
mendapatkan anugerah. Tidak hanya itu, pembaca juga diajak untuk tetap berusaha
tanpa ada kata putus asa.
Membaca buku ini serasa kita
mendapatkan banyak pitutur luhur, untuk selalu berbuat baik kepada sesama,
berjuang tanpa pantang menyerah, serta tidak lupa harus selalu bersyu-kur,dan
berdoa. Sekaligus ini membuktikan bahwa literasi tulisan bahasa Jawa selalu
saja bicara soal-soal budi pekerti luhur, seperti yang dikatakan Widodo Basuki
di muka.
Dalam buku autobigorafi Suprawoto yang
ditulis menggunakan bahasa Jawa ini, membuktikan juga bahwa literasi Jawa tetap
eksis. Artinya keberadaan literasi Jawa terus berlangsung, meski bukan berupa
sastra.
Literasi Bahasa Jawa Tetap Ada
Jika saja, kita baru-baru ini kita kehilangan
tokoh sastrawan Jawa, Suparto Brata, yang meninggal dunia karena usia; bukan
berarti kita lantas dengan serta merta takut literasi bahasa Jawa akan mati.
Tidak! Buktinya masih ada tulisan autobiografi berbahasa Jawa, tulisan Suprawoto
ini. Sedangkan bentuk karya sastra Jawanya, teman-teman komunitas Paguyuban
Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro
(PSJB), dan Sanggar Triwida Tulungagung; beberapa tahun terakhir ini tetap
bertahan dengan menerbitkan buku-buku sastra Jawa.
Berdasar uraian di atas, menjelaskan
bahwa literasi bahasa Jawa, ternyata masih tetap memuat pitutur luhur atau budi
pekerti luhur (meski bukan berupa
sastra) kepada pembaca, sekaligus membuktikan bahwa literasi bahasa Jawa tetap
ada, dan terus ada!**
Desaku Canggu,
22 Februari 2016