aming aminoedhin
TELAH KAU ROBEK KAIN BIRU
PADA BENDERA ITU*
* pahlawan tak dikenal
ribuan orang bergerak sepanjang jalan
berteriak menuju hotel yamato tengah kota
kibar bendera merah-putih-biru itu
menggemuruhkan gelegak antipati pada hati
tanpa henti tanpa kompromi
ribuan orang bergerak sepanjang jalan
berteriak menuju hotel yamato tengah kota
ribuan orang memanjat hotel itu, dan kau
telah robek kain biru pada bendera itu
ribuan orang bersorak, gemuruh
“Merdeka negeriku!
Merdeka Indonesiaku”
ribuan orang bergerak sepanjang jalan
berteriak menuju hotel yamato tengah kota
sorak gemuruh mereka itu kian riuh
“Ini negaraku, negara tercinta
Satu Republik, Indonesia Raya!”
hai bangsa pemabuk, pemilik
bendera merah-putih-biru
jika tak enyah dari negeriku, bambu runcing
akan menuding mengusirmu!
jika tak juga enyah, kutawarkan semangat
dan darah kami muntah, biarkan tubuh kami
berdarah-darah, tapi kau harus
berserah. kau harus menyerah!
telah kau robek kain biru pada bendera itu
tinggal merah-putihnya, kian terasa indah
di mata, mata kita semua!
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Jayalah bangsaku, jayalah negeriku!
Jayalah Indonesiaku!
Mojokerto, 15/8/2011
Selasa, 22 November 2011
Senin, 21 November 2011
akhudiat dan skolah skandal
AKHUDIAT dan SKOLAH SKANDAL
sang dramawan yang penyair
ditulis oleh: aming aminoedhin
Siapa yang tak kenal dengan nama Akhudiat? Barangkali bagi kalangan pekerja teater, apalagi dari kalangan kampus, pasti akan kenal nama ini. Kenapa tidak? Karena naskah dramanya berjudul Jaka Tarub dan Rumah Tak Beratap, pernah memenangkan lomba naskah drama versi Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1974. Lantas naskah drama lainnya yang ia tuliskan adalah Bui (1975) dan RE (1977).
Secara umum nama Diat, panggilan akrabnya Akhudiat, sangatlah dikenal di dunia teater modern Indonesia. Di samping nama-nama lain, semacam: Rendra, Putu Wijaya, Motenggo Bosje, Arifien C Noor , dan sederet nama-nama lainnya.
Diat mengaku pernah ikut kursus akting di Teater Muslim pimpinan Mohamad Diponegoro, dan juga berguru pada teater milik Arifien C. Noer. Kata Diat, kota Yogyakarta merupakan kota yang membekalinya dengan kosakata teater. Omongan Arifien C. Noer yang selalu dia ingat adalah, “Bacalah naskah drama, pelajari dialog-dialognya, kamu akan bisa menulis naskah sendiri.”
Berangkat dari sinilah, kemudian menulis sendiri, naskah-naskah teaternya, dan bahkan sampai memenangkan lomba penulisan naskah teater di Dewan Kesenian Jakarta tersebut.
Akhudiat, lahir di Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur, 5 Mei 1946. Diat punya ayah bernama Akwan (lahir 1925), petani yang tekun di desa Karanganyar, Rogojampi, Banyuwangi. Sedangkan ibunya, bernama Musarapah (lahir 1930).
Istrinya bernama Mulyani, dan punya 3 anak: Ayesha Mutiara Diat (lahir 1975, perempuan), Andre Muhammad Diat (lahir 1976, laki-laki), dan Yasmin Fitrida Diat (lahir 1978, perempuan).
Akhudiat, pernah kuliah di Akademi Wartawan Surabaya (AWS), namun tidak diselesaikannya. Lantas ikut kursus Bahasa Inggris di Lembaga Indonesia Amerika (LIA) Jalan Dr. Soetomo Surabaya, hingga tingkat advance. Sarjananya didapatkan 1992 dari Universitas Terbuka (UT) Fakultas Ilmu Sosial (FISIPOL). Akhudiat, pernah pula ikut International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, USA, pada tahun 1975.
Jabatan yang pernah diemban sebagai Komite Sastra dan Teater pada Dewan Kesenian Surabaya tahun 1972—1982. Pada tahun yang sama (1972—1982) sebagai sutradara dan penulis naskah teater di komunitas Bengkel Muda Surabaya (BMS). Jabatan lainnya, ia anggota pleno di Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), dari tahun 1999 hingga sekarang. Menjabat sebagai steering committee Festival Seni Surabaya (FSS) dari tahun 2000 hingga sekarang. Sejak masa kecilnya Diat suka menonton bioskop, sandiwara keliling berbahasa Indonesia, seperti: Bintang Surabaya, Gema Masa, Kintamani, Opera Melayu, Ketoprak, Wayang Orang, dan Ludruk. Dia, Akhudiat, juga menonton Kentrung Trenggalek, Rengganis, yakni sejenis wayang menak dengan tokoh Amir Ambyah, Umarmoyo- Umarmadi, Putri China, Jin Baghdad, Lamdahur. Tidak itu saja, ia menonton juga Orkes Melayu, Wayang Potehi, Sandiwara Misri, dan banyak lagi. Itulah yang kemudian menjadikan Akhudiat kaya referensi tentang seni dan budaya, dan bahkan ia bisa menulis cerpen, puisi, dan naskah drama.
Melihat “drama” semacam itu, Akhudiat beranggapan kurang imajinatif, kurang “liar”, dan terlalu “diatur”. Menyikapi hal tersebut, bersama komunitas Bengkel Muda Surabaya, Akhudiat menawarkan panggung yang lain, yaitu “panggung kosong”.
Dunia panggung adalah dunia imajiner, make-believe, pura-pura, rekaan, mungkin tiruan alam luar panggung, mungkin juga tidak. Bisa berasal dari mana pun: gagasan sejarah, pengalaman, peristiwa sehari-hari, berita/artikel, mimpi, bahkan pure nothing, diraih dari angin. Maka muncullah di panggung, orang atau barang, baik sebagai pelaku/pelakon atau properti/alat bermain. Semuanya berubah, bergerak, berombak, berirama, berganti, bertukar, berkeliaran, bahkan berontak, menjadi lakon. Maka adegan-adegannya dominan out-door/exterior. Beberapa lakon awal saya juluki dengan “teater jalanan.” Bisa main di dalam gedung, taman, lapangan, halaman, pendapa, arena, atau di mana saja.
Dengan pikiran “teater jalanan” Diat mendapat gagasan ketika sering ketemu corat-coret (graffiti, tunggal: graffito) berupa tulisan atau cukilan di tembok, pohon, batu, bangku, gardu, halte, stasiun, terminal, tempat wisata, atau di mana pun, yang hanya berisi dua nama, pemuda dan pemudi yang sedang bercinta. Pesan singkat ini tentu mengandung kisah panjang di baliknya. Coretan atau “Grafito” kemudian dijadikan judul naskah dramanya.
Di samping menulis naskah drama, artikel, dan esai, Diat juga menulis puisi, cerpen, dan terjemahan apa saja dari bahasa Inggris. Terjemahan terakhirnya adalah drama absurd, “Drama tentang Drama” tulisan Samuel Beckett, yaitu Katastrof dari New Yorker, dengan sub-titel Untuk Vaclav Havel, Sastrawan, Presiden Ceko. Salah satu cerpen Diat berulang kali disiarkan adalah “New York Sesudah Tengah Malam”, pertama kali dimuat di Majalah Horison, Oktober 1984. Karya tersebut diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Dede Oetomo, dosen Unair Surabaya, dengan New York After Midninght, dan dijadikan judul buku kumpulan sebelas cerpen Indonesia dari 11 cerpenis, merujuk pengalaman tinggal di Amerika Serikat serta pandangan mereka tentang Amerika. Buku tersebut disunting oleh Satyagraha Hoerip (Oyik), diterbitkan Executive Committee, Festival of Indonesia, USA, 1990-1991. Diterjemahkan lagi oleh John H. McGlynn, New York After Midninght, dimasukkan dalam kumpulan puisi, cerpen, dan esai tentang New York setelah mengalami tragedi 11 September 2001. Disunting McGlynn, diterbitkan Lontar, Jakarta, 2001, tiga bulan sesudah tragedi. Terjemahan McGlynn ini dimuat oleh majalah Persimmon, Asian Literature, Art and Culture, Volume III, November 1, Spring 2002, diterbitkan Contemporary Asian Culture, New York. Cerpen New York After Midninght berkisah tentang tiga kota: Jember 1960, New Yok 1975, dan Surabaya 1983, lewat dia narator mengalami semacam dejavu, hadir di suatu tempat atau situasi pertama kali tapi terasa sudah pernah hadir atau mengalami sebelumnya.
Di samping sebagai dramawan, ia juga penyair. Puisinya banyak termuat di beberapa kumpulan puisi sastrawan Jawa Timur. Di antaranya beberapa kali puisinya termuat di buku kumpulan puisi dan geguritan “Malsasa” Malam Sastra Surabaya, terbitan Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) periode tahun 2005, 2007, dan 2009. Diat memang sang dramawan yang terkenal tidak hanya kota Surabaya saja, tapi juga di tingkat Nasional. Bukan itu saja, Diat juga penyair yang handal.
Terakhir kalinya, mulai Juli hingga November, Akhudiat melalui ‘Sanggar Merah Putih’ Surabaya, menggarap lakon “Skolah Skandal” karya dan sutradara Diat sendiri. Naskah dan lakon ini dipentaskan di Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, event Festival Seni Surabaya 2011; pada tanggal 3 November 2011. Para pemainnya di antaranya: Wina Bojonegoro, Deny Triariyani, Lennon Machali, Uyun Sri Wahyuni, Aming Aminoedhin, Desemba, Rara, Sri Lestari dan anaknya, Crysse; serta banyak lagi. Secara ringkas cerita itu bisa dibaca berikut ini:
Skolah Skandal
Karya dan Sutradara: Akhudiat
Alkisah seorang juragan kaya raya di negeri BOH—yang heboh suheboh – dikenal dengan panggilan ‘Ndoro Bunda’ tempat di mana segala orang minta bantuan dan utangan, dengan bunga ‘welasan sapai dupuluhan’ (bahkan kini hingga tiga puluhan, menurut sumber tak resmi dari kalangan ‘bank thithil’. Mulai pinjam ngijon arisan sampai kredit pupuk, dan bahan bakar minyak. Dan segala barang mahal milik orang se-negeri BOH, konon pernah ‘sekolah’ atau ‘parkir’ di rumah nDoro Bunda, gadai gelap, saingan pegadaian resmi Pemerintah.
Sang juragan nDoro Bunda itu bernama Maryamah, atau Wak Ayam Cawik, baru saja me-‘launching’ kompleks pergudangan baru di kawasan pantai utara, dan gedung serta rumah sakit Amanah Maryamah, tempat praktek aknya dokter Ginah, dan menantunya yang baru saja dapat gelar doktor-dokter. Asal muasalnya, bersama sang ‘misoa’, Wakde Balong, adalah dagang ayam kecil-kecilan, lesehan di tanah tanpa dasaran, di pojok Pasar Kliwon dan Pasar Klitikan.
Ndoro Bunda terkena pasal kriminal karena penyelundupan pupuk dari luar Jawa, dan divonis setahun untuk “sekolah” masuk bui, kandang-kebonya si Alsiponsi, kepala penjara BOH.
Juragan Bunda sanggup main atas main bawah. Dia membayar “joki narapidana” sebesar 10 juta ripis, untuk menghindari “sekolah” bui. Ketika mbok Wakdenya, Nyi Girah Tamsil, bezuk, sangat kaget bukan kepalang, ternyata di nomor sel “welasan” bukannya wajah cah-ayu Siyam Cawik, keponakannya, tetapi ‘praenan’ orang lain yang nongol mengaku sebagai Ndoro Bunda.
Nyik Girah berteriak, haibat, heboh suheboh, menghebohkan negeri BOH, bahkan se Indonesia Raya, karena baru kali ini ada skandal “joki narapidana.”
Bila tujuannya lembaga pemasyarakatan adalah “sekolah untuk adaptasi pesakitan kembali ke masyarakat”, Ndoro Bunda dengan jurus “Main atas main bawah” menjadikannya ke ambang tingkat tinggi “Sekolah Sekandal”
Para atasan dan atasannya atasan yang membikin “gemrengsengnya” dan “abang-ijonya” negeri BOH, semua terlibat dalam permainan Wak Ayam Cawik.
Ke mana Wakde Balong sang misoa? Dia sudah di maqomnya, asyik masyuk bersama kelompok “adem-ayem-tentrem-marem” mengaji Serat Hidayat Jati, Kyai Kanjeng Ngabehi Ronggowarsito. Amin............................!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
desaku Canggu, 21 November 2011
* ditulis kembali aming aminoedhin
sang dramawan yang penyair
ditulis oleh: aming aminoedhin
Siapa yang tak kenal dengan nama Akhudiat? Barangkali bagi kalangan pekerja teater, apalagi dari kalangan kampus, pasti akan kenal nama ini. Kenapa tidak? Karena naskah dramanya berjudul Jaka Tarub dan Rumah Tak Beratap, pernah memenangkan lomba naskah drama versi Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1974. Lantas naskah drama lainnya yang ia tuliskan adalah Bui (1975) dan RE (1977).
Secara umum nama Diat, panggilan akrabnya Akhudiat, sangatlah dikenal di dunia teater modern Indonesia. Di samping nama-nama lain, semacam: Rendra, Putu Wijaya, Motenggo Bosje, Arifien C Noor , dan sederet nama-nama lainnya.
Diat mengaku pernah ikut kursus akting di Teater Muslim pimpinan Mohamad Diponegoro, dan juga berguru pada teater milik Arifien C. Noer. Kata Diat, kota Yogyakarta merupakan kota yang membekalinya dengan kosakata teater. Omongan Arifien C. Noer yang selalu dia ingat adalah, “Bacalah naskah drama, pelajari dialog-dialognya, kamu akan bisa menulis naskah sendiri.”
Berangkat dari sinilah, kemudian menulis sendiri, naskah-naskah teaternya, dan bahkan sampai memenangkan lomba penulisan naskah teater di Dewan Kesenian Jakarta tersebut.
Akhudiat, lahir di Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur, 5 Mei 1946. Diat punya ayah bernama Akwan (lahir 1925), petani yang tekun di desa Karanganyar, Rogojampi, Banyuwangi. Sedangkan ibunya, bernama Musarapah (lahir 1930).
Istrinya bernama Mulyani, dan punya 3 anak: Ayesha Mutiara Diat (lahir 1975, perempuan), Andre Muhammad Diat (lahir 1976, laki-laki), dan Yasmin Fitrida Diat (lahir 1978, perempuan).
Akhudiat, pernah kuliah di Akademi Wartawan Surabaya (AWS), namun tidak diselesaikannya. Lantas ikut kursus Bahasa Inggris di Lembaga Indonesia Amerika (LIA) Jalan Dr. Soetomo Surabaya, hingga tingkat advance. Sarjananya didapatkan 1992 dari Universitas Terbuka (UT) Fakultas Ilmu Sosial (FISIPOL). Akhudiat, pernah pula ikut International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, USA, pada tahun 1975.
Jabatan yang pernah diemban sebagai Komite Sastra dan Teater pada Dewan Kesenian Surabaya tahun 1972—1982. Pada tahun yang sama (1972—1982) sebagai sutradara dan penulis naskah teater di komunitas Bengkel Muda Surabaya (BMS). Jabatan lainnya, ia anggota pleno di Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), dari tahun 1999 hingga sekarang. Menjabat sebagai steering committee Festival Seni Surabaya (FSS) dari tahun 2000 hingga sekarang. Sejak masa kecilnya Diat suka menonton bioskop, sandiwara keliling berbahasa Indonesia, seperti: Bintang Surabaya, Gema Masa, Kintamani, Opera Melayu, Ketoprak, Wayang Orang, dan Ludruk. Dia, Akhudiat, juga menonton Kentrung Trenggalek, Rengganis, yakni sejenis wayang menak dengan tokoh Amir Ambyah, Umarmoyo- Umarmadi, Putri China, Jin Baghdad, Lamdahur. Tidak itu saja, ia menonton juga Orkes Melayu, Wayang Potehi, Sandiwara Misri, dan banyak lagi. Itulah yang kemudian menjadikan Akhudiat kaya referensi tentang seni dan budaya, dan bahkan ia bisa menulis cerpen, puisi, dan naskah drama.
Melihat “drama” semacam itu, Akhudiat beranggapan kurang imajinatif, kurang “liar”, dan terlalu “diatur”. Menyikapi hal tersebut, bersama komunitas Bengkel Muda Surabaya, Akhudiat menawarkan panggung yang lain, yaitu “panggung kosong”.
Dunia panggung adalah dunia imajiner, make-believe, pura-pura, rekaan, mungkin tiruan alam luar panggung, mungkin juga tidak. Bisa berasal dari mana pun: gagasan sejarah, pengalaman, peristiwa sehari-hari, berita/artikel, mimpi, bahkan pure nothing, diraih dari angin. Maka muncullah di panggung, orang atau barang, baik sebagai pelaku/pelakon atau properti/alat bermain. Semuanya berubah, bergerak, berombak, berirama, berganti, bertukar, berkeliaran, bahkan berontak, menjadi lakon. Maka adegan-adegannya dominan out-door/exterior. Beberapa lakon awal saya juluki dengan “teater jalanan.” Bisa main di dalam gedung, taman, lapangan, halaman, pendapa, arena, atau di mana saja.
Dengan pikiran “teater jalanan” Diat mendapat gagasan ketika sering ketemu corat-coret (graffiti, tunggal: graffito) berupa tulisan atau cukilan di tembok, pohon, batu, bangku, gardu, halte, stasiun, terminal, tempat wisata, atau di mana pun, yang hanya berisi dua nama, pemuda dan pemudi yang sedang bercinta. Pesan singkat ini tentu mengandung kisah panjang di baliknya. Coretan atau “Grafito” kemudian dijadikan judul naskah dramanya.
Di samping menulis naskah drama, artikel, dan esai, Diat juga menulis puisi, cerpen, dan terjemahan apa saja dari bahasa Inggris. Terjemahan terakhirnya adalah drama absurd, “Drama tentang Drama” tulisan Samuel Beckett, yaitu Katastrof dari New Yorker, dengan sub-titel Untuk Vaclav Havel, Sastrawan, Presiden Ceko. Salah satu cerpen Diat berulang kali disiarkan adalah “New York Sesudah Tengah Malam”, pertama kali dimuat di Majalah Horison, Oktober 1984. Karya tersebut diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Dede Oetomo, dosen Unair Surabaya, dengan New York After Midninght, dan dijadikan judul buku kumpulan sebelas cerpen Indonesia dari 11 cerpenis, merujuk pengalaman tinggal di Amerika Serikat serta pandangan mereka tentang Amerika. Buku tersebut disunting oleh Satyagraha Hoerip (Oyik), diterbitkan Executive Committee, Festival of Indonesia, USA, 1990-1991. Diterjemahkan lagi oleh John H. McGlynn, New York After Midninght, dimasukkan dalam kumpulan puisi, cerpen, dan esai tentang New York setelah mengalami tragedi 11 September 2001. Disunting McGlynn, diterbitkan Lontar, Jakarta, 2001, tiga bulan sesudah tragedi. Terjemahan McGlynn ini dimuat oleh majalah Persimmon, Asian Literature, Art and Culture, Volume III, November 1, Spring 2002, diterbitkan Contemporary Asian Culture, New York. Cerpen New York After Midninght berkisah tentang tiga kota: Jember 1960, New Yok 1975, dan Surabaya 1983, lewat dia narator mengalami semacam dejavu, hadir di suatu tempat atau situasi pertama kali tapi terasa sudah pernah hadir atau mengalami sebelumnya.
Di samping sebagai dramawan, ia juga penyair. Puisinya banyak termuat di beberapa kumpulan puisi sastrawan Jawa Timur. Di antaranya beberapa kali puisinya termuat di buku kumpulan puisi dan geguritan “Malsasa” Malam Sastra Surabaya, terbitan Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) periode tahun 2005, 2007, dan 2009. Diat memang sang dramawan yang terkenal tidak hanya kota Surabaya saja, tapi juga di tingkat Nasional. Bukan itu saja, Diat juga penyair yang handal.
Terakhir kalinya, mulai Juli hingga November, Akhudiat melalui ‘Sanggar Merah Putih’ Surabaya, menggarap lakon “Skolah Skandal” karya dan sutradara Diat sendiri. Naskah dan lakon ini dipentaskan di Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, event Festival Seni Surabaya 2011; pada tanggal 3 November 2011. Para pemainnya di antaranya: Wina Bojonegoro, Deny Triariyani, Lennon Machali, Uyun Sri Wahyuni, Aming Aminoedhin, Desemba, Rara, Sri Lestari dan anaknya, Crysse; serta banyak lagi. Secara ringkas cerita itu bisa dibaca berikut ini:
Skolah Skandal
Karya dan Sutradara: Akhudiat
Alkisah seorang juragan kaya raya di negeri BOH—yang heboh suheboh – dikenal dengan panggilan ‘Ndoro Bunda’ tempat di mana segala orang minta bantuan dan utangan, dengan bunga ‘welasan sapai dupuluhan’ (bahkan kini hingga tiga puluhan, menurut sumber tak resmi dari kalangan ‘bank thithil’. Mulai pinjam ngijon arisan sampai kredit pupuk, dan bahan bakar minyak. Dan segala barang mahal milik orang se-negeri BOH, konon pernah ‘sekolah’ atau ‘parkir’ di rumah nDoro Bunda, gadai gelap, saingan pegadaian resmi Pemerintah.
Sang juragan nDoro Bunda itu bernama Maryamah, atau Wak Ayam Cawik, baru saja me-‘launching’ kompleks pergudangan baru di kawasan pantai utara, dan gedung serta rumah sakit Amanah Maryamah, tempat praktek aknya dokter Ginah, dan menantunya yang baru saja dapat gelar doktor-dokter. Asal muasalnya, bersama sang ‘misoa’, Wakde Balong, adalah dagang ayam kecil-kecilan, lesehan di tanah tanpa dasaran, di pojok Pasar Kliwon dan Pasar Klitikan.
Ndoro Bunda terkena pasal kriminal karena penyelundupan pupuk dari luar Jawa, dan divonis setahun untuk “sekolah” masuk bui, kandang-kebonya si Alsiponsi, kepala penjara BOH.
Juragan Bunda sanggup main atas main bawah. Dia membayar “joki narapidana” sebesar 10 juta ripis, untuk menghindari “sekolah” bui. Ketika mbok Wakdenya, Nyi Girah Tamsil, bezuk, sangat kaget bukan kepalang, ternyata di nomor sel “welasan” bukannya wajah cah-ayu Siyam Cawik, keponakannya, tetapi ‘praenan’ orang lain yang nongol mengaku sebagai Ndoro Bunda.
Nyik Girah berteriak, haibat, heboh suheboh, menghebohkan negeri BOH, bahkan se Indonesia Raya, karena baru kali ini ada skandal “joki narapidana.”
Bila tujuannya lembaga pemasyarakatan adalah “sekolah untuk adaptasi pesakitan kembali ke masyarakat”, Ndoro Bunda dengan jurus “Main atas main bawah” menjadikannya ke ambang tingkat tinggi “Sekolah Sekandal”
Para atasan dan atasannya atasan yang membikin “gemrengsengnya” dan “abang-ijonya” negeri BOH, semua terlibat dalam permainan Wak Ayam Cawik.
Ke mana Wakde Balong sang misoa? Dia sudah di maqomnya, asyik masyuk bersama kelompok “adem-ayem-tentrem-marem” mengaji Serat Hidayat Jati, Kyai Kanjeng Ngabehi Ronggowarsito. Amin............................!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
desaku Canggu, 21 November 2011
* ditulis kembali aming aminoedhin
Kamis, 04 Agustus 2011
OEMAR BAKRI BACA PUISI
Catatan: Aming Aminoedhin
Guru atau para pendidik, yang oleh Iwan Fals dipredikati sebagai Oemar Bakri, baik guru PAUD, TK, SD, SMP/SMA maupun para dosen; adalah sosok seorang yang selalu jadi panutan bagi para siswa dan mahasiswa. Semua yang diajarkan kepada para siswa dan mahasiswanya, selalu saja akan dijadikan semacam pembelajaran dan pengetahuan yang sangat berguna bagi mereka untuk menjalani hidup dan kehidupan ini.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, dalam rangka memeringati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2011; Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) bekerja sama dengan UPT Pendidikan dan Pengembangan Kesenian (Dikbangkes) – Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, memrakarsai kegiatan “Malam Sastra Bagi Guru” atau disingkat “Malsabaru 2011.”
Beberapa guru yang kreatif dalam penulisan sastra, khususnya puisi, memang kurang mempunyai wadah untuk berekspresi guna memasyarakatkan karya-karyanya. Sedangkan kegiatan ini, diharapkan mampu menjadi wadah berekspresi, sekaligus aktualisasi diri; bahwa guru tidak hanya mengajar di ruang kelas, tapi juga bisa tampil dalam forum sastra berskala Jawa Timur bertempat di kota Surabaya.
Kegiatan ini, di samping memberi apresiasi bagi guru yang selama ini telah menulis sastra, khususnya puisi/gurit, juga mengajak mereka untuk tampil dan diskusi dalam satu forum kegiatan baca puisi bagi guru seluruh Jawa Timur, bertajuk “Malam Sastra Bagi Guru atau Malsabaru” di UPT Pendidikan dan Pegembangan Kesenian, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur; juga merupakan sosialisasi sastra kepada para peserta didik, sekaligus masyarakat sastra Jawa Timur.
“Malsabaru 2011” ini dimaksudkan untuk memberi wadah kepada para guru kreatif yang menulis sastra, khususnya puisi/gurit, dan sekaligus memasyarakatkan dan meningkatkan apresiasi sastra, di kalangan guru, para siswa dan mahasiswanya yang akan ikut melihat tampilan para guru dan dosennya, membaca karya-karya mereka sendiri.
Kegiatan ini sekaligus ikut memeriahkan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2011 dan menunjukkan kepada masyarakat sastra, bahwa kota Surabaya dan Jawa Timur mempunyai kekhasan dalam mewadahi para guru berkreasi dan berekspresi, dengan cara membaca puisi dan geguritan (puisi berbahasa Jawa).
Ada pun para peserta Malam Sastra Bagi Guru (Malsabaru) 2011 yang diundang adalah para guru; baik PAUD, TK, SD, SMP, SMA, dan Dosen; atau penyair yang setidaknya pernah menjadi guru atau dosen di sebuah lembaga-lembaga sekolah tersebut.
Ucapan permohonan maaf tak terhingga jumlahnya, apabila tidak semua guru, dan penyair yang guru bisa terundang dalam acara Malsabaru 2011 ini. Itu hanyalah karena keterbatasan Panitia, guna mendapatkan referensi secara keseluruhan di seluruh Jawa Timur ini. Tapi itikad yang dipompakan (sebenarnya) adalah akan mengajak semua para guru kreatif, guna unjuk kebolehan menulis dan membaca sastra di depan publiknya.
Kekurangan dan kelemahan adalah sifat manusia, maka jika dalam penerbitan, penyelenggaraan pentas terasa kurang dan lemah, adalah wajar semata. Tapi puisi telah ditulis dengan matahati oleh para Oemar Bakri. Percayalah!
Ucapan terima kasih berjuta, kami sampaikan kepada semua rekan guru, dan penyair yang pernah jadi guru; yang telah ikut mendukung atas terbitnya buku ini.
Terakhir, kepada para Oemar Bakri, selamat untuk tampil membaca guritan dan puisi, yang dijadwalkan selepas Lebaran 2011 nanti. Saran dan kritik konstruktif bagi tumbuhkembangnya sastra, akan kami terima dengan tangan terbuka, dan hati membunga. Salam sastra!
4 Ramadhan 1432-H/4 Agustus 2011-M
Aming Aminoedhin, koordinator Malsabaru
Diposkan oleh aming a
Catatan: Aming Aminoedhin
Guru atau para pendidik, yang oleh Iwan Fals dipredikati sebagai Oemar Bakri, baik guru PAUD, TK, SD, SMP/SMA maupun para dosen; adalah sosok seorang yang selalu jadi panutan bagi para siswa dan mahasiswa. Semua yang diajarkan kepada para siswa dan mahasiswanya, selalu saja akan dijadikan semacam pembelajaran dan pengetahuan yang sangat berguna bagi mereka untuk menjalani hidup dan kehidupan ini.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, dalam rangka memeringati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2011; Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) bekerja sama dengan UPT Pendidikan dan Pengembangan Kesenian (Dikbangkes) – Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, memrakarsai kegiatan “Malam Sastra Bagi Guru” atau disingkat “Malsabaru 2011.”
Beberapa guru yang kreatif dalam penulisan sastra, khususnya puisi, memang kurang mempunyai wadah untuk berekspresi guna memasyarakatkan karya-karyanya. Sedangkan kegiatan ini, diharapkan mampu menjadi wadah berekspresi, sekaligus aktualisasi diri; bahwa guru tidak hanya mengajar di ruang kelas, tapi juga bisa tampil dalam forum sastra berskala Jawa Timur bertempat di kota Surabaya.
Kegiatan ini, di samping memberi apresiasi bagi guru yang selama ini telah menulis sastra, khususnya puisi/gurit, juga mengajak mereka untuk tampil dan diskusi dalam satu forum kegiatan baca puisi bagi guru seluruh Jawa Timur, bertajuk “Malam Sastra Bagi Guru atau Malsabaru” di UPT Pendidikan dan Pegembangan Kesenian, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur; juga merupakan sosialisasi sastra kepada para peserta didik, sekaligus masyarakat sastra Jawa Timur.
“Malsabaru 2011” ini dimaksudkan untuk memberi wadah kepada para guru kreatif yang menulis sastra, khususnya puisi/gurit, dan sekaligus memasyarakatkan dan meningkatkan apresiasi sastra, di kalangan guru, para siswa dan mahasiswanya yang akan ikut melihat tampilan para guru dan dosennya, membaca karya-karya mereka sendiri.
Kegiatan ini sekaligus ikut memeriahkan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2011 dan menunjukkan kepada masyarakat sastra, bahwa kota Surabaya dan Jawa Timur mempunyai kekhasan dalam mewadahi para guru berkreasi dan berekspresi, dengan cara membaca puisi dan geguritan (puisi berbahasa Jawa).
Ada pun para peserta Malam Sastra Bagi Guru (Malsabaru) 2011 yang diundang adalah para guru; baik PAUD, TK, SD, SMP, SMA, dan Dosen; atau penyair yang setidaknya pernah menjadi guru atau dosen di sebuah lembaga-lembaga sekolah tersebut.
Ucapan permohonan maaf tak terhingga jumlahnya, apabila tidak semua guru, dan penyair yang guru bisa terundang dalam acara Malsabaru 2011 ini. Itu hanyalah karena keterbatasan Panitia, guna mendapatkan referensi secara keseluruhan di seluruh Jawa Timur ini. Tapi itikad yang dipompakan (sebenarnya) adalah akan mengajak semua para guru kreatif, guna unjuk kebolehan menulis dan membaca sastra di depan publiknya.
Kekurangan dan kelemahan adalah sifat manusia, maka jika dalam penerbitan, penyelenggaraan pentas terasa kurang dan lemah, adalah wajar semata. Tapi puisi telah ditulis dengan matahati oleh para Oemar Bakri. Percayalah!
Ucapan terima kasih berjuta, kami sampaikan kepada semua rekan guru, dan penyair yang pernah jadi guru; yang telah ikut mendukung atas terbitnya buku ini.
Terakhir, kepada para Oemar Bakri, selamat untuk tampil membaca guritan dan puisi, yang dijadwalkan selepas Lebaran 2011 nanti. Saran dan kritik konstruktif bagi tumbuhkembangnya sastra, akan kami terima dengan tangan terbuka, dan hati membunga. Salam sastra!
4 Ramadhan 1432-H/4 Agustus 2011-M
Aming Aminoedhin, koordinator Malsabaru
Diposkan oleh aming a
Senin, 01 Agustus 2011
kibar ultah kelima
KOMUNITAS KIBAR TERUS BERKIBARLAH!**
Catatan oleh: Aming Aminoedhin*)
Berbicara soal komunitas sastra di Surabaya dan Jawa Timur, barangkali tidak banyak jumlahnya. Namun jika saja mau mencatat, ternyata masih saja ada dan tetap berlangsung kegiatannya. Keberlangsungan komunitas itu memang tidak secara kontinyu bertemu, tapi komunitas itu muncul dengan cara menerbitkan buku sastra, baik kumpulan cerpen atau puisi. Hal ini untuk membuktikan bahwa komunitas sastranya tetap ada.
Beberapa komunitas tersebut tersebar di berbagai kota, dengan komunitas sastranya masing-masing. Baik sastra Indonesia maupun Jawa. Seperti misalnya komunitas sastra Indonesia, tercatat nama Forum Apresiasi Sastra Surabaya (FASS), Bengkel Muda Surabaya (BMS), Forum Apresiasi Sastra Mojokerto (Forasamo), Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela), Komunitas Sastra dan Teater Persada (Ngawi), Komunitas Lembah Pring (Jombang), Surabaya Poetry Community (Surabaya), Forum Studi Sastra Seni Luar Pagar (FS3LP) – Unair (Surabaya), Sanggar Sastra SD Jombatan (Jombang), Komunitas Sastra Esok (Sidoarjo), Komunitas Sastra Rabo Sore – Unesa (Surabaya), Komunitas Alam Ruang Sastra (ARS) Sidoarjo, Komunitas Pondok Kopi Pacet (Mojokerto), dan mungkin masih banyak lagi. Sementara itu, komunitas sastra Jawa, tercatat nama Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) yang bergerak di sastra Jawa dan Indonesia (Surabaya), Sanggar Sastra Jawa Parikuning (Genteng, Banyuwangi), dan Sanggar Sastra Jawa Triwida (Tulungagung, Blitar, dan Trenggalek), dan mungkin masih ada lagi.
Festival Sastra Sidoarjo
Kota Sidoarjo punya slogan yang mengatakan adalah sebagai kota festival. Tapi kapan ada festival sastra? Apabila bicara soal sastrawan, banyak sastrawannya domisili di Sidoarjo. Sebut saja nama: Rusdi Zaki, Leres Budi Santosa, Widodo Basuki, R. Giryadi, Lan Fang, dan mungkin masih banyak lagi.
Sedangkan komunitas sastra dan teaternya, ada : Komunitas Sastra Kibar, Alam Ruang Sastra (ARS) Sidoarjo, lantas ada Teater Gedeg, Teater Kibar, Teater SMAN 1, Taeter Kalam, dan banyak lagi. Beberapa nama yang jadi motivatornya semua ini, antara lain: Bhen Mul Wae alias Mulyono Muksim, Fathur ER, Zabid WS, Syarifudin Miftah, Gepeng Shodikin, Endang ‘Guru’ Kusinati, Yani ‘Guru Senopati’ Setyowati, Siti Muntadiroh, dan beberapa nama lainnya.
Juli 2010 lalu, komunitas ARS menerbitkan buku antologi puisi bertajuk ‘Gemuruh Sunyi’ yang di dalamnya memuat puisi-puisi berbahasa Indoinesia dan Jawa. Beberapa nama penyair muda puisinya termuat di buku itu, antara lain: Zabid WS, Fathur ER, Bhen Mul Wae, Syarifudin Miftah, Endang Kusniati, Yani Sulistyawati, Masyuns, Achmad Masud Hadi, Nur Rohmania, Joko Jambul, Azizun, dan Tia Ma. Tak ketinggalan pula puisi dari Bupati Sidoarjo waktu itu, Wien Hendarso, dan Ketua Dewan Kesenian Sidoarjo, HM Rochani
.
Komunitas Kibar Sidoarjo
Selain komunitas ARS yang cukup banyak anggotanya, ada juga komunitas sastra teater lainnya, bernama Kibar. Konon, kibar berasal dari akronim ‘ kita bareng-bareng atau kita bersama-sama.”
Sungguh sebuah nama komunitas yang sangat sederhana, tapi tidak sesederhana kiprahnya di ajang sastra teater di kota festival, bernama Sidoarjo ini. Mengapa tidak sederhana? Karena setiap derap-langkahnya, tetap bernafaskan seni sastra dan teater.
Menurut catatan dari rekan-rekan Kibar komunitas ini, berawal dari keresahan yang dirasakan bersama rekan-rekan seniman se angkatan (punya usia rata-rata hampir sama, dari 17 hingga 27-an tahun) yang punya obsesi agar sehabis belajar di sekolah formal, mereka mengadakan semacam latihan kesenian. Baik itu seni sastra, teater atau baca dan musikalisasi puisi.
Rekan-rekan yang yang punya keresahan yang sama itu, kemudian secara bersama-sama pula membentuk wadah bernama “Kibar” yang pada waktu itu masih banyak beberapa rekan dari anggota Teater Kalam – MAN Sidoarjo. Secara tanggal lahir komunitas Kibar ini adalah tanggal 29 Juni 2006. Ini berarti bahwa komunitas ini berusia lima tahun lebih. Hebat Bukan?
Beberapa kali komunitas ini bertemu, belatih, dan kemudian berpentas. Jika mau mencatat, komunitas Kibar pernah tampil dalam pementasan teater, ludruk, musikalisasi puisi, dan kerap kali bergandengan dengan ARS (Alam Ruang Sastra) menggarap sebuah kegiatan sastra, seperti Peringatan Hari Sastra “Chairil Anwar” seperti bulan April 2011 lalu.
Kibar adalah sebagai wadah kreativitas anak-anak muda Sisoarjo, telah bersama-sama untuk bergerak dalam ranah kesenian, dan mencoba menyapa dunia dengan mewujudkan eksistensinya dalam berkarya. Kibar juga banyak mendampingi sekolah-sekolah Negeri dan Swasta di wilayah Sidoarjo guna memberikan masukan-masukan kreatif, positif, bahkan komptetitif.
Dalam perjalanan awalnya Kibar tidak hanya mampu menarik perhatian para penggiat seni, melainkan juga mampu menumbuhkan semangat berkarya pada beberapa kelompok seni lain, khususnya di kalangan pelajar. Pentas perdana Kibar, yakni pertunjukan taeter bertajuk ‘Rempuh’ tahun 2006 di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo; merupakan titik tumpu guna terrus melaju.
Selain itu Kibar juga pernah menyandang juara beberapa Festival Musikalisasi Puisi di Tingkat Provinsi Jawa Timur. Pernah pula menjadi kelompok ludruk tunggal yang didelegasikan langsung oleh Pemerintah Sidoarjo (2007) untuk mewakili daerah, yang kemudian komunitas ini mampu masuk dalam kategori Terbaik se-Jawa Timur , ketika tampil pentas di Taman Krida Budaya, Malang.
Demikian prestasi yang pernah disandang komunitas Kibar, disamping ada pula para awaknya/anggotanya punya prestasi yang lain. Catat saja misalnya: nama Fathur ER, naskah drama yang ditulisnya berhasil masuk dalam nominasi naskah drama Terbaik se-Jatim. Ia juga pernah menjadi juara lomba baca puisi sekaligus pernah menyutradarai drama yang meraih predikat penyaji terbaik pada Festival Teater Remaja di Taman Budaya Jatim. Lantas nama lain ada: M Zainul, sebagai pemenang lomba baca puisi tingkat remaja Terbaik se-Jawa Timur yang diadakan oleh Teater “Q” IAIN Surabaya; lantas Ghepenk, pernah membawa komunitas ini menjuarai lomba musikalisasi puisi Tingkat Jawa Timur; M. Shodikin : pernah menjuarai lomba musikalisasi puisi tingkat Jatim, dan kemudian Joko Dwi: pernah membuat antologi sendiri; serta Yeni, meraih gelar aktris terbaik dalam lomba drama remaja, dan masih banyak lagi.
Jika mau mencatat aktivitas Kibar lainnya, beberapa waktu lalu, ketika ARS punya gawe mau tampil di acara “Padhang Rembulan”-nya UPT Dikbangkes – Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur; sebagian besar personal yang ikut tampil adalah anak-anak komunitas Kibar. Sebut saja: Fatchur, Ghepenk, Endang Kusinati, Yani Setyowti, Muntadiroh, dan banyak lagi.
Ketika itu, mereka menggarap puisi-puisi saya, antara lain: Cerita Nabi Nuh dan Cerita-Cerita Khayal Yang Jauh, Di Mana Mereka Sekolah, dan Akulah Itu yang Diam, ketiganya karya Aming Aminoedhin.
Harmonisasi musik, gerak, nyanyi, dan baca puisi dalam tampilan musikalisasi puisi komunitas ARS yang di dalamnya banyak rekan Kibar sore itu, memang telah mengelaborasikan dengan sempurna. Terbukti ketika mereka tampil, mendapat tepuk tangan audiens yang kebanyakan adalah para pelajar cukup menggemuruh. Ini membuktikan bahwa mereka (audiens) cukup puas dengan tampilan mereka.
Semua yang telah dilakukan rekan-rekan Kibar memang sudah cukup banyak, tapi bukan berarti lantas tak lagi berkiprah lagi. Tapi teruslah selalu berkibar, meski mungkin hanya sebatas membuat compact disc (CD) musikalisasi. Tapi ini sebuah kerja bersama yang banyak kendala dan tantangan, di samping mungkin perlu pula kesabaran dan kesungguhan dalam menggarapnya. Selamat atas CD Musikalisasi Puisinya!
Melihat dari dekat komunitas Kibar, barangkali memang ada yang punya satu nama, mengikuti dua komunitas, yaitu ARS dan Kibar. Tapi tak apa! Itu tidak juga haram! Itu malah merupakan kreativitas bagi seseorang yang tak mau lelah untuk terus berkarya. Atau sebut saja, agar derap langkah berkesenian terus saja berjalan. Apa pun namanya, itu tidak penting. Yang terpenting, mau berkiprah dan melangkah!
Penutup
Melihat perkembangan komunitas sastra teater di Jawa Timur memang tak banyak jumlahnya. Dari yang tidak banyak itu, banyak juga yang kini tak ada kedengaran aktivitasnya. Sebut saja: FASS, Forasamo, PS3LP-Unair, PPSJS, Persada Ngawi, Komunitas SD Djombatan Jombang, dan mungkin masih banyak lagi.
Harapan yang harus selalu saya pompakan adalah bagaimana komunitas ini terus berderap, melangkah, dan kemudian pentas dengan indah. Sedangkan masyarakat penontonnya teopuk tangan meriah! Selamat berultah Kibar! Teruslah untuk selalu berkibar! Layaknya mentari pagi bersinar! Salam budaya!
Siwalanpanji, 17 Juli 2011
Catatan oleh: Aming Aminoedhin*)
Berbicara soal komunitas sastra di Surabaya dan Jawa Timur, barangkali tidak banyak jumlahnya. Namun jika saja mau mencatat, ternyata masih saja ada dan tetap berlangsung kegiatannya. Keberlangsungan komunitas itu memang tidak secara kontinyu bertemu, tapi komunitas itu muncul dengan cara menerbitkan buku sastra, baik kumpulan cerpen atau puisi. Hal ini untuk membuktikan bahwa komunitas sastranya tetap ada.
Beberapa komunitas tersebut tersebar di berbagai kota, dengan komunitas sastranya masing-masing. Baik sastra Indonesia maupun Jawa. Seperti misalnya komunitas sastra Indonesia, tercatat nama Forum Apresiasi Sastra Surabaya (FASS), Bengkel Muda Surabaya (BMS), Forum Apresiasi Sastra Mojokerto (Forasamo), Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela), Komunitas Sastra dan Teater Persada (Ngawi), Komunitas Lembah Pring (Jombang), Surabaya Poetry Community (Surabaya), Forum Studi Sastra Seni Luar Pagar (FS3LP) – Unair (Surabaya), Sanggar Sastra SD Jombatan (Jombang), Komunitas Sastra Esok (Sidoarjo), Komunitas Sastra Rabo Sore – Unesa (Surabaya), Komunitas Alam Ruang Sastra (ARS) Sidoarjo, Komunitas Pondok Kopi Pacet (Mojokerto), dan mungkin masih banyak lagi. Sementara itu, komunitas sastra Jawa, tercatat nama Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) yang bergerak di sastra Jawa dan Indonesia (Surabaya), Sanggar Sastra Jawa Parikuning (Genteng, Banyuwangi), dan Sanggar Sastra Jawa Triwida (Tulungagung, Blitar, dan Trenggalek), dan mungkin masih ada lagi.
Festival Sastra Sidoarjo
Kota Sidoarjo punya slogan yang mengatakan adalah sebagai kota festival. Tapi kapan ada festival sastra? Apabila bicara soal sastrawan, banyak sastrawannya domisili di Sidoarjo. Sebut saja nama: Rusdi Zaki, Leres Budi Santosa, Widodo Basuki, R. Giryadi, Lan Fang, dan mungkin masih banyak lagi.
Sedangkan komunitas sastra dan teaternya, ada : Komunitas Sastra Kibar, Alam Ruang Sastra (ARS) Sidoarjo, lantas ada Teater Gedeg, Teater Kibar, Teater SMAN 1, Taeter Kalam, dan banyak lagi. Beberapa nama yang jadi motivatornya semua ini, antara lain: Bhen Mul Wae alias Mulyono Muksim, Fathur ER, Zabid WS, Syarifudin Miftah, Gepeng Shodikin, Endang ‘Guru’ Kusinati, Yani ‘Guru Senopati’ Setyowati, Siti Muntadiroh, dan beberapa nama lainnya.
Juli 2010 lalu, komunitas ARS menerbitkan buku antologi puisi bertajuk ‘Gemuruh Sunyi’ yang di dalamnya memuat puisi-puisi berbahasa Indoinesia dan Jawa. Beberapa nama penyair muda puisinya termuat di buku itu, antara lain: Zabid WS, Fathur ER, Bhen Mul Wae, Syarifudin Miftah, Endang Kusniati, Yani Sulistyawati, Masyuns, Achmad Masud Hadi, Nur Rohmania, Joko Jambul, Azizun, dan Tia Ma. Tak ketinggalan pula puisi dari Bupati Sidoarjo waktu itu, Wien Hendarso, dan Ketua Dewan Kesenian Sidoarjo, HM Rochani
.
Komunitas Kibar Sidoarjo
Selain komunitas ARS yang cukup banyak anggotanya, ada juga komunitas sastra teater lainnya, bernama Kibar. Konon, kibar berasal dari akronim ‘ kita bareng-bareng atau kita bersama-sama.”
Sungguh sebuah nama komunitas yang sangat sederhana, tapi tidak sesederhana kiprahnya di ajang sastra teater di kota festival, bernama Sidoarjo ini. Mengapa tidak sederhana? Karena setiap derap-langkahnya, tetap bernafaskan seni sastra dan teater.
Menurut catatan dari rekan-rekan Kibar komunitas ini, berawal dari keresahan yang dirasakan bersama rekan-rekan seniman se angkatan (punya usia rata-rata hampir sama, dari 17 hingga 27-an tahun) yang punya obsesi agar sehabis belajar di sekolah formal, mereka mengadakan semacam latihan kesenian. Baik itu seni sastra, teater atau baca dan musikalisasi puisi.
Rekan-rekan yang yang punya keresahan yang sama itu, kemudian secara bersama-sama pula membentuk wadah bernama “Kibar” yang pada waktu itu masih banyak beberapa rekan dari anggota Teater Kalam – MAN Sidoarjo. Secara tanggal lahir komunitas Kibar ini adalah tanggal 29 Juni 2006. Ini berarti bahwa komunitas ini berusia lima tahun lebih. Hebat Bukan?
Beberapa kali komunitas ini bertemu, belatih, dan kemudian berpentas. Jika mau mencatat, komunitas Kibar pernah tampil dalam pementasan teater, ludruk, musikalisasi puisi, dan kerap kali bergandengan dengan ARS (Alam Ruang Sastra) menggarap sebuah kegiatan sastra, seperti Peringatan Hari Sastra “Chairil Anwar” seperti bulan April 2011 lalu.
Kibar adalah sebagai wadah kreativitas anak-anak muda Sisoarjo, telah bersama-sama untuk bergerak dalam ranah kesenian, dan mencoba menyapa dunia dengan mewujudkan eksistensinya dalam berkarya. Kibar juga banyak mendampingi sekolah-sekolah Negeri dan Swasta di wilayah Sidoarjo guna memberikan masukan-masukan kreatif, positif, bahkan komptetitif.
Dalam perjalanan awalnya Kibar tidak hanya mampu menarik perhatian para penggiat seni, melainkan juga mampu menumbuhkan semangat berkarya pada beberapa kelompok seni lain, khususnya di kalangan pelajar. Pentas perdana Kibar, yakni pertunjukan taeter bertajuk ‘Rempuh’ tahun 2006 di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo; merupakan titik tumpu guna terrus melaju.
Selain itu Kibar juga pernah menyandang juara beberapa Festival Musikalisasi Puisi di Tingkat Provinsi Jawa Timur. Pernah pula menjadi kelompok ludruk tunggal yang didelegasikan langsung oleh Pemerintah Sidoarjo (2007) untuk mewakili daerah, yang kemudian komunitas ini mampu masuk dalam kategori Terbaik se-Jawa Timur , ketika tampil pentas di Taman Krida Budaya, Malang.
Demikian prestasi yang pernah disandang komunitas Kibar, disamping ada pula para awaknya/anggotanya punya prestasi yang lain. Catat saja misalnya: nama Fathur ER, naskah drama yang ditulisnya berhasil masuk dalam nominasi naskah drama Terbaik se-Jatim. Ia juga pernah menjadi juara lomba baca puisi sekaligus pernah menyutradarai drama yang meraih predikat penyaji terbaik pada Festival Teater Remaja di Taman Budaya Jatim. Lantas nama lain ada: M Zainul, sebagai pemenang lomba baca puisi tingkat remaja Terbaik se-Jawa Timur yang diadakan oleh Teater “Q” IAIN Surabaya; lantas Ghepenk, pernah membawa komunitas ini menjuarai lomba musikalisasi puisi Tingkat Jawa Timur; M. Shodikin : pernah menjuarai lomba musikalisasi puisi tingkat Jatim, dan kemudian Joko Dwi: pernah membuat antologi sendiri; serta Yeni, meraih gelar aktris terbaik dalam lomba drama remaja, dan masih banyak lagi.
Jika mau mencatat aktivitas Kibar lainnya, beberapa waktu lalu, ketika ARS punya gawe mau tampil di acara “Padhang Rembulan”-nya UPT Dikbangkes – Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur; sebagian besar personal yang ikut tampil adalah anak-anak komunitas Kibar. Sebut saja: Fatchur, Ghepenk, Endang Kusinati, Yani Setyowti, Muntadiroh, dan banyak lagi.
Ketika itu, mereka menggarap puisi-puisi saya, antara lain: Cerita Nabi Nuh dan Cerita-Cerita Khayal Yang Jauh, Di Mana Mereka Sekolah, dan Akulah Itu yang Diam, ketiganya karya Aming Aminoedhin.
Harmonisasi musik, gerak, nyanyi, dan baca puisi dalam tampilan musikalisasi puisi komunitas ARS yang di dalamnya banyak rekan Kibar sore itu, memang telah mengelaborasikan dengan sempurna. Terbukti ketika mereka tampil, mendapat tepuk tangan audiens yang kebanyakan adalah para pelajar cukup menggemuruh. Ini membuktikan bahwa mereka (audiens) cukup puas dengan tampilan mereka.
Semua yang telah dilakukan rekan-rekan Kibar memang sudah cukup banyak, tapi bukan berarti lantas tak lagi berkiprah lagi. Tapi teruslah selalu berkibar, meski mungkin hanya sebatas membuat compact disc (CD) musikalisasi. Tapi ini sebuah kerja bersama yang banyak kendala dan tantangan, di samping mungkin perlu pula kesabaran dan kesungguhan dalam menggarapnya. Selamat atas CD Musikalisasi Puisinya!
Melihat dari dekat komunitas Kibar, barangkali memang ada yang punya satu nama, mengikuti dua komunitas, yaitu ARS dan Kibar. Tapi tak apa! Itu tidak juga haram! Itu malah merupakan kreativitas bagi seseorang yang tak mau lelah untuk terus berkarya. Atau sebut saja, agar derap langkah berkesenian terus saja berjalan. Apa pun namanya, itu tidak penting. Yang terpenting, mau berkiprah dan melangkah!
Penutup
Melihat perkembangan komunitas sastra teater di Jawa Timur memang tak banyak jumlahnya. Dari yang tidak banyak itu, banyak juga yang kini tak ada kedengaran aktivitasnya. Sebut saja: FASS, Forasamo, PS3LP-Unair, PPSJS, Persada Ngawi, Komunitas SD Djombatan Jombang, dan mungkin masih banyak lagi.
Harapan yang harus selalu saya pompakan adalah bagaimana komunitas ini terus berderap, melangkah, dan kemudian pentas dengan indah. Sedangkan masyarakat penontonnya teopuk tangan meriah! Selamat berultah Kibar! Teruslah untuk selalu berkibar! Layaknya mentari pagi bersinar! Salam budaya!
Siwalanpanji, 17 Juli 2011
REUNI SASTRA MESEN 1977
Sketsa Reuni Anak Sastra Mesen 1977
BEDAH BUKU ”CANDIK ALA 1965”
DI BALAI SOEDJATMOKO SALA
Sungguh, sebuah kemahadahsyatan Allah SWT memanglah tak tertandingi. Betapa tidak? Tanpa disangka-sangka waktu bersahabat dengan kami semua, anak-anak mahasiswa Falutas Sastra – UNS 11 Maret – angkatan 1977, bisa bertemu sua kembali.
Berpuluh tahun kami tak bertemu, dan ketika seorang kawan bernama Tinuk R. Yampolsky menggelar bedah bukunya “Candik Ala 1965”; tiba-tiba kami seakan tersedot untuk melangkah menggerakkan kaki-kaki bergairah, bersepakat untuk datang sebagai penggembira di acara sederhana, tapi ternyata tak sederhana itu.
Pembicara dalam bedah buku itu adalah Sapardi Djoko Damono, yang kemudian seakan menjadi magnet tersendiri bagi kami semua untuk berjumpa. Silaturahim, kata banyak orang, memperpanjang umur dan mendatangkan rejeki tiada terduga. Dan niat silaturahim itulah, yang kami semua mengemas dalam bingkai reuni mahasiswa sastra Mesen, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Meski tak semuanya anak-anak sastra Indonesia, sebab ada Kristanta (Fakultas Teknik) dan ada Kuncahyono (sastra Inggris), tapi kegairahan pertemuan sungguh menakjubkan. Sedangkan mereka yang hadir itu: Listyawatie Sulistyo (Watiek), Hari Dwi Utomo (Hari), Bachrul Ulum Zuhri (Bachrul), Minto Rahayu (Yayuk), M. Amir Tohar (Aming), Budi Wijayani (Budi), Wieranta (Pakde Wier), Kintarsih Kartika Purbayani (Kintarsih), Tinuk Rosalia Yampolsky (Tinuk) yang bukunya dibedah, Widyarni (Wiwied), dan Kuncahyono (Si Kun dari Wonosobo).
Beberapa kawan yang lain: Pudji Isdriyani, Murtini, Markamah, Royswan Isgandi, Sugino, Engkon, Ujang Sutedjo, Dadiyo, Farida Rohyuli Hardiyanti, Prasanti Handayani, Saudah, Junaidi Haes, Wulan Dwiyanti, dan Ratna, tak bisa hadir. Barangkali mereka semua lagi sibuk dengan pekerjaannya, atau mungkin lagi gundah melihat negeri ini? Atau bisa juga tak mendengar kabar yang menyenangkan ini?
Pertemuan yang terselenggara di Balai Soedjatmoko, Toko Buku Gramedia - Jalan Slamet Riyadi - Surakarta itu; 24 Juli 2011 malam; berlangsung sukses.
Ucapaan terima kasih tak terhingga jumlahnya, tentu akan kita tujukan kepada Tuhan YME, lantas Tinuk yang punya gawe, dan Watiek Sulistyo yang tak lelah memompakan pentingnya temu-sua itu. Watiek memang EO-nya acara. Sehingga harus diberi reward jempol sebanyak-banyaknya!
Lantas, setelah itu, kami semua rame-rame ke warung wedangan yang biasa kita sebut bernama HIK (Hidangan Istimewa Kampung)-nya Kemin di sekitar Monumen Pers Nasional, Jalan Yosodipuro, Sala.
Duh..... betapa nikmatnya, ketika minum kopi dan makan tempe-tahu bacem yang dibakar oleh Kemin. Tentunya, sambil bercerita tentang indahnya ketika kuliah di bawah tanjung Mesen yang memberi berjuta inspirasi menulis puisi itu. Cerita juga tentang kawan-kawan yang kini tak lagi terdengar juntrungnya ke mana? Atau cerita-cerita lucu yang dikemas dari rumah, termasuk anak-anak mereka yang kini mulai sekolah atau kuliah!
Sungguh pertemuan yang menyejukkan! Sekali-kali, memang perlu, ada pertemuan semacam ini. Pertanyaan yang kemudian muncul, kapan akan diadakan lagi?
Sebuah tanya yang barangkali teman-teman yang akan bisa menjawabnya! Atau barangkali Bachrul akan mengundang kami semua ke Yogya? Ah..... betapa senangnya!
Terakhir, terima kasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan kembali kawan-kawan kami yang tetap setia dengan sastra. Apa pun maknanya, berapa pun kadar kesastraannya! Terima kasih, Tuhan!***(Aming Aminoedhin)
BEDAH BUKU ”CANDIK ALA 1965”
DI BALAI SOEDJATMOKO SALA
Sungguh, sebuah kemahadahsyatan Allah SWT memanglah tak tertandingi. Betapa tidak? Tanpa disangka-sangka waktu bersahabat dengan kami semua, anak-anak mahasiswa Falutas Sastra – UNS 11 Maret – angkatan 1977, bisa bertemu sua kembali.
Berpuluh tahun kami tak bertemu, dan ketika seorang kawan bernama Tinuk R. Yampolsky menggelar bedah bukunya “Candik Ala 1965”; tiba-tiba kami seakan tersedot untuk melangkah menggerakkan kaki-kaki bergairah, bersepakat untuk datang sebagai penggembira di acara sederhana, tapi ternyata tak sederhana itu.
Pembicara dalam bedah buku itu adalah Sapardi Djoko Damono, yang kemudian seakan menjadi magnet tersendiri bagi kami semua untuk berjumpa. Silaturahim, kata banyak orang, memperpanjang umur dan mendatangkan rejeki tiada terduga. Dan niat silaturahim itulah, yang kami semua mengemas dalam bingkai reuni mahasiswa sastra Mesen, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Meski tak semuanya anak-anak sastra Indonesia, sebab ada Kristanta (Fakultas Teknik) dan ada Kuncahyono (sastra Inggris), tapi kegairahan pertemuan sungguh menakjubkan. Sedangkan mereka yang hadir itu: Listyawatie Sulistyo (Watiek), Hari Dwi Utomo (Hari), Bachrul Ulum Zuhri (Bachrul), Minto Rahayu (Yayuk), M. Amir Tohar (Aming), Budi Wijayani (Budi), Wieranta (Pakde Wier), Kintarsih Kartika Purbayani (Kintarsih), Tinuk Rosalia Yampolsky (Tinuk) yang bukunya dibedah, Widyarni (Wiwied), dan Kuncahyono (Si Kun dari Wonosobo).
Beberapa kawan yang lain: Pudji Isdriyani, Murtini, Markamah, Royswan Isgandi, Sugino, Engkon, Ujang Sutedjo, Dadiyo, Farida Rohyuli Hardiyanti, Prasanti Handayani, Saudah, Junaidi Haes, Wulan Dwiyanti, dan Ratna, tak bisa hadir. Barangkali mereka semua lagi sibuk dengan pekerjaannya, atau mungkin lagi gundah melihat negeri ini? Atau bisa juga tak mendengar kabar yang menyenangkan ini?
Pertemuan yang terselenggara di Balai Soedjatmoko, Toko Buku Gramedia - Jalan Slamet Riyadi - Surakarta itu; 24 Juli 2011 malam; berlangsung sukses.
Ucapaan terima kasih tak terhingga jumlahnya, tentu akan kita tujukan kepada Tuhan YME, lantas Tinuk yang punya gawe, dan Watiek Sulistyo yang tak lelah memompakan pentingnya temu-sua itu. Watiek memang EO-nya acara. Sehingga harus diberi reward jempol sebanyak-banyaknya!
Lantas, setelah itu, kami semua rame-rame ke warung wedangan yang biasa kita sebut bernama HIK (Hidangan Istimewa Kampung)-nya Kemin di sekitar Monumen Pers Nasional, Jalan Yosodipuro, Sala.
Duh..... betapa nikmatnya, ketika minum kopi dan makan tempe-tahu bacem yang dibakar oleh Kemin. Tentunya, sambil bercerita tentang indahnya ketika kuliah di bawah tanjung Mesen yang memberi berjuta inspirasi menulis puisi itu. Cerita juga tentang kawan-kawan yang kini tak lagi terdengar juntrungnya ke mana? Atau cerita-cerita lucu yang dikemas dari rumah, termasuk anak-anak mereka yang kini mulai sekolah atau kuliah!
Sungguh pertemuan yang menyejukkan! Sekali-kali, memang perlu, ada pertemuan semacam ini. Pertanyaan yang kemudian muncul, kapan akan diadakan lagi?
Sebuah tanya yang barangkali teman-teman yang akan bisa menjawabnya! Atau barangkali Bachrul akan mengundang kami semua ke Yogya? Ah..... betapa senangnya!
Terakhir, terima kasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan kembali kawan-kawan kami yang tetap setia dengan sastra. Apa pun maknanya, berapa pun kadar kesastraannya! Terima kasih, Tuhan!***(Aming Aminoedhin)
Minggu, 24 April 2011
REMBUGAN KBJ V SURABAYA
REMBUGAN KBJ V DARI HATI KE HATI
Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS)
Menurut agenda kegiatan 2011, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur, ketiban sampur, jadi penyelenggara Kongres Bahasa Jawa (KBJ) V. Konon, akan diselenggarakan di kota Surabaya. Tapi adakah sudah dipersiapkan uba-rampe, sarana dan prasarana, kegiatan adanya kongres yang berskala besar itu? Saya tidak tahu persis akan hal ini. Seorang kawan di PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), Bonari Nabonenar, sang ketuanya, bahkan katanya tidak diundang pada rapat awal persiapan KBJ V nanti.
Majalah Bahasa Jawa
Dalam perjalanan panjang sebagai penulis, berkali sudah saya menjadi juri lomba baca dan tulis geguritan, yang menggunakan media bahasa Jawa. Sebut saja tahun lalu, 2009, bertempat di Museum Mpu Tantular, dalam rangka menggelar Festival Tantular. Ada lebih 100 pelajar (laki-laki dan perempuan) se-Jawa Timur, yang menjadi peserta lomba ini. Lantas ada pula kegiatan yang diselenggarakan Dinas Pariwisata & Kebudayaan, Dinas Pendidikan Surabaya, kerja sama Kalawarti Basa Jawa ‘Jaya Baya’ di Cak DurasimTaman Budaya Jawa Timur; juga diikuti lebih dari 100 pelajar (laki-laki+perempuan) se-Kota Surabaya.
Contoh lain yang agak mengagetkan, ketika buku saya yang penerbitannya secara swadana, dan tercetak hanya sekitar 300 eksemplar, bertajuk “Tanpa Mripat” ‘kumpulan geguritan gagrag anyar’ terjual ludes, meski hanya melalui acara ceramah-ceramah sastra saya yang sangat insidentil. Kumpulan geguritan (puisi berbahasa Jawa) tersebut, ternyata mendapatkan respons positif pada masyarakat sastra Jawa di Jawa Timur.
Hal yang sama juga dilakukan oleh penggurit Widodo Basuki, ketika berceramah di depan para guru, mahasiswa, dan siswa; dia selalu menjual kumpulan guritannya ‘Layang Saka Paran’ dan ‘Meditasi Alang-Alang.’ Menurut Widodo, diistilahkan ngamen ceramah sekaligus jualan buku gurit, ternyata juga laku. Lumayan, katanya, kampanye sastra Jawa dan jualan bukunya.
Dari kegiatan tersebut di atas, membuktikan bahwa minat pelajar di Surabaya dan Jawa Timur masih cukup antusias pada sastra Jawa. Hal ini menepis anggapan adanya asumsi yang mengatakan bahwa sastra Jawa telah terpinggirkan. Menepis pula anggapan bahwa program “Java Days” (berbahasa Jawa) yang dilakukan sekolah-sekolah di Surabaya tidak efektif. Meski agak ironis memang, penamaan program sehari berbahasa Jawa di sekolah-sekolah Surabaya, dengan bertajuk “Java Days” yang menggunakan bahasa Inggris itu. Ironis!
Terlepas dari persoalan di atas, bahwa minat masyarakat Surabaya dan Jawa Timur terhadap sastra Jawa masih tergolong cukup lumayan, jika tidak boleh dikatakan cukup banyak. Lebih lagi, jika mengingat bahwa hanya di kota Surabaya-lah, yang masih tetap ada penerbitan malah berbahasa Jawa, dengan persebaran pembacanya hingga luar Jawa. Sungguh sebuah prestasi pelestarian bahasa Jawa yang perlu diacungi dua jempol sekaligus. Dua majalah berbahasa Jawa tersebut adalah “Panjebar Semangat” dan “Jaya Baya” yang hingga kini masih terbit, setiap minggunya.
Bonari dan Keliek Eswe
Persiapan menyongsong Kongres Bahasa Jawa (KBJ) V di kota Surabaya yang dijadwalkan akan dilangsungkan 2011 nanti, hingga kini belum terdengar grengseng (gairah)-nya. Setidaknya kegiatan-kegiatan yang mengarah ke persoalan masalah bahasa dan sastra Jawa. Misalnya saja, semacam lomba-lomba penulis sastra Jawa, lomba baca dan tulis gurit, macapat, tembang, dan lain sebagainya.
Persoalan lain yang tak kalah pentingnya, seharusnyalah Panitia KBJ V melibatkan para praktisi sastra Jawa yang setia menulis sastra Jawa, dalam mempersiapkan KBJ V nanti. Mereka itu seperti; Djajus Pete, JFX Hoery, Suparto Brata, Bonari Nabonenar, Keliek Eswe, Sunarko Sodrun Budiman, Budi Palopo, Sumono Sandy Asmoro, Suharmono Kasijun, Widodo Basuki, Anie Sumarno, Mbah Brintik, Sita T Sita, Titah Rahayu, Yunani, dan mungkin masih sederet lagi nama yang tak mungkin dipajangkan di sini.
Mengapa melibatkan mereka? Agar tidak terulang kasus yang terjadi pada KBJ III dan IV, yang mana beberapa nama pengarang sastra yang tak terlibat KBJ, membuat sendiri, bertajuk Kongres Sastra Jawa (KSJ) I (Solo), dan KSJ II (Semarang). Kegiatan KSJ ini, lantas banyak orang mengatakan sebagai tandingan dari Kongres Bahasa Jawa.
KBJ dengan dana Pemerintah yang milyaran rupiah, sedangkan KSJ dengan biaya patungan, alias bantuan dari dana driyah. Betapa pun sederhananya, bahkan saat ada KSJ I di Solo, sempat dihadiri oleh Bambang Sadono, Arswendo Atmowiloto, dan WS Rendra (almarhum).
Tokoh kontroversial yang jadi motivatornya KSJ adalah: Bonari Nabonenar dan Keliek Eswe, dua nama pengarang sastra Jawa yang keduanya cukup kreatif, inovatif, dan konstruktif dalam memandang dan menyikapi KBJ dengan menyelenggarakan sendiri Kongres Sastra Jawa.
Pertanyaan yang kini muncul adalah, masihkah Bonari dan Keliek, pada KBJ V Surabaya 2011 nanti; juga akan menyelenggarakan KSJ yang banyak asumsi orang mengatakan sebagai tandingan? Walahu allam bishawab........
Rembugan KBJ
Apabila KBJ V benar-benar diselenggarakan di kota Surabaya, barangkali menarik untuk bisa mengkampanyekan bahasa Jawa lebih efektif di sekolah. Kenapa? Karena selama ini, ada satu hari yang dijadwalkan ber-“Java Days”, atau berbahasa Jawa di lingkungan sekolah. Sekaligus, mengecek keberadaan ‘Java Days’ yang diprogramkan Dinas Pendidikan Kota Surabaya, apakah bisa berjalan lancar dan kontinyu dijalankan atau hanya isapan jempol belaka? Apakah bisa diterapkan, atau mungkin hanya sekedar himbauan, yang tak wajib dijalankan?
Sungguh, bahasa Jawa, bahasa Ibu-nya orang Jawa, sebenarnya mempunyai kekayaan kosa kata yang tiada bandingnya. Jika mau jujur, saya sebagai penulis sastra (media Indonesia dan Jawa), merasakan bahwa ungkapan dalam kosa kata sastra Jawa, memang lebih banyak jumlahnya, dan terasa indah dituliskan. Bahkan kosa-kotanya, terkadang sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Bahasa Jawa juga sangat efektif guna mengingatkan manusia Jawa, semacam: pitutur luhur, tembang macapat, dan juga geguritan gagrag anyar. Apalagi dalam tulisan atau lisannya menggunakan bahasa krama inggil.
Menyosong Kongres Bahasa Jawa, barangkali kita memang diingatkan agar kita semua tetap ‘nguri-uri’ (melestarikan) bahasa Ibu kita, bahasa Jawa. Menyongsong KBJ V selayaknyalah kita (utamanya Pemda Provinsi Jawa Timur) mempersiapkan kegiatan itu secara maksimal. Tidak hanya semacam seremonial belaka. Utamanya, ajaklah praktisi sastra Jawa, seperti: Suparto Brata, Bonari Nabonenar, Keliek Eswe, Suharmono Kasijun, Widodo Basuki untuk rembugan soal ini. Agar KBJ V Jawa Timur ini benar-benar akan menghasilkan yang terbaik bagi perkembangan bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Mari kita persiapkan KBJ V dengan membuka hati bagi semua praktisi budaya Jawa. Rembugan dari hati ke hati. Mari!
Desaku Canggu, 27 Juli 2010.
Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS)
Menurut agenda kegiatan 2011, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur, ketiban sampur, jadi penyelenggara Kongres Bahasa Jawa (KBJ) V. Konon, akan diselenggarakan di kota Surabaya. Tapi adakah sudah dipersiapkan uba-rampe, sarana dan prasarana, kegiatan adanya kongres yang berskala besar itu? Saya tidak tahu persis akan hal ini. Seorang kawan di PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), Bonari Nabonenar, sang ketuanya, bahkan katanya tidak diundang pada rapat awal persiapan KBJ V nanti.
Majalah Bahasa Jawa
Dalam perjalanan panjang sebagai penulis, berkali sudah saya menjadi juri lomba baca dan tulis geguritan, yang menggunakan media bahasa Jawa. Sebut saja tahun lalu, 2009, bertempat di Museum Mpu Tantular, dalam rangka menggelar Festival Tantular. Ada lebih 100 pelajar (laki-laki dan perempuan) se-Jawa Timur, yang menjadi peserta lomba ini. Lantas ada pula kegiatan yang diselenggarakan Dinas Pariwisata & Kebudayaan, Dinas Pendidikan Surabaya, kerja sama Kalawarti Basa Jawa ‘Jaya Baya’ di Cak DurasimTaman Budaya Jawa Timur; juga diikuti lebih dari 100 pelajar (laki-laki+perempuan) se-Kota Surabaya.
Contoh lain yang agak mengagetkan, ketika buku saya yang penerbitannya secara swadana, dan tercetak hanya sekitar 300 eksemplar, bertajuk “Tanpa Mripat” ‘kumpulan geguritan gagrag anyar’ terjual ludes, meski hanya melalui acara ceramah-ceramah sastra saya yang sangat insidentil. Kumpulan geguritan (puisi berbahasa Jawa) tersebut, ternyata mendapatkan respons positif pada masyarakat sastra Jawa di Jawa Timur.
Hal yang sama juga dilakukan oleh penggurit Widodo Basuki, ketika berceramah di depan para guru, mahasiswa, dan siswa; dia selalu menjual kumpulan guritannya ‘Layang Saka Paran’ dan ‘Meditasi Alang-Alang.’ Menurut Widodo, diistilahkan ngamen ceramah sekaligus jualan buku gurit, ternyata juga laku. Lumayan, katanya, kampanye sastra Jawa dan jualan bukunya.
Dari kegiatan tersebut di atas, membuktikan bahwa minat pelajar di Surabaya dan Jawa Timur masih cukup antusias pada sastra Jawa. Hal ini menepis anggapan adanya asumsi yang mengatakan bahwa sastra Jawa telah terpinggirkan. Menepis pula anggapan bahwa program “Java Days” (berbahasa Jawa) yang dilakukan sekolah-sekolah di Surabaya tidak efektif. Meski agak ironis memang, penamaan program sehari berbahasa Jawa di sekolah-sekolah Surabaya, dengan bertajuk “Java Days” yang menggunakan bahasa Inggris itu. Ironis!
Terlepas dari persoalan di atas, bahwa minat masyarakat Surabaya dan Jawa Timur terhadap sastra Jawa masih tergolong cukup lumayan, jika tidak boleh dikatakan cukup banyak. Lebih lagi, jika mengingat bahwa hanya di kota Surabaya-lah, yang masih tetap ada penerbitan malah berbahasa Jawa, dengan persebaran pembacanya hingga luar Jawa. Sungguh sebuah prestasi pelestarian bahasa Jawa yang perlu diacungi dua jempol sekaligus. Dua majalah berbahasa Jawa tersebut adalah “Panjebar Semangat” dan “Jaya Baya” yang hingga kini masih terbit, setiap minggunya.
Bonari dan Keliek Eswe
Persiapan menyongsong Kongres Bahasa Jawa (KBJ) V di kota Surabaya yang dijadwalkan akan dilangsungkan 2011 nanti, hingga kini belum terdengar grengseng (gairah)-nya. Setidaknya kegiatan-kegiatan yang mengarah ke persoalan masalah bahasa dan sastra Jawa. Misalnya saja, semacam lomba-lomba penulis sastra Jawa, lomba baca dan tulis gurit, macapat, tembang, dan lain sebagainya.
Persoalan lain yang tak kalah pentingnya, seharusnyalah Panitia KBJ V melibatkan para praktisi sastra Jawa yang setia menulis sastra Jawa, dalam mempersiapkan KBJ V nanti. Mereka itu seperti; Djajus Pete, JFX Hoery, Suparto Brata, Bonari Nabonenar, Keliek Eswe, Sunarko Sodrun Budiman, Budi Palopo, Sumono Sandy Asmoro, Suharmono Kasijun, Widodo Basuki, Anie Sumarno, Mbah Brintik, Sita T Sita, Titah Rahayu, Yunani, dan mungkin masih sederet lagi nama yang tak mungkin dipajangkan di sini.
Mengapa melibatkan mereka? Agar tidak terulang kasus yang terjadi pada KBJ III dan IV, yang mana beberapa nama pengarang sastra yang tak terlibat KBJ, membuat sendiri, bertajuk Kongres Sastra Jawa (KSJ) I (Solo), dan KSJ II (Semarang). Kegiatan KSJ ini, lantas banyak orang mengatakan sebagai tandingan dari Kongres Bahasa Jawa.
KBJ dengan dana Pemerintah yang milyaran rupiah, sedangkan KSJ dengan biaya patungan, alias bantuan dari dana driyah. Betapa pun sederhananya, bahkan saat ada KSJ I di Solo, sempat dihadiri oleh Bambang Sadono, Arswendo Atmowiloto, dan WS Rendra (almarhum).
Tokoh kontroversial yang jadi motivatornya KSJ adalah: Bonari Nabonenar dan Keliek Eswe, dua nama pengarang sastra Jawa yang keduanya cukup kreatif, inovatif, dan konstruktif dalam memandang dan menyikapi KBJ dengan menyelenggarakan sendiri Kongres Sastra Jawa.
Pertanyaan yang kini muncul adalah, masihkah Bonari dan Keliek, pada KBJ V Surabaya 2011 nanti; juga akan menyelenggarakan KSJ yang banyak asumsi orang mengatakan sebagai tandingan? Walahu allam bishawab........
Rembugan KBJ
Apabila KBJ V benar-benar diselenggarakan di kota Surabaya, barangkali menarik untuk bisa mengkampanyekan bahasa Jawa lebih efektif di sekolah. Kenapa? Karena selama ini, ada satu hari yang dijadwalkan ber-“Java Days”, atau berbahasa Jawa di lingkungan sekolah. Sekaligus, mengecek keberadaan ‘Java Days’ yang diprogramkan Dinas Pendidikan Kota Surabaya, apakah bisa berjalan lancar dan kontinyu dijalankan atau hanya isapan jempol belaka? Apakah bisa diterapkan, atau mungkin hanya sekedar himbauan, yang tak wajib dijalankan?
Sungguh, bahasa Jawa, bahasa Ibu-nya orang Jawa, sebenarnya mempunyai kekayaan kosa kata yang tiada bandingnya. Jika mau jujur, saya sebagai penulis sastra (media Indonesia dan Jawa), merasakan bahwa ungkapan dalam kosa kata sastra Jawa, memang lebih banyak jumlahnya, dan terasa indah dituliskan. Bahkan kosa-kotanya, terkadang sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Bahasa Jawa juga sangat efektif guna mengingatkan manusia Jawa, semacam: pitutur luhur, tembang macapat, dan juga geguritan gagrag anyar. Apalagi dalam tulisan atau lisannya menggunakan bahasa krama inggil.
Menyosong Kongres Bahasa Jawa, barangkali kita memang diingatkan agar kita semua tetap ‘nguri-uri’ (melestarikan) bahasa Ibu kita, bahasa Jawa. Menyongsong KBJ V selayaknyalah kita (utamanya Pemda Provinsi Jawa Timur) mempersiapkan kegiatan itu secara maksimal. Tidak hanya semacam seremonial belaka. Utamanya, ajaklah praktisi sastra Jawa, seperti: Suparto Brata, Bonari Nabonenar, Keliek Eswe, Suharmono Kasijun, Widodo Basuki untuk rembugan soal ini. Agar KBJ V Jawa Timur ini benar-benar akan menghasilkan yang terbaik bagi perkembangan bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Mari kita persiapkan KBJ V dengan membuka hati bagi semua praktisi budaya Jawa. Rembugan dari hati ke hati. Mari!
Desaku Canggu, 27 Juli 2010.
Kamis, 10 Februari 2011
SASTRAWAN KOTA NGAWI
Catatan Kecil dari anggota Komunitas Persada Ngawi
ditulis: Aming Aminoedhin
Perkembangan sastra Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan, dengan ditandai banyaknya pengarang-pengarang muda yang bermunculan, baik laki-laki maupun pengarang perempuan. Begitu pula karya-karya yang diterbitkan, baik prosa, puisi, maupun naskah drama; sangatlah beragam corak, tema, dan gaya penulisannnya. Begitu pula perkembangan sastra di provinsi Jawa Timur ini, juga mengalami kepesatan dalam hal jumlah pengarang, maupun mutu karya yang diterbitkan.
Perkembangan sastra di wilayah ini, meski tidak sefenomenal daerah lain, jika ditilik dari sisi perkembangan kuantitas dan kualitas penggiat pelaku sastra, di provinsi ini patut mendapat perhatian tersendiri. Banyak karya sastra ditulis oleh pengarang sastra Indonesia yang lahir atau berdomisili di Jawa Timur ini. Di sisi lain, ada suatu ironi, yakni ketidaktahuan masyarakat tentang keberadaan pengarang sastra Indonesia di Jawa Timur beserta karya-karya sastranya.
aming aminoedhin |
Sebagai salah satu cabang kesenian, berupa sastra di Jawa Timur cukup banyak digemari. Banyaknya komunitas sastra yang hidup dan berkembang di provinsi Jawa Timur merupakan salah satu bukti, di samping seringnya dilakukan pementasan-pementasan sastra. Beberapa komunitas sastra Indonesia yang dapat dicatat adalah FASS (Forum Apresiasi Sastra Surabaya), Forasamo (Forum Apresiasi Sastra Mojokerto), Komunitas Sastra Teater Persada (Ngawi), Komunitas BMS (Bengkel Muda Surabaya), Kostela (Komunitas Sastra dan Teater Lamongan), Komunitas Sastra Pesantren Al-Amien (Sumenep), Komunitas Sastra dan Teater Gapus (Fakultas Sastra Unair Surabaya), Komunitas Kalimas (Unesa/IKIP Surabaya) Forum Seni Sastra Luar Pagar (Unair Surabaya), dan FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya)
Ironisnya, banyaknya pergelaran kesastraan ternyata tidak diikuti oleh kepopuleran para sastrawan yang melakoninya. Para pengarang sastra Indonesia di Jawa Timur memang kurang dikenal oleh masyarakat Jawa Timur sendiri. Padahal di antara pengarang dan penyair tersebut, ternyata telah menghasilkan beberapa karya yang monumental dan cukup fenomenal. Puisi berjudul “Ibu” karya D. Zawawi Imron, puisi berjudul “Berjamaah di Plaza” karya Aming Aminoedhin, novel “Olenka” karya Budi Darma, novel “Saksi Mata” dan “Kremil” karya Suparto Brata, merupakan beberapa contoh karya tersebut.
Berangkat dari persoalan inilah, penulis ingin mencoba menyajikan keseimbangan antara ciptaan dan pencipta, haruslah juga dikenalkan kepada masyarakat pembacanya, yaitu keberadaan komunitas ‘Teater Persada’ yang secara kebetulan saya pernah jadi anggotanya.
Teater Persada Ngawi
Membicarakan sejarah komunitas sastra ‘Teater Persada’ Ngawi, cukuplah panjang perjalanannya. Menurut keterangan, Mh. Iskan, ketua Teater Persada, bahwa kelompoknya berawal dari komunitas para pelajar yang tergabung dalam Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Ngawi, tahun 1960-an.
Dari komunitas ini, kemudian terbentuklah apa yang dinamakan komunitas bernama “Himpunan Pecinta Sastra Etsa’ kemudian lebih dikenal kelompk ‘Etsa Divina Artis Magistra’ yang merupakan gabungan para pelajar PII tersebut, dengan membuat sebuah kelompok seni pertunjukan, menampilkan berbagai cabang seni. Di antaranya: pentas, drama, dan baca puisi. Beberapa nama yang aktif di komunitas ini adalah: Anwaroeddin, Suwandi Black, Mh. Iskan, Ummi Haniek, Rodiyah, Sutomo Ete, Gisran, Rosyid Hamidi, Wahab Asyhari, Salimoel Amien, A. Mukhlis Subekti, M. Har Harijadi, Heru, Aming Aminoedhin, Djoko Mulyono, Ratih Ratri, Alina Evawanti, Susilowati, Agnes Maria Soejono, dan banyak lagi.
Pada mulanya komunitas ini hanya tampil di komunitasnya sendiri, Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Ngawi, tapi pada perkembangannya bisa mementaskan seni pertunjukannya di luar komunitasnya. Misalnya diundang di Bupati Ngawi, pentas drama di pendapa Kabupaten Ngawi.
Berawal dari intensnya komunitas ini berkumpul dan latihan seni pertunjukan inilah yang kemudian memunculkan ide memberi nama komunitas, yaitu ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ pada tahun 1978. Pada waktu itu, kata Mh. Iskan, komunitas ini akan mengikuti Lomba Drama se Jawa Timur di Surabaya.
m. har harijadi |
Markas atau pangkalan dari Komunitas Sastra Teater Persada adalah Jalan Trunojoyo 90, Ngawi; yang merupakan rumah pribadi Mh. Iskan. Sedangkan latihan-latihan drama, dan baca puisi, biasanya dilaksanakan di pendapa Paseban WR. Soepratman Widyodiningrat, yang berada di depan Kantor Bupati Ngawi. Alternatif lain dalam penyelenggaraan latihan drama dan puisi, berada di halaman masjid besar Ngawi atau di rumah AM. Subekti di dekat masjid.
Aktivitas Teater Persada
Selama perjalanan panjangnya ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi adalah mengadakan latihan-latihan baca puisi dan drama. Dari latihan-latihan tersebut, ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ berkali-kali pentas drama/teater dan selalu diawali dengan pembacaan puisi, bahkan tak jarang di dalam pentas drama/teaternya selalu memasukkan unsur di dalamnya.
Dalam aktivitas pentas drama, ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ tidak hanya pentas drama panggung, tapi juga drama radio di RKPD (Radio Khusus Pemerintah Daerah) Kabupaten Ngawi, dan Radio Al-Azhar (Radio Swasta milik Pelajar Islam Indonesia) Cabang Ngawi.
Selain pentas drama radio, ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi, juga pernah membuat video-film bekerja sama dengan BKKBN Jawa Timur, dengan KPU Kabupaten Ngawi, dan instansi pemerintah di Kabupaten Ngawi.
Pentas drama panggung ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi tidak hanya di kotanya sendiri Ngawi, dan berulang kali; akan tetapi juga tercatat pernah pentas di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) Sasonomulyo, Surakarta, Taman Budaya Jawa Timur, Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika (PPIA), Dharmahusada Barat, Surabaya, Taman Budaya Jawa Tengah di Surabaya; dan Taman Budaya Yogyakarta.
Mh. Iskan sebagai ketua komunitas, ketika teman-teman Persada tidak lagi bisa diajak bermain, maka dia memainkan sendiri sebuah naskah monolog karya Putu Wijaya berjudul ‘Mulut’. Pentas monolog berdurasi sekitar satu jam ini, telah digelarpentaskan 5 kali pertunjukan. Pentas pertama di depan siswa-siswa SMAN 1 Ngawi, MAN Ngawi, Dewan Kesenian Surabaya, dan SMAN 2 Ngawi; pada tahun 2006. Sedangkan tahun 2007 dipentaskan di depan mahasiswa Universitas Widya Mandala Madiun (tidak ingat tanggal dan hari pentasnya).
Naskah-naskah drama yang dipentaskan oleh‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi, kebanyakan memang naskah yang ditulis dan disutradarai sendiri oleh ketuanya, Mh. Iskan; kecuali naskah pementasan dalam rangka lomba drama se-Jawa Timur.
Dalam rangka lomba pementasan drama se-Jawa Timur, ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi, pernah mendapatkan predikat terbaik (sutradara dan kelompok) di tahun
1978; serta sutradara, kelompok, dan aktor terbaik pada tahun 1983. Secara catatan prestasi ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi sudah memenangkan dua kali kemenangan di tingkat Jawa Timur, yaitu 1978 dan 1983. Belum lagi, telah beberapa kali para anggotanya memenangkan beberapa kali lomba baca dan menulis puisi di berbagai lomba.
Aktivitas dari ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi memang tak pernah berhenti, bahkan ketuanya sendiri, Mh. Iskan, tetap bermonolog sendiri serta pentas di berbagai tempat dan komunitas lain. Di samping itu, Mh. Iskan, juga masih melukis dengan corak lukisan gaya ‘Sanggar Bambu” Yogyakarta, di mana dulu ia termasuk anggota komunitas itu.
Terbitan BukuTeater Persada
Membicarakan sejarah perjalanan ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi, maka tidak lengkap apabila tidak membicarakan penerbitan yang telah dihasilkan komunitas ini. Secara hitungan, ada tiga kumpulan puisi (meski sederhana bentuknya), tapi merupakan bukti keberadaannya selama ini.
Ketiga buku penerbitan ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi tersebut adalah merupakan trilogi kumpulan puisi, yaitu Tanah Persada (1983), Tanah Kapur (1986), dan Tanah Rengkah (1998). Para penulisnya adalah tiga penyair, yaitu: Mh. Iskan, M. Har Harijadi, dan Aming Aminoedhin yang selalu ada dalam kumpulan puisi tersebut. Hanya pada kumpulan Tanah Persada terbitan tahun 1983, ada salah satu anggotanya ikut menulis puisi dalam kumpulan tersebut, bernama LH. Irmawati
Tanah Persada, kumpulan puisi
Kumpulan puisi yang berjudul ‘ Tanah Persada’ ini diterbitkan oleh kelompok Teater Persada Ngawi, tahun 1983. Dalam kumpulan puisi yang sederhana (stensilan) ini, diberi kata pengantar oleh M. Har Harijadi, salah satu dari penyair yang puisi-puisinya termuat dalam kumpulan ini.
Dalam kata pengantarnya, antara lain dikatakan, “ Beberapa puisi yang termuat, dihimpun dengan acak, dalam artian tak ketat selektif, mengingat waktu mempersiapkan hanya sehari semalam – setelah ide mencuat dari seseorang yang obsesinya telah lama terpendam – namun dilanda kesibukan. Di antaranya pernah termuat di surat kabar atau majalah yang entah kapan tahun penerbitannya, serta yang lain bertahun lebih dari satu dekade dari yang sekarang. Apa boleh buat, suatu ‘kehadiran’ terkadang memang hanya satu kebetulan. Yang penting, mari diisi dengan perbuatan. Keliru tidak malu, yang benar kita kejar. Setuju?
Pengantar M. Har Harijadi menunjukkan betapa ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi, telah menunjukkan kehadirannnya lewat kumpulan puisi ‘ Tanah Persada’ ini, betapapun sederhananya. Serta berbuat untuk mengkoleksi puisi-puisi para anggota komunitasnya.
Kumpulan puisi ‘Tanah Persada’ bersisi 28 judul puisi, terdiri 5 judul puisi karya Mh. Iskan, 7 judul karya M. Har Harijadi, 8 judul karya Aming Aminoedhin, dan 8 judul puisi karya LH. Irmawanti S.
Beberapa karya yang termuat dalam kumpulan tersebut penulis sertakan guna melengkapi penelitian ini:
mh iskan |
SEBUAH JENDELA TERBUKA
PAGI INI
salamku saja untukmu, gadis kecil
yang berdiri tegak di jendela
pagi ini
benang-benang mentarimenciummu kasih
bagai selaksa bidadari turun
beruntun
salamku saja untukmu, gadis kecil
yang mengerti bunga mekar pagi hari
tubuhmu ranum-ranum buah pisang
di jendela segar
alangkah terdampar
sebuah jendela terbuka
pagi ini
di jantung kota
menara yang tegak adalah ibunya
di bawah taman lebat berbunga
dan gadis kecil itu
masih saja sayu menatapnya
-adakah bonekaku ketemu di sana
segala tanpa kata
sebab jendela itu tinggi
dan gadis itu sendiri
1967
mh. iskan
DI JALAN-JALAN TENGAH KOTA
di jalan-jalan tengah kota
orang bicara tentang kematian, peperangan dan kedengkian
setiap kata adalah keyakinan
meski cuma dengar dari berita
di jalan-jalan tengah kota
orang lebih tertarik untuk duduk
dan bicara seenaknya tentang perburuan
nyawa anak-anak yang di pertaruhkan
dan serpihan-serpihan logam jadi akrab
di antara padang-padang rumput
hutanpun lata penuh asap mesiu
kota-kota jadi mati
kabut semakin rendah, semakin rendah
langitpun mulai mengeluh
kapan bayi-bayi itu damai dalam gendongan
tak terganggu desingan peluru
tapi ini adalah permainan
dari tangan-tangan yang haus
dan jiwa-jiwa yang sunyi
dari tuntutan kemerdekaan
atau kerinduan yang dicanangkan
lewat sumur-sumur bermata bangkai
di jalan-jalan tengah kota
dimana-mana barat timur utara
kabutpun semakin rendah, semakin rendah
sementara burung-burung nyanyi lagu duka
dan dimatanya terkenang nanah
yang setiap kali meleleh
genderang-genderang sayup mengetup satu-satu
diantara kibaran-kibaran bendera setengah tiang
langitpun tetap mengeluh
kabut semakin rendah, semakin rendah
bumi seperti biasa mendukung beban
meski tangis ini tertahan
di jalan-jalan tengah kota
orang bicara tentang kematian, peperangan dan kedengkian
jakarta, 1972
mh. har harijadi
SIANG HARI
ruang persegi empat ini pengap
tubuhku lungkrah dan dadaku sesak
haruskah tinggal berlama-lama menatap
tanpa sedikitpun berusaha
melapangkan nurani yang mendesak
doapun telah berlaksa dilafazkan
hatipun yang gundah telah dicobasegarkan
tapi hanya padaMu-lah Tuhan
yang kuasa menyejukkan
apalah arti seorang hamba
apalah arti segala usaha
apalah artinya seorang manusia
ngawi, 1973
mh. har harijadi
SEBELUM SENJA
tercenung setelah tidur siang hari
resahku yang abadi
mengeram dalam hati
hari belum senja
mestinya hari-haripun masih panjang pula
ngawi, 1972
aming aminoedhin
SELAMAT TINGGAL KOTA
aku seperti tak kuasa berucap ‘selamat tinggal’
kota tanahku tercinta
selayang kulihat beburung berarak terbang menjauh kian jauh
seperti telah jenuh melihat kotaku selalu melenguhkan keluh
tapi akankah aku tetap bertahan
pada sebuah kota, di mana
yang abadi hanya sepi
kota yang berbatas kali dan berbatas kali
dan bila air meluap musim hujan, di jalan raya
pasti sebatas lutut kaki. mobil terhenti
anak-anak mendorong bernyanyi
dan bila saatnya nanti, aku memang harus enyah
melangkah pergi. mungkinkah resahku akan istirah
dan sepiku akan menepi
atau lebih terpatri?
memang ludah yang telah kuludahkan
tiadalah mungkin akan kujilat kembali
hanya pesan padamu, mitraku
kata ‘kenangan’ hanya memunculkan keindahan beragam
tapi cinta dengan beribu jalan bisa tetap bertahan
meski sejuta luas samudra jarak terbentang
ngawi, 1982
aming aminoedhin
PATUNG
Telah kupatungkan wajahmu
pada hatiku. Yang berarti ini tak
memungkinkan bayang-bayang wajah
akan lagi bergerak mendesak
pada hati yang gelisah
Wajahmu telah jadi petapa yang semedi
tenang. Seperti cendawan, pada
hatiku tersimpan
Tapi kulihat dirimu masih rawan
di hadapanku enggan. Di matamu
memuat ragu-ragu
ngawi, 1983
lh. irmawanti s.
TELAGA SARANGAN
milikMukah ini Tuhan
telaga menghijau, bening, tenang
berbingkai Lawu?
teriak bocah-bocah kecil
tawarkan sekeranjang sayuran
juga mainan anak-anak
berjalan sepetak
perempuan tua
tawarkan barang serupa
milikMukah Tuhan
lalu laki-laki
dengan kuda
tujuh ratus lima puluh keliling telaga
milikMukah Tuhan
juga orang-orang papa
yang gemetar memohon kasih?
milikMukah Tuhan
telaga menghijau, bening, tenang
berbingkai Lawu?
lh. irmawanti s.
PAHLAWAN TANPA TANDA JASA
yang tercinta Ibu Bapak
jalan berdebu
setia kalian lalui
dengan beban
makin sarat di pundak
engkau kian senja
sedang aku
baru sampai pada titian pertama
Tuhan
nyalakan lilinMu
singkirkan kerikil
di jalan berdebu itu!
Tanah Kapur, kumpulan puisi
Kumpulan puisi yang berjudul ‘ Tanah Kapur’ ini diterbitkan oleh kelompok Teater Persada Ngawi, tahun 1986. Dalam kumpulan puisi yang sederhana (fotokopian) ini, diberi kata pengantar oleh M. Har Harijadi, salah satu dari penyair yang puisi-puisinya termuat dalam kumpulan ini.
Dalam kata pengantarnya, antara lain dikatakan,” Perjalanan panjang Teater Persada memang tak bisa tercatat secara keseluruhan, namun demikian kegiatan yang pasti adalah teater/drama, dan beberapa kegiatan lain seperti baca puisi, serta membuat semacam latihan-latihan kesenian lainnya.
Dalam perjalanan selama ini, Teater Persada pernah mencatat sebagai pemenang festival Drama se-Jawa Timur pada tahun 12978 dan 1983 di Surabaya.
Lebih dari itu, sementara waktu ini Teater Persada Ngawi hanya berlatih teater secara tidak rutin di kampungnya sendiri, misalnya untuk persaiapan pementasan sewaktu-waktu. Lantara beberapa waktu berselang – sementara sedang gencar-gencarnya mempersiapkan ikut Festival teater di Surabaya – kabar yang terdengaer justru festival dibatalkan. Barangkali ada menyelinap kecewa, namun ada pula terasa yang diambil maknanya.
Sebab itu kemudian memunculkan ide untu menerbitkan kumpulan sajak ‘Tanah kapur ini, agar komunikasi masih ada terjalin.”
Dari kata pengantar ini, bisa diketahui bahwa Teater Persada Ngawi, memang tidak lelah-lelahnya berproses latihan teater. Sedang melalui latihan latihan-latihan itu, yang kemudian memunculkan ide lain berupa penerbitan kumpulan puisi ‘Tanah Kapur.”
Kumpulan puisi ini memuat karya-karya puisi dari tiga penyair, yaitu: Mh. Iskan, M. Har Harijadi, dan Aming Aminoedhin; memuat sejumlah 45 judul puisi, terbagi atas 12 judul karya Mh. Iskan, 19 judul karya M. Har Harijadi, dan 14 judul karya Aming Aminoedhin.
Beberapa karya yang termuat dalam kumpulan tersebut penulis sertakan guna melengkapi penelitian ini:
mh. iskan
RUMPUT-RUMPUT BERGOYANG
DI TANAH LAPANG
rumput-rumput bergoyang di tanah lapang, adik
rindu rumput rindu jemput menggamit jiwaku
adalah kehadiran yang memanjang dan menyesak
jika rumput-rumput bergoyangan
di tanah lapang
sepotong dukana nyangkut di daun pintu
dan aku menatap goyangan perdu
di bendul jendela
nyanyi sunyi di padang itu
jengkerik pun menyusut sayapnya
rindu rumput rindu lumut adalah menyatu
dalam tatapan warna senja
rumput-rumput bergoyang di tanah lapang, adik
rumput rindu menyaput dukana
yang membasuh warna malam
melantunkan suara merdeka
damai di bumi damai adalah kerinduan
seperti nyala rinduku padamu
Ngawi, 1976
mh. iskan
AKRABNYA BIRU LANGI T
DI ATAS BUKIT
akrabnya biru langit di atas bukit
simphoni menyusup lewat senja itu
secangkir teh mengulum hasratku
yang sekian kali kutahan
dan alam adalah selimutku
di sini
angin jatuh satu-satu
sementara gembala itu meniti senja
namun suara gaung doaku
menepis punggung-punggung bukit
mengalir di gerisik air mengelus batu-batu
secangkir teh melewatkan sepiku
dan doaku telah kuendap
jadilah jiwa yang menuntunku ke lembah sana
dan perjalananku tak usah kau tangisi
karena inilah hasrat untuk menembus waktu
sampai kapan jam menghentikan detaknya
akrabnya biru langit di atas bukit
nyala sepiku menggugah
aroma dan sendrian mengurut punggung bukit
di sini kutatah namaku
menjelang usia yang ketiga puluh enam
Ngawi, 1978
mh. har harijadi
SEBELUM PATAH HATI
segera setelah mencintai
kutetapkan syarat-syarat administrasi
demi efisiensi
abad teknologi
Ngawi, 1978
mh. har harijadi
DI NGAWI
apalagi yang bisa saya pelajari
pengulangan itu sudah membosankan
sulit ditarik sepercik kemanfaatan
sedang jadwal masih begini hari-hari
tumpah darah katanya harus dijunjung tinggi
saya malah tak bisa krasan-krasan
1979
aming aminoedhin
STASIUN BALAPAN
Di antara gerbong-gerbong barang
Matahari panas menyerang. Stasiun
seperti terbakar. Membakar
Di antara gerbong-gerbong renta
Aku berlindung dari matahari yang tua. Terjepit
tersudut antara gerbong-gerbong bisu
Terkantuk-kantuk mata. Menunggu
Menunggu lama. Saat loko tiba
Di antara gerbong-gerbong yang ada
Laparku menghunjam perut, seperti
keris yang punya tuah. Bersiap
menancap untuk membedah
Kereta belum berangkat, meski
muatan barang dan penumpang telah
sarat. Sarat muatan
Gerah tengah hari membakar
Aku lelah duduk bersandar
Menekan pikirrasaku berlayar
Menekan perutku yang lapar
Solo, 1983
aming aminoedhin
TANAH KAPUR
* sketsa kota ngawi pagi hari
tanah pegunungan kendheng memanjang tampak kabur
oleh kabut pagi, dan matahari muncul memerah
di timur menyenandung. berbaur suara
kicau burung dan indahnya embun di rumput daun
mengucap kata selamat pagi kota ngawi
rerumput di alun-alun berembun
alun-alun nan luas, dan tetukang kayu
memikul beban kayunya melintas
dari arah utara kota baris berjalan memanjang
menuju selatan ke pasar Beran, punya tujuan
adakah yang lebih berat
memikul kayu yang sarat demi nasi sesuap
atau menjual lebatnya hutan jati
demi mengejar tingkat teknologi abad ini?
adakah kita kan kehilangan hutan jati
kicau burung, indahnya embun di rumput daun
saat matahari menjemput pagi
di esok hari nanti?
1986
Tanah Rengkah, kumpulan puisi
Kumpulan puisi yang berjudul ‘ Tanah Rengkah’ ini diterbitkan oleh kelompok Teater Persada Ngawi, tahun 1998. Dalam kumpulan puisi yang sederhana (masih berbentuk fotokopian) ini, diberi kata pengantar oleh Aming Aminoedhin, salah satu dari penyair yang puisi-puisinya termuat dalam kumpulan ini.
Dalam kata pengantarnya Aming Aminoedhin antara lain, mengatakan,”Ada semacam benang-merah yang melatarbelakangi terbitnya kumpulan puisi ini. Bermula dari omong kosong (Saya, Mas Iskan, dan Mas Harijadi) di beranda rumahnya Mh. Iskan yang kebak lukisan itu, tentang betapa banyaknya sekarang ini, generasi muda yang kepingin jadi penyair tanpa melalui tempaan pengalaman yang tearasa tiada mudah untuk menyandang ‘sang penyair’. Tak kurang pula bicara soal pentas ‘Wayangan Sabtu Legi’ di pendapa Bupati yang kini jadi tradisi di Ngawi. Kemudian dilanjutkan perbincangan soal perlu kiranya menyambung dua kumpulan puisi terdahulu terbitan Teater Persada Ngawi, yaitu Tanah Persada dan tanah Kapur. Lantas ketemulah ide untuk menerbitkan ‘Tanah Rengkah’ sebagai trilogi kumpulan puisi dari Teater Persada Ngawi.
Sebenarnya tidak itu saja, kumpulan puisi yang terbit dari kota Ngawi. Bilau mau mencatat (dan itu pun tidak lengkap) adalah kumpulan puisi ‘Surat dari Ngawi’ (Mei, 1994) diterbitkan Kelompok Lingkar Sastra ‘ Tanah Kapur’ Ngawi, yang ternyata sebagian besar penulisnya juga anak-anak Teater Persada Ngawi sendiri. Begitu pula kumpulan puisi berjudul ‘Suluk Hitam Perjalanan Hitam di Kota Hitam’ (November, 1994), terbitan Teater Sampar Ngawi, yang para awaknya juga embrio dari Teater Persada Ngawi.
Dari catatan pengantarnya kumpulan tersebut di atas, bisa diketahui bahwa di kota Ngawi juga banyak kelompok teater lain yang cukup berkembang keberadaannya. Belum lagi ada nama Teater Magnit yang diketuai oleh Kuspriyanto Namma, seorang penggagas Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP).
Kumpulan puisi ‘Tanah Rengkah’ ini, masih memuat karya-karya puisi dari tiga penyair, yaitu: Mh. Iskan, M. Har Harijadi, dan Aming Aminoedhin; memuat sejumlah 41 judul puisi, terbagi atas 14 judul karya Mh. Iskan, 13 judul karya M. Har Harijadi, dan 14 judul karya Aming Aminoedhin.
Beberapa karya yang termuat dalam kumpulan tersebut penulis sertakan guna melengkapi penelitian ini:
mh. iskan
LEMBAYUNG BAKUNG
lembayung bakung
nagasari santapan pagi
tak mungkin sirna oleh teknologi
tak mungin mati oleh gerigi-gerigi
lembayung kangkung, serai madu, jenang ragi
adalah tumbal raga, adalah ruh lembah cadasku
yang tumbuh menurut getar jari-jari mencakari bumi
yang tumbuh melumasi otot-otot bayi
napas lembayung daun kunci laos jahe
adalah bau kesturi menggugah alam pagi
menapaki ranjam batu dan desah tanah
yang tergugah
karena jiwa-jiwa yang pasrah
kemurnian yang abadi
lembayung-lembayung bakung
nagasari santapan pagi
selalu kutemui setiap jengkal tanah
dan tubuhku menyatu di pusar raganya
ngawi, 1993
mh. iskan
SAJAK TEMBANG KAPUR
angin letih menepisi ranting
dan bau tanah purba bangkit
merebak di kulit bumi
adalah nafas sukma yang bening
harumnya tanah kapur, coklatnya lembah
tak mengubah niat yang tabah
kali sunyi adalah rengkuh
tembang megatruh
menyusup jiwa-jiwa yang pasrah
tak pernah istirah
adalah tonggak adalah akar adalah
getar yang memuput bongkah tebing cadas
dicium langit tak wingit
Ngawi, 1994
mh. har harijadi
SEPANJANG JALAN RAYA
Kadang terasa hina, tak berani mempercepat kendaraan
Waktu sudah kencang jalannya, hanya mati ketakutan satu-satunya
Aku yakin tak tahu nasib apa selama di jalan raya
Tapi segalanya begitu gampang terlaksana
Seperti yang sudah kerap terlihat, namun tak pernah teralami
Padahal kini semuanya kian memaksa, tak bisa menghindari
Ah, biarlah ditertawakan, lantaran terlalu berjaga-jaga
Padahal kini, harus banyak pergi menuruti arah teknologi
Barangkali belum terlambat, masih selalu mengucap doa
Walau orang semakin tak saling mengenalnya
Tak pernah lagi perlu basa-basi, menyapa sekedarnya
Kini aku malah merasa dekat Tuhan berada di jalan
Aku berjumpa Tuhan di mana-mana
Sampai kapan berlaku hari-hari demikian
Siapakah yang patut disalahkan?
Jika memang begini keadaan
Kesimpulannya? Anak jaman akan kembali padaMu sendirian!
Ngawi, 1979
mh. har harijadi
GEDONGTATAAN
saya ingin menyalahkan petani kalau begini
sudah bertransmigrasi lalu pulang kembali
tidakkah sesuai dengan profesi
hidup bertahun di dusun ternyata tak dihayati
masihkah hasrat mengekalkan urbanisasi
hutan yang bergayutan bukan untuk ditakutkan
betapa luasnya tak terhitungkan masa depan
salamkan hatimu, kita adalah satu
mari kita benah, sama-sama punya rumah
bukankah ini khalifah yang telah jadi anugrah
sebenarnya tak lagi perlu tawaran
kalau kita sudah darahkan pikiran
tinggallah keteguhan, barangkali juga segumpal pengorbanan
di sana juga kerasan, kenapa di tanah sini tak kerasan
ahoi hidup bukan lagi hanya menerima sesuap makanan
Lampung, 1980
aming aminoedhin
MATAKU MATA IKAN
malam telah begitu larut
tapi mataku adalah mata ikan
terjaga. tanpa ada kantuk
datang menyerang sepanjang malam
jika harus dirunut awalnya
barangkali hanya hati yang hanyut
pada kenangan teramat indah
mendepakku ke ujung dunia yang resah
mataku mata ikan malam ini
terjaga sepanjang malam begitu sunyi
hatiku hati yang lebam kini
begitu hitam seperti kelam berdiri
mataku mata ikan
hingga berlabuhnya parak pagi
hatiku hati rawan
begitu rapuh didepak sunyi
Surabaya, 1991
aming aminoedhin
TANAH RENGKAH I
* mashar + mh. iskan
selalu saja kita bincangkan seni
di kota tanah rengkah ini
selebihnya seperti telah bertahun
kutulis dalam baris puisi
yang abadi di kota ini
hanya sepi hanya seni
meski kota dilanda hujan
dilanda banjir
dilanda kemarau panjang
kehabisan air
hanya seni terus bernafas segar
mengalir
masihkah kita akan menipu diri
mengacuhkan nafas seni
yang mengental dalam dada ini
yang mengakar dari generasi
ke generasi, mengalir
tanpa mau henti
kota tanah rengkah yang tua
telah mencatat peristiwa budaya
ke peristiwa budaya
yang mengkristal dalam dada
adakah kita akan lupa?
malam telah begitu larut
suasana terasa nglangut
dari pendapa bupati
masih terdengar pergelaran
wayang kulit sabtu legi
lamat-lamat menyibak sepi
adakah kita akan menipu
dan lupa diri?
Ngawi, 2 Maret 1996
Kota Tercinta, kumpulan puisi
Komunitas Sastra Teater Persada Ngawi, telah menerbitkan buku 3 (tiga) kumpulan puisi tersebut, juga memprakarsai penerbitan buku kumpulan puisi dan cerpen bertajuk ‘Kota Tercinta’ (November, 2003) berisi tulisan sastra para alumni SMAN Ngawi, pada acara semarak Lima Windu atau 40 Tahun SMAN Ngawi yang kemudian berubah jadi SMAN 2 Ngawi. Dalam buku ini termuat tulisan puisi-puisi karya: Aming Aminoedhin, M. Har Harijadi, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widiyanto, serta cerita pendek karya Etik Minarti. Dalam kata pengantar yang ditulis M. har Harijadi, antara lain dikatakan, “Memang banyak sastrawan kelahiran Ngawi yang sudah terkenal, bahkan sudah almarhum, tapi mereka bukan alumni SMA Ngawi. Selain mereka menulis dalam bahasa Indonesia, juga di antaranya menulis dengan bahasa daerah, Jawa. Ada nama Poerwadi Atmodihardjo, Umar Kayam, satim Kadarjono, M. alwan Tafsiri, Mh. Iskan, Basuki Rahmad, Djajus Pete, Hardho sayoko SPB, Hamdy Salad, Junaidi Haes, Kuspriyanto Namma, dan banyak lagi.
Sementara itu komunitas sastra teater lainnya ada juga yang menerbitkan kumpulan puisi, yaitu: Kelompok Lingkar Sastra ‘Tanah Kapur’, dan ‘Teater Sampar’.
Kelompok Lingkar Sastra ‘Tanah Kapur’
Kelompok lain bernama Lingkar sastra Tanah Kapur, diprakarsai oleh Tjahjono Widarmanto, telah menerbitkan buku antologi 9 penyair Ngawi bertajuk ‘Surat Dari Ngawi’. Mereka para penyair tersebut adalah: Mh. Iskan, Junaidi Haes, Aming Aminoedhin, Tjahjono Widiyanto, Anas Yusuf, Tjahjono Widarmanto, M. Har Harijadi, Agus Honk, dan Setiyono.
Antologi ini memuat sebanyak 59 judul puisi, terbagi masing-masing 7 judul puisi karyaMh. Iskan, Junaidi Haes, Aming Aminoedhin, Tjahjono Widiyanto, Tjahjono Widarmanto, dan M. Har Harijadi. Sedangkan Anas Yusuf karyanya termuat 8 judul, Agus Honk 5 judul, dan Setiyono 4 judul puisi.
Selain itu, komunitas ini juga pada bulan Maret 2001, dalam rangka ulang tahun jurnal kebudayaan ‘Rontal’ menerbitkan buku kumpulan puisi ‘Secangkir Kopi Buat Kota Ngawi’ sekaligus acara malam baca puisinya, bertempat di Pendapa Kabupaten Ngawi. Kumpulan ini adalah antologi puisi 12 penyair asal Jakarta, Surakarta, Surabaya, Mojokerto, Madiun dan Ngawi. Mereka itu adalah: Dari kota Ngawi ada nama: Kuspriyanto Namma, Meidyna Arrisandi, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widiyanto.Dari kota Madiun: Anas Yusuf dan Beni setia, dari kota Surabaya: Syaiful Hadjar, dan Tengsoe Tjahjono; sedang dari Mojokerto adan nama: Hardjono WS dan Aming Aminoedhin. Sedangkan masing-masing satu penyair adalah Hardho Sayoko SPB (Jakarta), dan Sosiawan Leak (Surakarta).
Kelompok Teater Sampar
Ada lagi kelompok bernama kelompok “Teater Sampar Ngawi,” dengan tokohnya Anas Yusuf dan Tjahjono Widarmanto, menerbitkan kumpulan puisi bertajuk ‘Suluk Hitam Perjalanan Hitam di Kota Hitam’ (November, 1994), berisi tulisan puisi karya penyair empat kota: Ngawi, Surabaya, Solo dan Malang. Mereka itu antara lain: Mh. Iskan, M. Har Harijadi, Aming Aminoedhin, Anas Yusuf, dan Tjahono Widarmanto (Ngawi), Arief B. Prasetyo, Leres Budi Santosa, dan Saiful Hadjar (Surabaya), Sosiawan Leak (Solo), Tjahjono Widiyanto (saat itu masih di Malang, mewakili kota Malang).
Ini hanya sekedar catatan sepenggal sejarah susastra kota Ngawi dan para penyairnya.Jika saja ada yang terlewatkan, barangkali hanyalah keterbatasan saya mencari data yang tidak komplit. Maaf!
Setidaknya saya telah mencoba mencatatnya, betapa pun sederhananya. Salam!
Desaku Canggu, 22 Januari 2011
Langganan:
Postingan (Atom)