SAJAK-SAJAK SURABAYA
aming aminoedhin
SURABAYA I*
pasar kini telah berubah di sini
pasar adalah lampu-lampu iklan
di mana dagangan ditawarkan
lewat lampu-lampu iklan
yang gemerlap tinggi mencuat
aku hanya bisa nelangsa menatap
orang-orang dimuntahkan oleh bis-kota
dan plaza-plaza bertingkat, dan
di kemudian hari ditelan kembali
dengan jumlah dan hitungan kian sarat
plaza-plaza bertingkat
kian semakin padat pengunjung
rumah-rumah ibadat
semakin kehilangan juntrung
oleh penghujung
lupakah mereka?
Itulah soalnya aku bertanya
Surabaya, 1986
aming aminoedhin
SURABAYA II*
apa yang harus kutulis tentang surabaya
kecuali panas cuaca dan gerah suasana
pada setiap harinya, ketika
musim kemarau tiba
hari-hari melintas cemas
hidup kian semakin bergegas
ruang kehidupan kian pula terbatas
pada sudut-sudut kota
semakin pula sulit membedakan
antara waria dan kupu-kupu malam
antara tante girang dan lelaki
hidung belang
surabaya surabaya
orang semakin gampang
berkata mengulurkan tangan
demi mendapat pekerjaan
dengan sekedar uang imbalan
surabaya surabaya
menjadi kabur batas bantuan
dan niat kepalsuan
lampu-lampu iklan
kian semakin gemerlapan
saling berebut ketinggian
saling berebut pasaran
surabaya surabaya
jalan-jalan semakin hijau
asap beribu mobil semakin kacau
surabaya musim kemarau
hanya debu ketergesaan semakin galau
segalanya berlalu tanpa batas
siapa menunggu kelak tergilas
lampu-lampu iklan
kian semakin gemerlapan
saling berebut ketinggian
saling berebut pasaran
surabaya musim kemarau
aku menatapnya semakin risau
Surabaya 1986
aming aminoedhin
LARUT MALAM SURABAYA*
mobil-mobil yang lintas jalan layang
seakan terbang tanpa sayap
lampu-lampu jalan layang
berjejer diam menyimpan penyap
bunga-bunga taman mayangkara
tidaklah terhitung lengkap
rumput-rumputnya hijau meluas
tanpa ada tersisa sampah-sampah membekas
dan pohonan hias menyejuk mata
di antaranya terselip cahaya
lampu-lampu merkuri menebar asri
lampu-lampu kota warna-warni
lampu-lampu mobil tak mau mati
kota tiada mau diam, meski jam
telah sampai larut malam
kota ini adalah buaya, yang
menelan segala perangkat teknologi
teknologi abad ini, tanpa
terseleksi (diseleksi?)
1989
aming aminoedhin
TAMAN SURYA BULAN PAHLAWAN*
malam ini tidak seperti biasanya
taman surya hanya sepi saja, anak-anak
dan orangtua mereka tak nampak
bermain di antara bunga-bunga
di dekat pintu pagar utama
ada terpancang baliho besar
memuat kobar semangat pahlawan
bagi siapa melihatnya
di luar pagar ada berjajar
sepuluh sang saka jumlahnya
berkibar karena angin menerpa
di antara bunga-bunga taman
kain rumbai berjuntai warna-warni
diterpa angin menderai
taman surya kian asri malam ini
penjual-penjual balon mainan anak
tidak juga kulihat di sana
spanduk slogan kepahlawanan
terpampang di atas baliho
dan di antara pepohonan hijau
meneriakkan pesan-pesan
pahlawan
lampu-lampu hias
di sekitar patung sudirman
menambah pantas tata-rias
di gelap malam kota pahlawan
pasukan kuning masih tampak setia
mengayun sapu lidinya malam ini
menyiapkan keindahan rasa setiap mata
sebelum parak pagi menjemput tiba
esok hari, adalah hari pahlawan
kita peringati bersama
kita adakan upacara bendera
melepas ikhlas doa
teruntuk sang pahlawan bangsa
taman surya malam hari pahlawan
semakin cantik berdandan
malam sepi di taman surya
semakin mengusik hatiku berkata
“pahlawan bangsa
tidak hanya mengangkat senjata
pasukan kuning dan sapu lidinya
guru dan rasa ikhlasnya, termasuk
di antara mereka.”
Surabaya, 9/11/1988
aming aminoedhin
TERMINAL LARUT MALAM*
malam selarut ini, pernah
kita terperangah harus ke mana arah
diputuskan?
sebab kita nyaris alpa
jika garis kencan malam telah habis
(mungkin kita alpa atau barangkali
kita melupakan garis tepi?)
kembali ke alamat semula
atau harus pulang
ke rumah pondokan?
(sulit menentukan batas pasti)
padahal kita tahu jika
pintu rumah keduanya
telah pasti tertutup rapi
pada malam selarut ini
lalu hanya bisa termangu-mangu
menghitung jam menunggu pagi
malam selarut ini
ke mana langkah kaki kita
diarahkan lagi?
malam selarut ini
kini aku sendiri di sini
sambil mengingat peristiwa lama
yang dulu merupakan dilema
malam selarut ini
hanya sisa kenangan tertinggal
lantas ada terminal dalam hati
kian terasa sepi
Surabaya, 1989
aming aminoedhin
GENTENGKALI SIANGHARI*
hari telah siang. ada rimis hujan jatuh sebentar
telah habis oleh mentari yang kembali membakar
ada perasaan riang. setelah sua dalam kabar
dengan perempuan berkacamata yang berbinar
cerita-cerita lama kembali digelar
seperti air yang mengalir terasa segar
cerita-cerita memilih artinya sendiri
pada kenangan yang masih sempat terpatri
ternyata pintu hati masih terbuka
untuk misteri bernama cinta
meski tertangkap samar, namun masih
terasa ada bergetar
Surabaya, 1989
aming aminoedhin
PATUNG SUDIRMAN I*
pada hari pahlawan ini
kau semakin tampak tegap berdiri
pedang di pinggang
menatap panasnya siang
aku hanya bisa melepas doa
bagimu, sang pahlawan
doa seorang penyair
sepanjang dzikir
Surabaya, 1988
aming aminoedhin
PATUNG SUDIRMAN II*
aku menatapmu lama-lama
pada hari pahlawan tiba
mengamati sosok patung pahlawan
negeri ini, dengan
membaca pesan-pesan tertulisi
di bawah patungmu sepi
aku menatapmu lama-lama
pada hari pahlawan tiba, lalu
ada suara hati melepas doa
terucap tanpa suara
mengamati patungmu berdiri
mengaca pada cermin sendiri
ternyata, kita semua
belum berbuat apa-apa
untuk negeri tercinta
Surabaya, 1988
aming aminoedhin
EMBONG MALANG*
menelusuri jalan embong malang sianghari
terasa jalanan mengambang kebak polusi
kendaraan mengalir satu arah
keringatku mencair begitu gerah
memandang selatan jalan embong malang
terasa diriku hilang ditelan gedung menjulang
engkaukah yang telah mengubah
wajah kota begitu gagah
atau mungkin menyulap kota tampak begitu gagah
sementara di beberapa tempat
banyak orang mengumpat
soal pendapatan upah buruh taklagi diterima utuh
soal rumah leluhur menyimpan arsitektur lama
dengan pongah digusur-gusur, kota lama
seperti telah dikubur
embong malang jalan satu arah
tak memberi satu arah, bagi
arti kehidupan tanpa jurang pemisah
antara yang mewah dan lainnya berdarah
atau mungkin bernanah?
Surabaya, 1996
aming aminoedhin
DI KOTA*
di kota
pabrik itulah yang mengubah udara
jadi bertuba
di kota
manusia itulah yang mengubah anak
jadi robot tanpa jiwa
di kota
manusia itulah yang mengubah cinta
jadi uang yang segalanya
di kota
akulah orang yang terpuruk
kehilangan suara
Surabaya, 7 Januari 1996
aming aminoedhin
SIMPANG LIMA BLAURAN
di simpang lima Blauran waktu malam
hanya kulihat lampu-lampu iklan gemerlap
beribu orang lalu-lalang, dan beribu
lampu-lampu mobil dengan cahaya bersilangan
di trotoar jalan Blauran penuh pedagang
pedagang kakilima mengadu peruntungan
di bawah angin di bawah hujan di bawah malam
dari penjual koran, kupon undian sampai celana dalam
lampu iklan warna-warni, dengan
cahaya kelap-kelip sepanjang malam
berebut menarik sejuta mata pembeli
agar mereka jatuh hati
di simpang lima Blauran waktu malam
aku hanya bisa menatap lampu iklan gemerlap
tanpa menaruh hati. tanpa punya niat
untuk terjerat membeli
Surabaya, 1986
aming aminoedhin
TAMAN SURYA BULAN PAHLAWAN
malam ini tidak seperti biasanya
taman surya hanya sepi saja, anak-anak
dan orangtua mereka tak nampak
bermain di antara bunga-bunga
di dekat pintu pagar utama
ada terpancang baliho besar
memuat kobar semangat pahlawan
bagi siapa melihatnya
di luar pagar ada berjajar
sepuluh sang saka jumlahnya
berkibar karena angin menerpa
di antara bunga-bunga taman
kain rumbai berjuntai warna-warni
diterpa angin menderai
taman surya kian asri malam ini
penjual-penjual balon mainan anak
tidak juga kulihat di sana
spanduk slogan kepahlawanan
terpampang di atas baliho
dan di antara pepohonan hijau
meneriakkan pesan-pesan
pahlawan
lampu-lampu hias
di sekitar patung sudirman
menambah pantas tata-rias
di gelap malam kota pahlawan
pasukan kuning masih tampak setia
mengayun sapu lidinya malam ini
menyiapkan keindahan rasa setiap mata
sebelum parak pagi menjemput tiba
esok hari, adalah hari pahlawan
kita peringati bersama
kita adakan upacara bendera
melepas ikhlas doa
teruntuk sang pahlawan bangsa
taman surya malam hari pahlawan
semakin cantik berdandan
malam sepi di taman surya
semakin mengusik hatiku berkata
“pahlawan bangsa
tidak hanya mengangkat senjata
pasukan kuning dan sapu lidinya
guru dan rasa ikhlasnya, termasuk
di antara mereka.”
Surabaya, 9/11/1988
aming aminoedhin
SURABAYA, CINTAKU KIAN BERJUTA
surabaya
adalah kota yang tak pernah ada
dalam impian benakku sejak mula
masa kecilku di desa
surabaya bagiku ketika itu
adalah kota maha dahsyat
penuh maksiat, tetapi sekaligus kota
santri di kampung arab
bermula ketakutanku datang
di kotamu, hanya rasa bimbang
dan seribu ambigu tentang kedahsyatan
maksiat yang sarat atas kotamu
adakah bisa bertahan jiwa iman
dalam diriku, jika aku harus
mengais hidup di kotamu
tapi surabaya
adalah kota yang kemudian
menjadi pantai, di mana aku
terdampar menggapai-gapai
bermula hidup di surabaya
terasa hari-hari penuh fatamorgana
tertatih berjalan melewati
kerikil tajam kehidupan
meraba-raba seperti tanpa mata
mencari sisa rasa cintanya, yang berjatuhan
entah di mana?
surabaya
setelah serpih demi serpih cintamu
tergenggam tanganku, ada benih
beribu rasa cintaku mengembang
surabaya
kini cintaku kepadamu kian tumbuh
kotamu jika siang semakin teduh
kian mempesona lantaran adipura
semakin asri jika datang malam hari
sebab lampu-lampu iklan
yang selalu gemerlapan
surabaya
lampu-lampu iklanmu
adalah sebagai kekayaan kota
tapi sekaligus racun bagi
wargamu, dan merupakan gincu
keindahan yang hanya semu
surabaya
cintaku kian berjuta jumlahnya
tapi berjuta pula rasa inginku
meninggalkan kotamu
mengapa bisa begitu
aku tiada pernah tahu?
Surabaya, 1989
aming aminoedhin
ENTAH BISA DEMIKIAN JADINYA
* pro. hm
di surabaya ini, aku tak kuasa lagi bicara
soal politik, apalagi bicara sosial berbau kritik
sedang bicara moral, seperti telah
kehilangan akal
entah bisa demikian jadinya?
padahal dulu, ketika masih kuliah bersamamu
kita punya ambisi jadi politisi atau kritisi
bahkan jika mungkin jadi kyai
tapi semua, ternyata hanya mimpi belaka
entah bisa demikian jadinya?
kota ini telah demikian padat iklan
kebanyakan orang tanpa sadar kehilangan iman
aku terjerat dan bahkan tersudutkan
(barangkali benar arti kata politik
yang dulu kita analisa sebagai barbar
mencapai tujuan halalkan cara apa saja)
sebab di sini banyak orang berdagang dan bekerja
menggunakan politik sebagai pisaunya
sedang kritik yang terlontar dan diteriakkan
hanya menggelitik tawar tak lagi mempan
kerja sosial berbau amal dan moral, hanya
sebatas tercatat di koran harian atau berita
televisi yang tampaknya manusiawi
bicara religi, kota hanya suara nyanyian tawar
yang kudengar. sedang orang ngaji
tak pernah terdengar lagi
di surabaya ini, hampir-hampir aku tak lagi
bisa menulis tentang puisi. mungkin karena
polusi atau karena sirnanya semua ambisi
dan jika kembali kau sempat sua
aku tak lagi bicara seperti dulu
demikian berambisi dan menggebu
entah bisa demikian jadinya?
Surabaya, 1989
aming aminoedhin
TANJUNG PERAK MALAM KESEKIAN
bemo itulah yang mengantarku
ke tanjung perak malam kesekian
lantaran mataku tak mau pejam
hingga larut malam begini sunyi
harus sendirian pergi
sepanjang perjalanan kutempuh
telah lengang dari orang, sedang suara-suara riuh
yang sesekali terdengar, adalah truk-truk
trailer dengan muatan sarat terbatuk-batuk
tanjung perak malam kesekian
kutempuh karena mata tak mau pejam
kapal-kapal bersandar di dermaga tegar
lampu-lampunya terang bersinar
kuli-kuli pelabuhan masih setia
menurunnkan muatan di malam buta
begitu pula pemancing muda usia
setia mengganti umpan pada kailnya
sesuap nasi, ternyata ada yang harus
melawan kantuknya malam
melawan bisunya kelam
sekeping hati, ternyata ada yang pupus
melawan suntuknya mata terpejam
melawan rindunya terpendam
karena di tanjung perak
tak kutemukan lagi jejak
ke mana perginya sosokmu
hingga berminggu-minggu
tanjung perak malam kesekian kali
hanya aku yang termangu-mangu
sedang rinduku disembunyikan
kapal-kapal itu, yang bergoyangan
dihempas laut tetap tegak membisu
Surabaya, 1990
aming aminoedhin
SURABAYA MUSIM KEMARAU
surabaya kini lagi musim angin
malam begitu dingin. karena sahabat setia
kemarau panjang ini adalah debu
yang diterbangkan angin polusi selalu
dengan cuaca begitu panas sekali
di siang hari
ke mana perginya awan dan hujan
aku tiada pernah mengerti?
daun-daun pepohonan sepanjang jalan kota
telah berapa lama jatuh
dahan dan ratingnya kering. matahari
dengan leluasa membakar bumi. sangar sekali
air kalimas susut. berwarna keruh
hitam dan menakutkan
ini musim kemarau panjang. tapi limbah industri
terus mengapungkan busa. putih-putih
di atas sepanjang alur kalimas berbuih
kalimas merintih!
akulah saksi itu., surabaya musim kemarau
segalanya seperti risau. bahkan suara-suara
mobil berlarian terdengar parau. kacau!
kota telah dibakar laju peradaban dunia
barangkali mengejar mimpi teknologi
bahkan mungkin ambisi demi ambisi
tanpa batas tepi. tanpa ada teraih di tangan
seorang pemimpi. ilusi!
surabaya musim kemarau
hijau daun pepohonan berganti warna
asap cerobong pabrik terus mengobrak-abrik
udara kota. sesak terasa di dada
sandiwara peradaban kota terus berlangsung
tanpa ujung tanpa juntrung
lantas ke mana rasa bimbang ini
harus ditimbang?
kepada dewan walikota. atau pada
pak walikota? kepada angin, atau pada
musim dingin?
surabaya musim kemarau
teriakanku semakin parau
hati pun kian semakin risau
Surabaya, 1991
aming aminoedhin
THR SURABAYA MALL
lalu lampu-lampu itu pun padam
keindahan taman tinggal kelam
tinggal sepi (mungkin) sunyi
menyekap diri
tak ada lagi gemontang musik rock
di pangung terbuka. tak ada lagi
gelak tawa penonton srimulat
dan tepuk riuh
penonton wayang orang bergemuruh
tak ada lagi! tak ada lagi!
hanya lagu disko. ada juga dangdut
dari la-surya kian membalut
malam larut. kian membuat hanyut
dalam goyang berlarut-larut
bagi mereka yang tersudut
sedang ludruk tinggal cerita
dari mulut ke mulut
tak pernah runtut. selebihnya
ada di televisi tanpa rohnya lagi
barangkali hambar (mungkin) tawar
di telingamu kini
lalu lampu-lampu itu pun padam
keindahan taman tinggal kelam
tinggal sepi (mungkin) sunyi
sedang mengingat ludruk kembali
terasa kehilangan diri
Surabaya, 1991
*) la-surya, rumah disko atau diskotik
aming aminoedhin
SEKALI LAGI SURABAYA
· teruntuk annie di cimahi
surabaya telah mengajarku membaca
tentang lupa, dusta dan segala dosa
yang ditawarkan setiap hari-harinya
surabaya telah mengajariku berkata
untuk tidak gampang lupa gampang berdusta
tidak pula gampang menghimpun dosa
tanpa memperhitungkan angka
surabaya telah mengajariku membuka hati
seluas padang sabana menghijau warna
surabaya telah mengajariku membuka pikir
sebening telaga sejernih air segarnya
tanpa rasa pongah apa lagi kikir dalam berpikir
lantas pintar berdusta dan lupa segala
tidak! sekali lagi tidak!
surabaya telah mengajarkan ketegaran demi ketegaran
dari seribu sandungan demi sandungan
tanpa terhitungkan. dengan beribu batu sandung uji
aku tetap berdiri tegak bersitahan. sendiri!
surabaya! sekali lagi surabaya!
telah mengajarku bicara apa adanya
meski kau tahu pasti
bahwa surabaya begitu gemerlap
penuh gincu keindahan yang hanya sekejap
surabaya penuh rumah mewah nan megah
tanpa satu pun aku memiliki tiada pernah
penuh mobil-mobil bergengsi dan beribu taksi
tapi aku tak punya. hanya naik bemo lebih nikmat terasa
surabaya! sekali lagi surabaya!
sejuta keangkuhan ditebar di jalanan
sejuta maksiat disembunyikan lampu gemerlap
surabaya! sekali lagi surabaya!
berjuta orang meneguhkan iman di bulan ramadhan
berjuta orang berbuat demi hidup yang sehat
surabaya! sekali lagi surabaya!
kebersihan kotanya mendapatkan adipura
adalah kebersihan warga bersama walikota
menata metropolitan kedua ini jadi mempesona
surabaya! sekali lagi surabaya!
hanya berbekal segerobak cinta
mengekalkan kesetiaan imanku tegak adanya
surabaya! sekali lagi surabaya!
mengajariku lebih banyak membaca tanda-tanda
mengajariku tahu hidup lebih sederhana
apa adanya. tanpa muatan prasangka-prasangka
seperti pahlawan bangsa
Surabaya, 1991
aming aminoedhin
MEMANG BENARLAH MALANG
malanglah kau jika dalam langkahmu sekarang
di mana kota telah mengajarmu pintar berdusta
lebih lagi bila gincu dan gemerlapnya barang-barang
sebagai topeng sembunyikan segala
padahal bagiku, kota
adalah referensi bagi teguhnya hati
tetap tegak berdiri. tanpa goyah
meski batu-batu uji
telah saling-silang berganti
seperti tanpa henti
memang benarlah malang
apabila kota menjanjikan kata bimbang
lewat persimpangan-persimpangan
tampak begitu gemerlap, dan
kau memilih gemerlap yang hanya sekejap
barangkali kota pula
yang telah menggergaji ingatan janji
menepiskan impian mudah sekali pergi
tanpa timbangan hati nurani
memang benarlah malang
bagi orang yang lupa diri
tanpa kendali
Surabaya, 1991
aming aminoedhin
BERJAMAAH DI PLAZA
kata seorang kyai, belajar ngaji
adalah amalan yang patut dipuji
dan sholat berjamaah
dapat pahala berkah
berlipat-lipat jumlah
tapi kenapa banyak orang
belajar nyanyi, belajar tari
dan baca puisi?
tapi kenapa banyak orang berjamaah
hanya di plaza-plaza
hamburkan uang berjuta-juta?
adakah ini dapat dipuji, dan
adakah plaza menyimpan pahala
berlipat ganda?
ah… barangkali saja, plaza-plaza
telah jadi berhala baru
yang dipoles gincu
begitu indah
dan banyak orang ikut berjamaah
Surabaya, 1992
aming aminoedhin
KEPADAMU SURABAYA AKU BERTANYA
· kalung ulang tahun Surabaya 701
kepadamu surabaya aku bertanya
ke mana arah singgah
bermilyar rupiah itu
bermuara setiap hari?
ke mana aku harus mencari
jejaknya yang tiada tampak
oleh silaunya lampu iklan gemerlap
oleh gebalaunya mesin pabrik
oleh saling-silangnya mobil mewah
di jalan raya, mengusung
polusi udara di atas kota
langit jadi mendung
tapi hujan tak juga turun
ke mana aku harus mencari
jejaknya yang tiada juga tampak
oleh gelapnya jalan keadilan
oleh gelapnya jalan kebenaran
sedang tatap mataku pada lampu iklan
telah begitu asing
sementara kupingku bising oleh suara mesin
mataku kabur oleh polusi udara menghablur
mataku kabur oleh jalan kebenaran
yang hanya menghibur
barangkali hanya kepadamu surabaya
aku terus menterorkan tanya
ke mana kausembunyikan pembunuh
Marsinah, sedang para buruh
terus kau peras untuk menekan
rasa lelah dan menekan bayaran upah
di mana ada pintu sanubari terbuka
semua terkunci bagi penggagas hati nurani
semua terkunci bagi penggagas seni murni
dan terkunci pula pikiran waras
yang kini dikebiri
kepadamu surabaya aku bertanya
benarkah beribu pasang lampu iklan
di sepanjang jalan, hanya sebagai
gincu keindahan kota berdandan
dan kelap-kelipnya iklan
seakan cibiran bagi slogan
“mengentas kemiskinan”
yang banyak didengungkan birokrat
hampir tiap saat
tidakkah kita bersama-sama
“mementaskan kemiskinan”
dan kemudian bersama-sama pula
mata kita terjaga atau mungkin geleng kepala
bahwa kemiskinan ternyata masih
terlalu banyak dari hitungan sebenarnya
kepadamu surabaya aku bertanya
ke mana arah singgah pertanyaanku
akan terjawab oleh keindahan kotamu
mungkinkah gedung-gedung menjulang
telah sembunyikan jawaban
atau kelap-kelip lampu iklan
yang telah membungkus kebusukan beribu
dengan gincu keindahan yang hanya semu
kepadamu surabaya aku bertanya
sekali lagi kepadamu
surabaya kotaku
Surabaya, 1994
aming aminoedhin
MEMANDANG SURABAYA KINI
memandang surabaya kini
kau pasti tak percaya lagi
kota bagai mimpi
kalimas begitu indah bersih
tak terdengar lagi suaranya sedih
yang dulu terdengar bagai merintih
rintih begitu perih
bila malam melangkah
kalimas kini begitu indah
lampu-lampu taman kota
berkelipan di cermin
alirnya air kalimas nan jernih
senja hari tiba
taman kota pinggir kalimas
menjanjikan arena bermain
tanpa bayar bagi anak-anak kota
hingga puas
memandang surabaya kini
seperti masuk kota mimpi
segala disulap begitu gemerlap
lampu-lampu iklan di jalanan
tanpa henti berkejap semalaman
perempuan bagai peri berjajar
di jalanan, menebar birahi
bagi lelaki kesepian
memandang surabaya kini
kau tak percaya lagi
taman-taman kota tertata rapi
pohon-pohon pelindung jalan
meneduhi, sedang di sisi lain
unjuk rasa berbagai soal
terus didengungkan jalin-menjalin
ah… barangkali saja
surabaya kini potretnya pabrik
unjuk rasa yang telah jadi tradisi
dan ini adalah menarik
bagi peneliti
Surabaya, 1996
aming aminoedhin
EMBONG MALANG
menapaki trotoar jalan embong malang
terasa jalanan mengambang kebak polusi
kendaran mengalir satu arah
keringatku mencair begitu gerah
memandang selatan jalan embong malang
terasa diriku hilang ditelan gedung menjulang
engkaukah yang telah mengubah
wajah kota begitu indah
atau mungkin menyulap kota
tampak begitu gagah?
sementara di beberapa tempat
banyak orang mengumpat
soal pendapatan upah buruh
tak lagi diterima utuh
soal rumah leluhur menyimpan arsitektur lama
dengan pongah digusur-gusur, kota lama
seperti telah dikubur
embong malang jalan satu arah
tak memberi satu arah, bagi
arti kehidupan tanpa
jurang pemisah, antara yang mewah
dan lainnya berdarah, atau
mungkin bernanah
Surabaya, 1996
aming aminoedhin
MENYUSURI JALAN KOTA SURABAYA
menyusuri jalan-jalan kota surabaya
tak kutemukan sejumput kata
untuk direkrut dalam bangunan sajak
di hiruk-pikuk kota menggelegak
menyusuri jalan-jalan kota surabaya
dibangun kantor-kantor bank berjejer
padahal jaman tergelontor krisis moneter
kantor-kantor bank kian megah bertengger
menyusuri jalan-jalan kota surabaya
mata kita dipaksa membaca iklan gagah terpampang
dari kelap-kelip lampu waktu malam
gambar gadis ayu jualan sabun di siang terang
sampai iklan-iklan kecil jamu racikan
les privat, badut ulang tahun, dan tukang talang
terpajang di pohon-pohon perindang jalan
menyusuri jalan-jalan kota surabaya
mobil berdesakan sering terjadi kemacetan
jalan-jalan kota kian kebak polusi
hari-hari polusi serasa tiada henti
sedang polisi yang jaga sejak pagi
hanya mencari kesalahan
dan bukan membenarkan salah pengendara
rambu-rambu berfungsi semu. mungkin hanya gincu
untuk menjebak pengendara tak tahu
terpaksa keluarkan uang saku
menyusuri jalan-jalan kota surabaya
tak kutemukan sejumput kata
untuk direkrut dalam bangunan sajak
agar hidup tak terasa sesak tak terasa berdesak
Surabaya, 1999/2000
aming aminoedhin
JEMBATAN MERAH I
di terminal jembatan merah hati gelisah
menanti janji kemarin diucapkan
tentang kencan seorang kawan
cuaca kota semakin gerah
di antara asap kepul kendaraan
yang berebut penumpang, telah
melaju menjangkah tujuan
jam semakin cepat merambat
senja semakin memburu kita
perasaan semakin memberat
dalam lingkar keinginan sua
matahari terlena senja pun tiba
keberangkatan tanpa bertemu
menekan sejuta rasa jemu
dalam menunggu
1985
aming aminoedhin
JEMBATAN MERAH II
menepati janji sendiri
terkadang bagai bumerang
bagi diri sendiri
dari siang hingga senja merembang
teman kunanti tak juga datang
membuat hati semakin bimbang
jembatan merah
merahnya semakin merah
dalam tatap mata mengharap
kawan sekerja terdekat
belum juga terlihat
adakah pasti diperpanjang lagi
saat menanti seperti ini
sedang rasa jenuh telah luruh
pada hati menyeluruh
adakah?
1985
aming aminoedhin
JEMBATAN MERAH III
penantianmu sia-sia saja
sebab kencan yang telah diucapkan
hanya lahir dari bibir belaka
penantianmu tanpa makna
hingga jenuh dalam menunggu
takkan sampai arah sua
asap mobil, suara calo, dan tukang becak
tukang parkir, sopir bemo, dan pedagang sawo
takkan bisa menjawabnya
jembatan merah dan gedung megah
jalan raya dan terminal
takkan bisa ditanya
deru bus mangkal di terminal
memburu hatimu bertambah kesal
1985
aming aminoedhin
RAYA DARMO
demikian panjang jalan raya
dan padat kendaraan berlarian
demikian teduhnya raya darmo
terbelah pepohonan nan hijau
seperti panjangnya rinduku
memuat hasrat berpacu
seperti luruhnya hati risau
bila telah kembali bertemu dikau
(ada hasrat tetap melesat
tapi pintu sua kembali
tak berujung pasti)
jalanan semakin panjang
kaki menempuhnya bimbang
lalu ada wajah keruh
hanya berupa bayang
semakin mengambang
Surabaya, 1988
aming aminoedhin
JOYOBOYO DINIHARI
kelelahanmu telah mengantarkan
matamu terpejam sejenak
dari perjalanan malam
tanpa kepastian jarak
bersandar pada kursi ruang tunggu
menanti pagi menjemput kembali
menuju kota semalam kautinggalkan
ternyata kata cinta
mengalahkan segala
memang benar adanya
kerja seharian melelahkan
jadi sirna oleh satu kata cinta
memasuki terminal joyoboyo dinihari
suatu kali, mengingatkan kau kembali
tertidur memelas bersandar kursi
mamasuki terminal joyoboyo dinihari
hanya ilusi mengejar membuntuti
sedang kau tak ada lagi di sini
Surabaya, 1989
aming aminoedhin
BILA TERASA SESAK DI KOTA*
Bila kau telah merasa sesak di tengah kota
bernafas tak bisa lega
bekerja tak bisa prima
beranak-pinak merasa tersiksa
maka tak pelak lagi, kau harus bergerak
tinggalkan kota, dan kau harus
tinggal di kampungku kini
Kampung yang pepohonannya rimbun
burung-burung masih berkicau merdu
udaranya tak bermuatan asap polusi
dan rumah-rumahnya tertata rapi
Tak perlu khawatir, kampungku
telah punya air melalui pipa-pipa
yang setiap hari mengalir
demikian pula listrik sumber cahaya
malam hari, telah menyala apik
jika malam tiba
Dari perkotaan, kampungku tak begitu jauh
hanya beberapa menit dapat ditempuh
Sekali lagi, bila kau merasa sesak di tengah kota
kini tinggalah di kampungku yang menjanjikan
hidup ini lebih punya makna arti
Surabaya, 3/10/1989
aming aminoedhin
SENJA DI STASIUN KOTA
ketika senja telah merapat
kereta itu pun berangkat
ke mana perginya sepi
dibawa peluit kereta barangkali?
stasiun kini tinggal bangku peron
kosong melompong seperti pentas ludruk
yang kini surut ditinggal penonton
mentari tinggal warna merahnya
melukis langit di ujung senja
sepi kian kental adanya
menggaris dan menggigit rasa
Surabaya, 1989
aming aminoedhin
DI ATAS BEMO TENGAH KOTA
Aku tersudut di pojok tempat duduk bemo, mengantarku
ke tempat kerja, menembus hutan beton, dan rimbanya mobil-mobil
yang berebutan jalan di siang yang panas. Peluh yang berjatuhan
dari tubuhku, seperti hujan yang jatuh. Kota demikian gerah
oleh matahari yang membakar gagah.
Di atas bemo itu, seorang Ibu muda bercerita tentang
anaknya yang tidak diterima sekolahan negeri, dan
terpaksa ke sekolah swasta. Kepada temannya yang juga
tampak masih muda usia, dia mengeluh, betapa mahalnya
buku dan bangku yang harus dibayar ketika itu.
Sementara itu dua perawan yang tampaknya mahasiswa, dialog
tentang masalah sosial budaya kini tak lagi diacuhkannya.
Mereka bicara soal betapa gagahnya plaza yang satu, dengan
lainnya. Sedangkan bicara kritik apa lagi politik, telah sirna
dari mulutnya. Kering bagai pergigi di musim kemarau panjang
sekali. Tapi jangan tanya soal lipstik dan diskotik, dia lebih tahu
dari disiplin ilmu yang kini ditekuninya.
Seorang lelaki setengah baya, bertanya kepada seorang Ibu tua
yang baru pulang dari pasar menjual dagangannya. Pertanyaan
tentang rugi-laba yang dibawa pulang, setelah kerja semalaman.
Dan ternyata jawaban yang terlontar, di luar dugaan yang saya
kira. Di luar dugaan kita. Dan kau pasti tak percaya!
Lantas aku hanya bisa mengelus dada. Ternyata hidup tidak
selamanya diharapkan semula. Memburu untung malah buntung.
Merasa rugi, ternyata malah ketiban rejeki.
Bemo terus berlari, asapnya menambah polusi
setiap pembicaraan yang kutangkap hari ini
Penumpang selebihnya, adalah pegawai negeri yang bicara soal
kantornya yang kini kena wajib apel siang dan pagi. Dan
kebingungan, lantaran harus ngantar anaknya sekolah pagi-pagi.
Ada juga penumpang yang tampaknya wanita pramuniaga sebuah
toko di plaza --- diam, dengan dandanan seronok --- membuat
mata lelaki siapa tak melorok?
Bemo terus berlari, di antara mobil-mobil begengsi
Seperti larinya pikiranku dan hati, yang menyimpan rasa iri
Di Jalan Gentengkali aku turun. Sedang celoteh dua Ibu muda,
dua perawan mahasiswa, lelaki setengah baya, Ibu tua, dan
semua penumpang bemo di atasnya --- aku tak tahu lagi
kelanjutannya --- ke mana dan tentang apa?
Surabaya, 1990
aming aminoedhin
KOTA KETIGA*
* surabaya
kota ketiga ternyata hanya
menakar hidup dengan angka-angka
setiap detak langkah manusia
dihitung dengan angka
dari angka ke angka
surabaya ditakar harganya
sejengkal tanah jutaan harganya
di atas gedung bertingkat adalah angka iklan
berjuta pula harga ditawarkan
jalan-jalan raya tengah kota
dihitung pula dengan angka
karena bemo dan bus kota
taksi dan angguna
saling berebut angka-angka
belum lagi soal mulut bicara
di gedung-gedung bertingkat digelar
dari soal janda, busana, senam, dan bahkan
seks jadi bahan seminar. semua itu
dibayar dengan angka-angka
kota ketiga bernama surabaya
mataku risih menatapnya. lalu
adakah rasa samar dalam kalbu
bersih sirna pada perahu hidupku
di hari esok melaju
Surabaya, 1990
aming aminoedhin
TAMAN KOTA
* taman surya
di taman kota
aku memandang keindahan sempurna
bunga-bunga rapih tertata
jalan-jalan kecilnya bersih di mata
sedang bangku-bangku diam membisu
air mancur di tengah taman kota itu
gemericik tak mau diam
tiang-tiang bendera berjajar
dengan benderanya berkibar-kibar
di depan halaman taman kota
lampu-lampu taman kota bersinar
cahayanya terang berbinar
di taman kota
aku terbayang wajah kumuh kota
di pinggir-pinggir kalimas
begitu jelas membekas
rumah-rumah plastik
berderet jemuran baju cabik-cabik
ada juga celana dalam dan beha lusuh warna
sedang penghuninya orang-orang tersisih
mengais sisa rejeki kota bisa teraih
sepanjang hari tertatih-tatih
tanpa sedikitpun merintih
di taman kota
aku membaca diri tanpa tahu diri
tentang sebuah arti rasa iri
tak perlu di perpanjang lagi
karena etos kerja tanpa henti
adalah kunci
karena rasa iri hanya menggergaji
diri sendiri
Surabaya, 1991
aming aminoedhin
PLEMAHAN LAMPU MATI
ketika sunyi menyapaku kembali
lantas apa yang harus kutulis
dalam baris puisi
malam pekat di sini. hanya melati
aromanya tegak berdiri. mewangi
menyapa diri
ada juga lompatan hati
terasa ada yang telah pergi
datang kembali
barangkali nama perempuan
atau mungkin bernama kesunyian?
Surabaya, 1991
aming aminoedhin
SEPANJANG JALAN KREMBANGAN
* listya uran
melangkahkan kaki di larut malam begini
terasa segalanya jadi sunyi
karena ada ketidakpastian
di hati berkejaran
(hanya suara sepatuku kian teratur
memberi isyarat tetapnya hati menghibur
melangkah berani. melangkah pasti)
sepanjang jalan krembangan
masih menyimpan suara bimbang
suara-suara siapakah?
Surabaya, 1991
aming aminoedhin
RAYA DARMO SUATU SIANG
orang-orang berarakan sepanjang raya darmo
berkostum merah menyala dengan merah bendera di tangan
sambil meneriakkan yel-yel kemenangan, berbareng
suara motor-motor mereka yang memekakkan telinga
tanpa hiraukan panas cuaca, tanpa hiraukan serak tenggorokan
tanpa pula menghitung siapa punya jalan?
mereka itu adalah barisan anak-anak muda
berhati berani semerah kostum mereka
mengacungkan tiga jari tinggi-tinggi
meraih massa diajak bermimpi
orang-orang berarakan sepanjang raya darmo
mempolusikan udara kota tanpa hirau
ini sebuah pesta demokrasi
mengapa kau tak ikut meraih mimpi-mimpi?
Surabaya, 1992
aming aminoedhin
SAL RS DARMO
* perawat tercinta
suara igauan atau erangankah itu
yang menggetarkanku di malam
telah lengang seperti ini?
sementara aku tergeletak lemah di ranjang
terbaring sakit menahan segala erang
yang menjepit seluruh tubuh
hingga parak subuh
barangkali malaikat telah turun
menjengukmu kawan, atau
mencari data sesiapa yang bakal
diajaknya pergi ke surga
di esok lusa?
di ruangan sal rumah sakit Darmo
aku hanya bisa berdoa, sambil
terbaring menghitung tetes air infus
yang mengunciku di ranjang
tak bisa beranjak, apa lagi pulang
ah… kawan, suara igauan
atau eranganmu itu, hanya menambah
debaran hatiku kian berlarian
semakin lelah semakin resah
Surabaya, 1992
aming aminoedhin
SEPIRING NASI KAKILIMA
surabaya, aku telah lelah menuliskannya
barangkali tak ada yang menarik
bicara kritik apa lagi tentang politik
bicara kritik dilawan clurit
tentang politik dikatakan sengit
sebab kegelisahan warga kota
telah terwakili koran pagi
di halaman muka
di surabaya ini
opini masyarakat
telah digiring dalam satu jaring
(mufakat) untuk secara bersama
dalam satu suara
surabaya, aku telah lelah bicara
tentang kotamu yang kian malang-melintang
oleh jalan, dan gedung-gedung menjulang
lelah bicara iklan-iklan yang menantang
mengubur slogan kebersihan
mengubur rambu-rambu jalanan
surabaya, aku telah lelah bicara
tentang kritik apa lagi politik
karena suara puisi
hanya membentur dinding-dinding kota
dan harga sebuah puisi
hanya sepiring nasi kakilima
ingat, sepiring nasi kakilima
Surabaya, 1992
aming aminoedhin
PURABAYA SABTU SENJA I
setiap hari sabtu senja di purabaya
melaut manusia berebut tumpangan bus antarkota
beribu manusia seperti memburu waktu
padahal jam terus melaju
mentari di barat seperti memberat
beribu manusia berjejal hampir sekarat
bus antarkota melaju terseok-seok
kami semua yang tak terangkut melongok-longok
Surabaya, 2000
aming aminoedhin
PURABAYA SABTU SENJA II
panorama sabtu senja di purabaya
kau aku seperti tak percaya
orang-orang begitu melaut jumlah
berlari ke sana kemari tanpa rasa lelah
panorama sabtu senja di purabaya
kau aku seperti tak percaya
orang-orang berebut mencari kursi
di bus antarkota tanpa henti
orang-orang berebut mencari kursi
layaknya kursi legislatif yang dicari
panorama sabtu senja di purabaya
kau aku pasti akan terkesima
melihat Ibu tua tak terangkut bus antarkota
tersedu menangis
di kursi ruang tunggu purabaya
tanpa ada orang menggubris
Surabaya, 2000
aming aminoedhin
NYANYIAN KOTA
pengamen kecil dengan ukulele kecil
berdendang di atas bus kota dengan suara melengking
nyanyian suaranya bersaing dengan deru suara knalpot
lagunya mendendangkan negeri kian berantakan
terasa pekak di telinga penumpang yang sesak
yang didesak. sedang pencopet terus gerilya
di antara lengah penumpang. repot!
penumpang berteriak, “dompetku dicopet!”
dompetnya melayang entah ke tangan siapa? orang-orang
yang tahu tak mampu memberitahu pencopetnya. karena takut
jika teman-teman seprofesinya mengancam keamanan pribadi
atau mungkin malah kena pisau belati
yang kehilangan hanya bisa bengong
mungkin terbengong-bengong? karena uang yang dibawa
pencopet, baru saja diambil dari hasil pinjam koperasi
kantornya. sedang anak-anak di rumah menunggu uang itu
untuk membayar seragam sekolah dan keperluan makan
sehari-hari. ternyata pulang hanya bawa tangan kosong
hidup katanya, “ternyata hanya dari kata ompong
ke ompong yang lain.”
bus kota terus melaju. anak pengamen mengedarkan kantong
ajaibnya. meminta bunga-bunga sosial penumpang yang ada
yang lain, masih memainkan ukulele dengan suara serak
bersama suara kenalpot berderak. nyanyiannya melagukan
tentang keroncong carut-marutnya negeri tercinta
lalu aku duduk terkantuk di antara kursi bus kota
hanya bisa bertanya, “benarkah Indonesia
sedang dalam frame carut-marut
bagi masyarakatnya?”
Surabaya, 2000
aming aminoedhin
PLAZA-PLAZA ITU
plaza-plaza itu dibangun tinggi megah
orang-orang berduyun memasuki berjamaah
plaza-plaza tinggi itu kian megah
mungkin juga pongah. lantaran
masjid kian sedikit orang jamaah
sedang plaza banyak orang ikut berjamaah
kian hari semakin bertambah
dengan hitungan tumpah-ruah
barangkali makanan amerika, sandang
dan hiasan dari eropa, serta hiburan sesaat
(mungkin sesat) dari negeri-negeri jauh itulah
menyihir orang-orang patuh ikut berjamaah
atau mungkin mereka itu mengira
bahwa plaza itu telah jadi agama baru
padahal plaza menyimpan gemerlap
hanya dalam hitungan sekejap
menawarkan hiburan penuh gincu
memuat keindahan hanya semu
barangkali plaza telah menjanjikan surga
bagi para jamaahnya. atau mungkin mereka lupa
ditipu keindahan lampu-lampu plaza
Surabaya, 2000
aming aminoedhin
SURABAYA AJARI AKU TENTANG BENAR
Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
Tanpa harus pandai menjilat apa lagi berlaku bejat
Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap
Ajari aku tidak angkuh
Apa lagi memaksa kehendak bersikukuh
Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lama kian rapuh
Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
jangan ajari aku gampang lupa gampang berdusta
jangan pula ajari aku dan warga kota, naik meja
seperti orang-orang dewan di Jakarta
Surabaya, ajari aku jadi wakil rakyat
lebih banyak menimang dan menimbang hati nurani
membuat kata putus benar-benar manusiawi
menjalankan program dengan kendaraan nurani hati
Surabaya ajari aku. Ajari aku
Ajari aku jadi wakil rakyat dan pejabat
tanpa harus berebut, apa lagi saling sikut
yang berujung rakyat kian melarat kian kesrakat
menatap hidup kian jumpalitan di ujung abad
tanpa ada ujung. tanpa ada juntrung
Surabaya memang boleh berdandan
bila malam lampu-lampu iklan warna-warni
siang, jalanan tertib kendaraan berpolusi
senja meremang, mentarinya seindah pagi
di antara gedung tua dan Tugu Pahlawan kita
Surabaya ajari aku. Ajari aku bicara apa adanya
sebab suara rakyat adalah suara Tuhan
kau harus kian sadar bahwa berkata harus benar
dan suara rakyat adalah suara kebenaran
tak terbantahkan. Tak terbantahkan!
Surabaya ajari aku tentang benar. Tentang benar!
Surabaya, 21 November 2005
aming aminoedhin
BENAR-BENAR MABUK MABUK BENAR-BENAR
Surabaya, benar-benar mengajariku mabuk
Mabuk tak hanya benar-benar mabuk mansion dan wisky
Tapi juga mabuk segala silau oleh gemerlap lampu bagai mata pisau
Meski aku tahu, penuh tipu penuh gincu
Aku juga mabuk tentang sebentuk kursi
Membiarkan orang-orang sekitar jadi frustasi
Surabayalah yang mengajariku mabuk lupa mabuk berdusta
Setiap langkah hanya kealpaan dan kedustaan
Besliweran di otak dan kepala
Dosa hanya seperti fatamorgana
Memakan dan memamah hak orang
Adalah kerja keseharian
Bahkan hak seorang kawan, apalagi lawan
Adalah sah bagi pemabuk jagoan
Bicara hati nurani aku tak sanggup lagi
Kebenaran adalah mansion
Keadilan adalah wisky
Rakyat biarkan mlarat kesrakat
Asal aku tetap sehat tetap kuat membabat
Benar-benar mabuk, mabuk benar-benar
Karena kata salah telah patah
kata benar telah tawar
kata hati telah mati
kata kursi telah jadi mimpi
Aku benar-benar mabuk, mabuk benar-benar
Surabaya, benar-benar mengajariku mabuk
Mabuk tak hanya benar-benar mabuk mansion dan wisky
bahkan mabuk mencari kebenaran dan keadilan
di rimba beton kota ini
aku tak kuasa menemukan hingga kini.
Surabaya, benar-benar mengajariku mabuk
Benar-benar mabuk, mabuk benar-benar
aku tak temukan kata benar hakiki
aku tak temukan kata adil yang pasti
Surabaya, 14/06/2006
aming aminoedhin
MEMBACA BULAN MERDEKA
* antara ngawi-surabaya
sepanjang perjalanan berlubang
jutaan bendera merah putih berkibar
barangkali indah di mata indah di hati
tanda ulang tahun negeri ini terayakan
oleh semua rakyat semua pejabat
tanda negeri ini merdeka, tapi entah kesekian kali
tak juga menemukan solusi kata merdeka
sepanjang perjalanan bulan merdeka ini
ratusan pejabat masih berlaku bar-bar
gembar-gembor bersuara menebar mimpi-mimpi kita
sementara rakyat hanya diajak bersabar
tanpa menemukan solusi ke arah negeri merdeka
benar-benar merdeka
kehormatan memang telah dibuang
keyakinan & iman telah lekang
upacara hanya sekedar upacara
hanya sebuah nama, tanpa memberi harga
apa lagi memberi sebentuk makna arti. merdeka
hanya baru dalam kata, tak menyentuh
makna arti hakiki, selebihnya janji-janji
sebentuk imaji
atau mungkin mimpi-mimpi
seringkali mimpi bisa jadi misteri
asa tinggal hampa, lantaran merdeka
tak kunjung tiba juntrungnya. sedang pejabat
hanya mengajak tamasya angan ke jauh awan
tak tersentuh genggam tangan
sepanjang perjalanan bulan merdeka ini
aku bertanya, hari merdeka telah tiba
adakah berjuta kibar bendera menyentuh matabatin kita
membuka mata membuka daun pintu merdeka
benar-benar merdeka?
membaca bulan merdeka
adakah masih perlu upacara
jika pejabat masih tetap bejat makan duit rakyat?
masih adakah?
Surabaya, 17/8/2006
aming aminoedhin
MEMBACA SURABAYA
membaca surabaya membaca negeri kaya raya tak terhitung angka-angka. harapan dan impian seperti hampa bagi pemula. tapi tidak bagi yang terbiasa mabuk dengan mulut berbusa. omongan tanpa rambu tanpa jeda, tak bisa dibedakan mana benar mana dusta. semua sama semua tanpa beda. benar adalah fatamorgana, dan fatamorgana adalah kebenaran nyata. siapa sangka?
membaca surabaya membaca negeri penuh para psk *yang menjaja di sepanjang jalan raya. rumah-rumah bordil, dari dolly hingga sepanjang rel. negeri indah menabur maksiat, tanpa merasa bejat. tanpa merasa tersesat. meski hidup kian melarat, hidup kian kesrakat.
membaca surabaya membaca negeri penuh iklan warna-warni. menawarkan lampu iklan di sudut-sudut jalan kota. menawarkan ketakbenaran dalam kemasan kebenaran. menawarkan racun yang hanya gincu. menawarkan indah yang hanya semu.
membaca surabaya membaca negeri menawarkan dzikir di taman-taman, tanpa pernah tahu kapan dzikir itu sampai kepada Tuhan. sebab segala dzikir yang diucap hanya sebatas bibir, tanpa muatan keyakinan. bukan syiar tapi malah lebih disebut unjuk gelar kekuatan. mungkin bisa bermuatan politik atau mungkin mencari massa mengarah satu titik? mungkin?
ah…. membaca surabaya seperti membaca warna-warna. ada merah menyala semerah saga, ada hijau muda dan tua, ada kuning sekuning bendera, dan bahkan ada biru sebiru rindu kita, menemukan kebenaran dan keadilan bagi semua
tak ketemu juntrungnya
membaca surabaya aku tak tahan meneruskannya. barangkali kau bisa membuat sederet lagi
kenyataan tak masuk akal
kenyataan-kenyataan tak bermoral
yang ada di kotamu, surabaya?
barangkali…?
Surabaya, 7-7-2006
* termuat di majalah Basis Yogyakarta, Agustus 1989
* termuat di koran Suara Merdeka Edisi Minggu – Semarang, April 1989
* termuat di majalah Basis Yogyakarta, Agustus 1989
* termuat di koran Surabaya Post Minggu, 28 Mei 1989
* termuat di koran Singgalang Edisi Minggu – Padang, 15 Oktober 1989
* termuat di koran Suara Indonesia – Malang, 28 Mei 1989
* termuat di koran Banjarmasin Post, 16 September 1989
* termuat di koran Banjarmasin Post, 16 September 1989
* termuat di koran Memorandum – Surabaya, 30 Juni 1996
*termuat di majalah Kebudayaan Basis – Yogya, September-Oktober 1997
* naskah pemenang lomba puisi iklan di koran kampus Undip, Semarang, 1989
* termuat di koran Surabaya Post, 3 Juni 1990
* penjaja seks komersial alias pelacur
Rabu, 27 Agustus 2008
Selasa, 26 Agustus 2008
pengajaran sastra puisi
Berbicara soal pengajaran sastra di sekolah maka tujuan yang harus dicapai ada-lah siswa mampu menikmati, menghayati, memamahi, dan memanfaatkan karya sastra; untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkat-kan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Di samping itu, secara khusus, siswa menguasai dan membedakan antara karya sastra berbentuk prosa, naskah drama, dan puisi. (B.Rahmanto, 2000:654).
Berangkat dari persoalan ini, maka pengajaran sastra Indonesia bertujuan sangat mulia, dan sangatlah penting bagi para siswa. Persoalannya sekarang bahwa pengajaran sastra Indonesia di sekolah, berada (atau dimasukkan) dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sehingga, kemungkinan besar, pelajaran sastra tidak begitu banyak diajarkan kepada siswa, karena lebih menekankan pelajaran tata bahasa. Lebih lagi, apabila gurunya tidak suka akan sastra maka pelajaran sastra akan dilewatinya. Sungguh ironis, tentunya! Padahal tujuan pengajaran sastra sangat mulia seperti yang saya sebutkan di muka.
Dalam pengajaran sastra, terbagi atas pengajaran sastra prosa (cerpen, novel, roman dll.), puisi (elegi, dramatik, satirik, kontemplatif, naratif dll.), dan naskah drama (panggung, sinetron, modern dll.).
Pada makalah saya ini saya hanya akan membicarakan soal pengajaran sastra puisi yang menyangkut masalah penulisan dan pembacaannya. Ini sesuai dengan profesi yang saya tekuni sebagai penulis puisi selama ini.
Berangkat dari persoalan ini, maka pengajaran sastra Indonesia bertujuan sangat mulia, dan sangatlah penting bagi para siswa. Persoalannya sekarang bahwa pengajaran sastra Indonesia di sekolah, berada (atau dimasukkan) dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sehingga, kemungkinan besar, pelajaran sastra tidak begitu banyak diajarkan kepada siswa, karena lebih menekankan pelajaran tata bahasa. Lebih lagi, apabila gurunya tidak suka akan sastra maka pelajaran sastra akan dilewatinya. Sungguh ironis, tentunya! Padahal tujuan pengajaran sastra sangat mulia seperti yang saya sebutkan di muka.
Dalam pengajaran sastra, terbagi atas pengajaran sastra prosa (cerpen, novel, roman dll.), puisi (elegi, dramatik, satirik, kontemplatif, naratif dll.), dan naskah drama (panggung, sinetron, modern dll.).
Pada makalah saya ini saya hanya akan membicarakan soal pengajaran sastra puisi yang menyangkut masalah penulisan dan pembacaannya. Ini sesuai dengan profesi yang saya tekuni sebagai penulis puisi selama ini.
Menulis Puisi
Pengajaran sastra genre puisi bagi siswa memang tidak mudah. Setidaknya bagi para guru yang mengajar bahasa Indonesia, pastilah agak merasa kesulitan dalam pengajarannya. Karena materi pelajaran puisi tidak bisa diajarkan secara gampang seperti pelajaran matematika. Lebih lagi jika gurunya tidak suka akan puisi.
Menulis puisi biasanya berkaitan dengan beberapa hal berikut ini:
1. pencarian ide (ilham);
2. pemilihan tema;
3. penentuan jenis puisi;
4. pemilihan diksi (kata yang padat dan khas);
5. pemilihan permainan bunyi;
6. pembuatan larik yang menarik (tipografi);
7. pemilihan pengucapan;
8. pemanfaatan gaya bahasa;
9. pemilihan judul yang menarik.
Sedangkan pengertian puisi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani poeima yang berarti ‘membuat’ atau poeisis yang berarti “pembuatan”. Di dalam bahasa Inggris disebut sebagai poem atau poetry. Puisi berarti pembuatan, karena dengan menulis puisi berarti telah menciptakan sebuah dunia. (Sutedjo dan Kasnadi, 2008:1).
Pengertian puisi, maka menyiratkan beberapa hal yang penting, antara lain:
1. Puisi merupakan ungkapan pemikiran, gagasan ide, dan ekspresi penyair;
2. Bahasa puisi bersifat konotatif, simbolis, dan lambang; oleh karena itu puisi penuh dengan imaji,
1. Puisi merupakan ungkapan pemikiran, gagasan ide, dan ekspresi penyair;
2. Bahasa puisi bersifat konotatif, simbolis, dan lambang; oleh karena itu puisi penuh dengan imaji,
metafora, kias, dengan bahasa figuratif yang estetis;
3. Susunan larik-larik puisi memanfaatkan pertimbangan bunyi dan rima yang maksimal;
4. Dalam penulisan puisi terjadi pemadatan kata dengan berbagai bentuk kekuatan bahasa yang ada;
5. Unsur pembangun puisi mencakup unsur batin dan lahir, sehingga menjadi padu;
6. Bahasa puisi tidak terikat oleh kaidah kebahasaan umumnya, karena itu, ia memiliki kebebasan untuk menyimpang dari kaidah kebahasaan yang ada, bernama licentia poetica.
Sebelum kita mengajarkan bagaimana menulis puisi, seorang guru sebaiknya harus memandang semua para siswanya mepunyai kemampuan yang sama dalam hal penulisan, sehingga para siswa tidak menjadi malas untuk menulis. Harus kita sadari bahwa semua siswa adalah: kreatif, imajinatif, ilusif, jenius, dan komunikatif. Untuk itulah, tantangan yang kita hadapi di depan siswa, bahwa mereka haruslah diajak bersama-sama untuk terlibat dalam mata pelajaran sastra yang kita ajarkan.
Mengawali untuk pelajaran menulis puisi, sebaiknya setiap siswa disuruh untuk membacakan sebuah puisi di depan kelas, secara bergiliran. Dari hasil pembacaan puisi secara bergiliran ini, maka kita akan mendapatkan hasil, bahwa mereka para siswa akan berani tampil didepan kelas, di samping akan mendapatkan vocabulary diksi yang baik dari isi puisi yang ditulis penyair.
Seiring para siswa yang telah mendapatkan banyak vocabulary diksi yang baik tersebut, baru kemudian kita mengajak mereka untuk menuliskan puisi.
Untuk memudahkan dalam penulisan puisi, maka banyak cara yang dapat digunakan dalam konsep pembuatannya:
1. Niteni, nirokne, dan nambahi:
Dalam cara ini, seseorang siswa pada mulanya diajak untuk mengingat-ingat sebuah karya puisi, lantas
3. Susunan larik-larik puisi memanfaatkan pertimbangan bunyi dan rima yang maksimal;
4. Dalam penulisan puisi terjadi pemadatan kata dengan berbagai bentuk kekuatan bahasa yang ada;
5. Unsur pembangun puisi mencakup unsur batin dan lahir, sehingga menjadi padu;
6. Bahasa puisi tidak terikat oleh kaidah kebahasaan umumnya, karena itu, ia memiliki kebebasan untuk menyimpang dari kaidah kebahasaan yang ada, bernama licentia poetica.
Sebelum kita mengajarkan bagaimana menulis puisi, seorang guru sebaiknya harus memandang semua para siswanya mepunyai kemampuan yang sama dalam hal penulisan, sehingga para siswa tidak menjadi malas untuk menulis. Harus kita sadari bahwa semua siswa adalah: kreatif, imajinatif, ilusif, jenius, dan komunikatif. Untuk itulah, tantangan yang kita hadapi di depan siswa, bahwa mereka haruslah diajak bersama-sama untuk terlibat dalam mata pelajaran sastra yang kita ajarkan.
Mengawali untuk pelajaran menulis puisi, sebaiknya setiap siswa disuruh untuk membacakan sebuah puisi di depan kelas, secara bergiliran. Dari hasil pembacaan puisi secara bergiliran ini, maka kita akan mendapatkan hasil, bahwa mereka para siswa akan berani tampil didepan kelas, di samping akan mendapatkan vocabulary diksi yang baik dari isi puisi yang ditulis penyair.
Seiring para siswa yang telah mendapatkan banyak vocabulary diksi yang baik tersebut, baru kemudian kita mengajak mereka untuk menuliskan puisi.
Untuk memudahkan dalam penulisan puisi, maka banyak cara yang dapat digunakan dalam konsep pembuatannya:
1. Niteni, nirokne, dan nambahi:
Dalam cara ini, seseorang siswa pada mulanya diajak untuk mengingat-ingat sebuah karya puisi, lantas
disuruh untuk mencoba mencontoh naskah puisi tersebut, dan kemudian diajak untuk menambahi
(mengubah) kata-kata lain yang sesuai dengan kreativitas pikirannnya.
2. Epigonal, aforisme, outbond, dan cinta
a. epigonal: cara epigonal ini, seorang disuruh menirukan naskah-naskah puisi yang sudah ada dengan
2. Epigonal, aforisme, outbond, dan cinta
a. epigonal: cara epigonal ini, seorang disuruh menirukan naskah-naskah puisi yang sudah ada dengan
menambahi sesuai kreativitasnya;
b. aforisme: pernyataan yang padat dan ringkas tentang sikap hidup atau kebenaran umum. contoh
b. aforisme: pernyataan yang padat dan ringkas tentang sikap hidup atau kebenaran umum. contoh
seperti peribahasa: alah bisa karena biasa. Para siswa diajak menulis puisi, berangkat dari peribahasa-
peribahasa yang telah diajarkan guru sebelumnya. Tentunya dalam hal ini, perlu kreativitas
tersendiri bagi siswa;
c. outbond: para siswa diajak di luar sekolah guna mengamati apa saja yang ada di luar sekolah tersebut.
c. outbond: para siswa diajak di luar sekolah guna mengamati apa saja yang ada di luar sekolah tersebut.
Mereka bisa menulis tentang: daun, pohonan, pengemis, petani, gunung, panas cuaca, hujan atau apa
saja yang mereka temuai di kegiatan outbond tersebut;
d. cinta: cara yang terakhir ini adalah konsep yang barangkali paling mudah bagi para siswa, karena
mereka disuruh menulis puisi berdasarkan cinta. Boleh cinta kepada orang tua, kekasih, alam, tanah
air, dan banyak lagi.
Selain beberapa cara tersebut di atas, maka yang perlu diperhatikan bahwa dalam
penulisan puisi adalah bagaimana para siswa bisa menulis puisi dengan menggunakan ‘kata-kata dasar’ dalam penulisannya. Mengapa demikian? Karena puisi yang baik adalah puisi yang mempunyai sedikit kata, tapi punya banyak makna.
Nah... sekarang mari kita coba bersama-sama menulis puisi dengan berbagai cara tersebut di atas. Semoga ada hasilnya!
Selain beberapa cara tersebut di atas, maka yang perlu diperhatikan bahwa dalam
penulisan puisi adalah bagaimana para siswa bisa menulis puisi dengan menggunakan ‘kata-kata dasar’ dalam penulisannya. Mengapa demikian? Karena puisi yang baik adalah puisi yang mempunyai sedikit kata, tapi punya banyak makna.
Nah... sekarang mari kita coba bersama-sama menulis puisi dengan berbagai cara tersebut di atas. Semoga ada hasilnya!
Membaca Puisi
Dunia baca puisi atau poetry reading, sekarang ini sedang banyak digemari oleh kalangan masyrakat. Dari kalangan pelajar yang suka belajar baca puisi untuk kegiatan lomba-lomba, atau untuk kegiatan pentas tujuhbelasan, hingga untuk kegiatan perpisahan di sekolah. Acara baca puisi tidak pernah ketinggalan ikut tampil dalam acara-acara tersebut.
Tapi ternyata, baca puisi, yang termasuk juga dalam kategori membaca indah itu, tidak semudah dilakukan oleh seseorang. Apalagi bagi orang yang awam, dan tak pernah naik panggung. Bagi mereka mungkin sulit, tapi tidak bagi mereka yang sudah terbiasa membacanya.
Sementara itu membaca puisi, selain sebagai jenis membaca indah, juga merupa-kan salah satu kegiatan apresiasi sastra. Apresiasi sastra dapat diartikan sebagai usaha pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap karya sastra, sehingga menimbulkan kegairahan terhadap sastra tersebut. Apresiasi sastra juga dapat menciptakan kenikmatan yang timbul sebagai akibat pengenalan dan pemahaman terhadap sastra. Sedangkan salah satu bentuk apresiasi sastra adalah dengan cara membaca puisi. Karena dengan membaca puisi seseorang akan dapat kenal dan paham, serta menimbulkan gairah, serta kenikmatan terhadap perilaku kehidupan seseorang.
Mengapa demikian? Karena pembaca akan menangkap keindahan, kemerduan bunyi, serta mungkin pesan-pesan moral yang terdapat dalam sastra, sehingga nurani-nya tersentuh, yang pada akhirnya perilaku kehidupan sehari-hari seseorang tersebut akan juga berubah ke arah yang lebih baik.
Sedangkan untuk menghasilkan pembacaan puisi yang baik dalam suatu performance art ada beberapa syarat, di antaranya adalah:
pertama yang harus dilakukan seorang pembaca puisi adalah mengetahui lebih dulu interpretasi: penafsiran dari isi puisi tersebut, baru kemudian
membacanya.
artikulasi: tekanan kata, yaitu mengucapkan kata secara tepat dan jelas atau pelafalan harus benar;
volume : lemah dan kerasnya suara (usahakan suara asli pembaca dan suara tidak dibuat-buat);
tempo : pengucapan cepat dan lambatnya suara disesuaikan dengan isi puisi;
modulasi : mengubah suara dalam baca puisi;
intonasi : tekanan dan lagu kalimat;
teks puisi: dalam baca puisi, seharusnya teks puisi yang dibaca tidak menutup wajah pembaca, dan bahkan jika
bisa teks tersebut bisa dijadikan alat/sarana akting.
akting : usahakan dalam baca puisi tidak terlalu banyak gerak, sehingga tidak over-acting. Agar memudahkan
akting : usahakan dalam baca puisi tidak terlalu banyak gerak, sehingga tidak over-acting. Agar memudahkan
anak berlatih bergerak (moving) maka pada bait pertama, anak berada di posisi tengah stage
(panggung), maka pada bait berikutnya ke posisi kanan atau kiri stage. Bisa juga di posisi belakang atau
di depan stage (panggung).
Selain aspek yang telah saya kemukakan di atas, perlu pula seorang pembaca puisi mempunyai penampilan seni atau nyeni (performance-art), artinya seorang pembaca puisi tidak harus bersikap sempurna seperti tentara akan baris, tapi usahakan juga berakting dengan indah, melalui gerak tangan dan kaki, ekspresi muka, dan lain sebagainya. Lantas mau memanfaatkan stage atau panggung yang ada di sekitarnya.
Dalam hal ini biasanya disebut sebagai teknik menghidupkan suasana atau mood, agar bacanya menjadi intelligible (yang dapat dimengerti, mantap dan meyakin-kan bagi pendengar/audiens), dan audible (dapat didengar dengan jelas pelafalan bacanya) , dan kemudian isi puisi yang disampaibacakan tersebut bisa ditangkap oleh penonton..
Dari uraian di atas, tampaknya membaca puisi memang gampang. Tapi sebenarnya tak semudah yang kita omong-bicarakan. Ayo kita coba baca puisi Ayo kita coba baca puisi, berikut ini naskah puisi **bagi anak-anak SD dan SMP:
Selain aspek yang telah saya kemukakan di atas, perlu pula seorang pembaca puisi mempunyai penampilan seni atau nyeni (performance-art), artinya seorang pembaca puisi tidak harus bersikap sempurna seperti tentara akan baris, tapi usahakan juga berakting dengan indah, melalui gerak tangan dan kaki, ekspresi muka, dan lain sebagainya. Lantas mau memanfaatkan stage atau panggung yang ada di sekitarnya.
Dalam hal ini biasanya disebut sebagai teknik menghidupkan suasana atau mood, agar bacanya menjadi intelligible (yang dapat dimengerti, mantap dan meyakin-kan bagi pendengar/audiens), dan audible (dapat didengar dengan jelas pelafalan bacanya) , dan kemudian isi puisi yang disampaibacakan tersebut bisa ditangkap oleh penonton..
Dari uraian di atas, tampaknya membaca puisi memang gampang. Tapi sebenarnya tak semudah yang kita omong-bicarakan. Ayo kita coba baca puisi Ayo kita coba baca puisi, berikut ini naskah puisi **bagi anak-anak SD dan SMP:
aming aminoedhin
DI MANA MEREKA SEKOLAH
desa temanku tenggelam sudah
tak ada lagi tanaman hijau
tinggal kini terlihat atap-atap rumah
tampak seperti mengigau
igauan suaranya perih
atap-atap rumah seakan merintih
dari lumpur yang membuat hancur
hingga beribu penghuninya kabur
desa temanku tenggelam sudah
aku tak tahu ke mana mereka pindah
di mana mereka kini sekolah
Sidoarjo, 12/2/2008
aming aminoedhin
AKU LUPA MENGAJI
Pada musim kemarau rumput-rumput di tanah lapang
mengering. Daun di pepohonan kering
Angin terlalu kencang
menerbangkan debu dan layang-layang
layang-layangku nan gagah terbang
diulur panjangnya benang
Hati ini jadi riang
bermain layang-layang
hingga aku lupa
belajar mengaji
di mushola
Barangkali aku berdosa
lantas aku berjanji dalam hati
tak mengulangnya di esok hari
Mojokerto, 1999
aming aminoedhin
JENDELA DUNIA
Almari Bapakku dipenuhi buku
kata Ibu, semua buku-buku itu
adalah jendela dunia
jika aku mau baca
segala ilmu akan kusua
Ternyata benar, kata Ibu
selepas buku-buku kubaca
dunia tampak ada di sana
ada yang hitam dan putih
ada yang senang dan sedih
Jadi kawan!
bacalah buku agar kau
bertemu segala ilmu
Baca dan bacalah buku
karena buku adalah jendela dunia
sejuta ilmu pasti kau sua
Mojokerto, 19/10/1999
aming aminoedhin
BERJAMAAH DI PLAZA
kata seorang kyai, belajar ngaji
adalah amalan yang patut dipuji
dan sholat berjamaah
dapat pahala berkah
berlipat-lipat jumlah
tapi kenapa banyak orang
belajar nyanyi, belajar tari
dan baca puisi?
tapi kenapa banyak orang berjamaah
hanya di plaza-plaza
hamburkan uang berjuta-juta?
adakah ini dapat dipuji, dan
adakah plaza menyimpan pahala
berlipat ganda?
ah… barangkali saja, plaza-plaza
telah jadi berhala baru
yang dipoles gincu
begitu indah
dan banyak orang ikut berjamaah
Surabaya, 1992
aming aminoedhin
TENTANG BUNGA
* mira aulia alamanda
bunga-bunga tumbuh di halaman boleh mekar
setiap hari. dan mimpi-mimpi segar
yang terurai seakan bergetar
menabuh hati
dentang suaranya membuka jendela dunia
mendendangkan lagu cinta
menyejuta jumlahnya, merdu terdengar
melebihi suara rebana
melebihi suara biola
melebihi suara vina1
melebihi suara salena2
bunga-bunga melati kau suka
akan tetap ada. dan kau boleh tak percaya
ia seperti menagih janji kelak kau dewasa
bisa bernyanyi seperti mimpi orang tua
tak hanya melebihi vina dan salena
tapi juga bisa mengaji dan tahu agama
melebihi kyai yang ada di ujung desa
mira, itulah bunga-bunga
yang kau suka. memutih putih suci
mengingatkan kita akan surga
yang kelak kita bersua
bersama keluarga
Desaku Canggu, 18/2/2005
aming aminoedhin
TELEVISI
kotak kaca ajaib itulah
yang telah menyulap tingkah
anakku pandai
berulah
kotak kaca ajaib itu pula
yang jadi guru
bagi anak-anakku
bertingkah laku
melangkahkan sopan santun
jadi tak beruntun
barangkali kotak kaca ajaib
itu pula, yang
akan jadi orang tua
bagi anak-anak
yang ditinggal ibu-bapak
dan kotak kaca ajaib
menyudutkan kita sholat
dalam lima waktu tak tertib
Surabaya, 1995
NYANYIAN TANAH GARAM
karya: aming aminoedhin
masih seperti tahun-tahun pertama dulu
aku sempat menjamah tanahmu
angin laut demikian keras mendera
dari pantai kamal madura
lelangit sumilak terbuka
biru sebiru rinduku padamu
nelayan terguncang gelombang
bersama ikan-ikan tangkapan dalam perahu
sementara layang-layang terbang
dari tangan anak-anak yang riang
aku termangu berdiri di pantai itu
kemudian ada kenangan lintas di mataku
ternyata kenangan itu telah lama berlalu
namun kukira telah membatu dalam diriku
sebab dera angin laut
kebiruan langit
keterguncangan nelayan
layang-layang yang terbang
seakan baru seminggu berlalu
Surabaya, 1987
Membaca puisi, yang merupakan cabang seni membaca indah, memang tidak mudah. Tapi yang pasti diperlukan latihan-latihan yang lebih intens lagi. Pembaca yang baik, adalah yang sudah terbiasa di atas pentas, sehingga tidak ada lagi kata demam panggung.
Terakhir, bahwa membaca puisi itu ternyata gampang, lantas mengapa kita tak mencoba menulis puisi, kemudian membacakannya sendiri?
Terakhir, selamat mencoba menulis dan membaca puisi! Semoga berhasil!
aming aminoedhin
Desaku Canggu, 11 Maret 2008
* materi ceramah sastra di depan para guru se-kabupaten bangkalan, 3-4 juni 2008
** lebih dikenal dengan nama: aming aminoedhin, penyair
** akan termuat di kumpulan “Sajak Kunang-Kunang dan Kupu-Kupu” karya aming aminoedhin
1 Vina Panduwinata, penyanyi si burung Camar
2 Salena Jones, penyanyi jazz si negro hitam
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 2000. Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi, Jakarta: Pembinaaan
dan Pengembangan Bahasa (Depdiknas)
Aminoedhin, Aming. 2000. Apresiasi Sastra Lewat Baca Puisi, Surabaya: Jurnal
Gentengkali
Endraswara, Suwardi,. 2002. Metode Pengajaran Apresiasi Sastra, Yogyakarta:CV
Radhita Buana
Mohamad, Goenawan. 2007. Sudamala, Seni, dan Beda: Ke Arah Tafsir Lain Tentang
Keindahan(Orasi Budaya) , Surabaya: Fakultas sastra Unair
Nadeak, Wilson. 1985. Pengajaran Apresiasi Puisi, Bandung: CV Sinar Baru
Poerwadarminta, WJS. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai
Pustaka
Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra, Jakarta: PT Gramedia
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Yuk Rame-rame Nulis Puisi (Makalah Ceramah),
Sidoarjo: Balai Bahasa Surabaya
Sutedjo dkk. 2008. Kajian Puisi, Ponorogo: STKIP PGRI Ponorogo
Tjahjono, Tengsoe. 2000. Membidik Bumi Puisi, Surabaya: Penerbit Sanggar Kalimas
Alwi, Hasan dkk. 2000. Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi, Jakarta: Pembinaaan
dan Pengembangan Bahasa (Depdiknas)
Aminoedhin, Aming. 2000. Apresiasi Sastra Lewat Baca Puisi, Surabaya: Jurnal
Gentengkali
Endraswara, Suwardi,. 2002. Metode Pengajaran Apresiasi Sastra, Yogyakarta:CV
Radhita Buana
Mohamad, Goenawan. 2007. Sudamala, Seni, dan Beda: Ke Arah Tafsir Lain Tentang
Keindahan(Orasi Budaya) , Surabaya: Fakultas sastra Unair
Nadeak, Wilson. 1985. Pengajaran Apresiasi Puisi, Bandung: CV Sinar Baru
Poerwadarminta, WJS. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai
Pustaka
Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra, Jakarta: PT Gramedia
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Yuk Rame-rame Nulis Puisi (Makalah Ceramah),
Sidoarjo: Balai Bahasa Surabaya
Sutedjo dkk. 2008. Kajian Puisi, Ponorogo: STKIP PGRI Ponorogo
Tjahjono, Tengsoe. 2000. Membidik Bumi Puisi, Surabaya: Penerbit Sanggar Kalimas
Senin, 25 Agustus 2008
angkatan sastra malsasa?
Beberapa Catatan:
ANGKATAN DALAM SASTRA INDONESIA
· Mengapa tidak buat Angkatan Sastra Jawa Timur
· Mengapa tidak buat Angkatan Malsasa
ditulis: aming aminoedhin
Prolog
Dalam tulisan pendek ini, saya akan mencoba mengiventarisasi beberapa nama angkatan dalam sastra Indonesia, yang banyak jumlahnya; serta mencoba mencari tahu angkatan sastra manakah yang paling dikenal dan diakui oleh masyarakat sastra Indonesia. Adakah semua angkatan dalam sastra diketahui dan diakui oleh masyarakat sastra Indonesia? Adakah kita bisa membuat angkatan sastra sendiri, dari komunitas sastra kita sendiri? Sebuah pertanyaan yang barangkali bisa jadi bahan polemik sastra.
Angkatan Sastra Pra-Merdeka
Dalam sejarah sastra Indonesia kita bisa mencatat beberapa angkatan dalam sastra, sebut saja beberapa tahun sebelum kemerdekaan, sudah ada angkatan sastra yang disebut sebagai Angkatan Balai Pustaka dan Angkatan Pujangga Baru. Angkatan Balai Pustaka adalah sebutan bagi pengarang buku-buku sastra yang menulis sastra, dan karyanya diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka, sejak awal tahun 1920-an. Para pengarang yang dikelompokkan dalam Angkatan Balai Pustaka ini, ialah: Merari Siregar, Abdul Muis, Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, M. Kasim, Suman HS, Adinegoro, Moh. Jamin, Rustam Effendi dan banyak lagi. Sementara itu Angkatan Pujangga Baru, adalah angkatan sastra sesuadh Angkatan Balai Pustaka, yaitu kelompok pengarang yang menulis di Majalah Pujangga Baru (Juli 1933- Februari 1942 dan Maret 1948-1953). Para pengarang di angkatan ini antara lain: S. Takdir Alisjahbana, Sanoesi Pane, JE Tatengkeng, MR Dajoh, Amir Hamzah, Armijn Pane, Rifa’i Ali, Selasih Hamka, Soetomo Djauhar Arifien, A. Hasjmi dan banyak lagi.
Angkatan Sastra Saat Merdeka
Angkatan sastra di masa kemerdekaan, setidaknya pada tahun 1945, muncullah Angkatan 45, yaitu sebutan bagi para pengarang sastra yang muncul dalam tahun 1940-an. Sebutan Angkatan 45 ini diperkenalkan oleh Rosihan Anwar dalam tulisannya di Majalah Siasat (9 Januari 1946). Angkatan ini menurutnya, merupakan angkatan pengarang yang mendobrak terhadap angkatan sebelumnya (Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru). Adapun nama-nama pengarang yang masuk dalam Angkatan 45 ini, antara lain: Chairil Anwar, Asrul sani, Rivai Apin, Rosihan anwar, Idrus, M. Balfas, Usmar Ismail, Pramoedya Ananta Toer, Abu Hanifah (El-Hakim), Utuy Tatang Sontani, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Loebis, Sitor Situmorang, dan banyak lagi.
Angkatan Sastra Sesudah Merdeka
Sesudah merdeka, sejarah sastra Indonesia, banyak lagi melahirkan angkatan-angkatan dalam sastra, sebut saja Angkatan Terbaru, Angkatan 66, Angkatan 70, Angkatan 80, Angkatan Penyair Abad 21, dan mungkin masih banyak lagi.
Kita mulai dengan ‘Angkatan Terbaru’, adalah sebutan bagi pengarang yang berkarya dalam tahun 1950-an. Istilah ini muncul pertama kali di Simposium Sastra Pekan Kesenian Mahasiswa II di Jakarta (1960). Istilah ini pula yang kemudian digunakan Ajip Rosidi dalam makalahnya bertajuk ‘Sumbangan angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia kepada Perkembangan Kesusastraan Indonesia’.
Pengarang yang tergabung dalam angkatan ini adalah: WS rendra, Dodong Djiwapradja, Muhammad Ali, Toha Mochtar, Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Nh. Dini, Motinggo Bosje, Nasjah Djamin, Kirdjomuljo, Subagio Sastrowardojo, Nugroho Notosusanto, AA Navis, Misbach Jusa biran, SM Ardan, Soekanto SA dan banyak lagi.
Angkatan sastra lainnya adalah ‘Angkatan 66’, sebutan ini diproklamirkan paus sastra Indonesia, HB Jassin lewat tulisannya dalam majalah sastra Horison No. 2 Tahun 1966 dengan judul “Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi”. Para pengarang yang digolongkan dalam angkatan ini adalah mereka yang menulis di majalah Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia, Budaya, Indonesia, Konfrontasi, Cerita, Prosa, Sastra, Basis, Horison dll. Yang pada tahun 1966 mereka masih berusia sekitar 25 tahun. Beberapa nama yang masuk dalam angkatan ini, menurut Jassin adalah: Yusakh ananda, Hartojo Andangdjaja, SM Ardan, Titis Basino, Motinggo bosje, Sapardi djoko damono, M. Fudoli zaini, Indonesia O’Galileo, Budiman S. Hartojo, Taufiq Ismail, Ramadhan KH, Gerson Poyk, Bur Rasuanto, SN ratmana, WS Rendra, Ajip Rosidi, Titie Said, Ras Siregar, Djamil Suherman, Piek Ardijanto Soeprijadi, M. Alwan tafsiri, Sandy Tyas dan banyak lagi.
Setelah itu, ada juga angkatan sastra yang bernama ‘Angkatan 70’, yaitu istilah yang pertama kali diperkenalkan Dami N. Toda dalam diskusi sastra di ulang tahun kelima majalah sastra ‘Tifa Sastra’ Fakultas Sastra – Universitas Indonesia Jakarta. Siapa sajakah yang tercatat dalam angkatan ini, tapi Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi WM, mendukung atas angkatan ini.
Sepuluh tahun kemudian ada juga lahir yang dinamakan dengan ‘Angkatan 80’ merupakan angkatan sastra yang mencakup para pengarang yang menerbitkan karya-karya mereka pada akhir tahun 1960-an, dan sesudahnya yang menunjukkan wawasan estetik berbeda dari ‘Angkatan 45’. Istilah ini pertama kali dilansir oleh Korrie Layun rampan dalam diskusi rutin Studi Sastra Pusat Latihan Kesenian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DKI di Jakrta, 28 Februari 1984. Angkatan 80 dimulai dari novel-novel dan drama Iwan Simatupang, sajak dan dramanya WS Rendra, cerpen dan novelnya Budi Darma, drama Arifien C. Noer, cerpen-cerpen Danarto, cerpen, novel, dan drama Putu Wijaya, puisi-puisi Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, dan Afrizal Malna. Ciri utama angkatan ini adalah penekanan proses kreatif mereka pada seni improvisasi. Penamaan angkatan ini dapat dukungan dari HB Jassin dan Suripan Sadi Hutomo.
Terakhir yang ada dalam catatan saya, bahwa beberapa tahun lalu ada juga ‘Angkatan Penyair Abad 21’ dengan melibatkan beberapa nama penyair mutakhir (2000-an sampai sekarang) yang tergabung di dalamnya.
Dari Angkatan ke Angkatan Sastra , Mana Yang Diakui
Dari uraian di atas, maka kita mengetahui banyaknya angkatan sastra Indonesia, tapi manakah yang diketahui dan diakui masyarakat sastra Indonesia? Pertanyaan ini cukup menggelitik kita? Ternyata dari semua angkatan yang ada, yang cukup diketahui dan diakui masyarakat, hanya beberapa nama angkatan saja. Kalau kita mau mencoba menghitung, barangkali hanya ‘Angkatan Balai Pustaka’, ‘Angkatan Pujangga Baru’, ‘Angkatan 45’, dan ‘Angkatan 66’ yang diakui oleh masyarakat sastra kita. Sedangkan yang lain, nama angkatan itu kurang terdengar gaungnya, bahkan tidak begitu terakui masyarakat sastra.
Pernyataan angkatan sastra terakui dan tidak diakui di atas hanyalah pendapat saya, pembaca boleh bersetuju, dan/atau tidak setuju akan pernyataan itu? Bahkan untuk sebutan ‘Angkatan 45’ bagi saya, adalah angkatan sastra yang paling diakui masyarakat dengan ditandai tampilnya sosok penyair Chairil Anwar yang puisinya cukup banyak jadi rujukan dalam sastra. Sementara angkatan sastra yang lain, tidak sehebat gaungnya si tokoh kita Chairil Anwar.
Buat Angkatan Sastra Sendiri, Mau?
Apabila kita mau menyimak perkembangan angkatan dalam sastra, sebenarnya para pelakunya adalah para pengarang sendiri dengan membuat proklamasi tentang adanya angkatan tersebut. Sebagai misal ‘Angkatan 45’ diproklamasikan Rosihan Anwar, ‘Angkatan terbaru’ oleh Ajip Rosidi, ‘Angkatan 66’ oleh HB Jassin, ‘Angkatan 70’ oleh Dami N. Toda, dan ‘ Angkatan 80’ oleh Korrie Layun Rampan.
Persoalan apakah angkatan sastra tersebut diakui atau tidak, yang pasti mereka mencoba membuat angkatan dalam sastra Indonesia. Gaungnya ada yang diakui masyarakat, ada juga yang tidak diakui masyarakat. Lantas maukah kita buat angkatan sastra sendiri? Mau?
Nah.... persoalannya sekarang bagaimanakah kita, sebagai pengarang sastra Jawa Timur, membuat sendiri angkatan dalam sastra? Sebut saja “Angkatan Sastra Jawa Timur’ yang melibatkan banyak nama-nama pengarang sastra Jawa Timur yang namanya cukup me-Nasional. Seperti misalnya: Budi Darma, D. Zawawi Imron, Muhammad Ali, Suripan Sadi Hutomo, Akhudiat, M. Shoim Anwar, Suharmono Kasijun, Sabrot D. Malioboro, Roesdi-Zaki, Aming Aminoedhin, W. Haryanto, Mashuri, HU Mardiluhung, Tjahjono Widiyanto dan Widarmanto, serta sederet nama pengarang lainnya. Atau mungkin angkatan sastra yang lebih spesifik lagi, misalnya: Angkatan Sastra Malsasa, yang mana bisa melibatkan semua pengarang sastra yang terlibat dalam kumpulan puisi Malsasa yang kini telah 9 buku tersebut? Ah... mungkinkah?
Epilog
Tulisan ini hanya semacam wacana dialog antarsastrawan Jawa Timur, barangkali Aming Aminoedhin sedang ngelantur atau mungkin ngelindur? Tapi tak apalah! Yang pasti dan patut disyukuri bahwa perkembangan sastra di Jawa Timur ini, sebenarnya cukup pesat adanya; hanya saja jalinan komunikasi secara intens tidak pernah terjadi. Dulu pernah ada pertemuan sastrawan Jawa Timur di Blitar, diprakarsai Dewan Kesenian Jawa Timur, tapi tak pernah ada kelanjutannya setelah itu.
Kerja pengarang atau sastrawan adalah kerja individu, tapi jika suatu kali ada pertemuan dan komunikasi antarsastrawan akan lebih baik lagi. Setidaknya menambah wawasan, serta kemampuan berapresiasi antarsesama pengarang. Salam budaya!
desaku canggu, mojokerto, awal januari 2008
Daftar Acuan dan Bacaan:
Tim Penyusun . 1997. Direktori Penulis di Indonesia, Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Bachri, Sutardji Calzoum. 1984. Chairil Anwar, Angkatan 70, dan Kredo Puisi Saya, Jakarata:
(artikel di Berita Buana, 14 Agustus 1984).
Jassin, H.B. 1966. Angkatan 66: Bangkitnya Suatu Generasi, Jakarta: Majalah Sastra Horison No. 2 Tahun I
Hutomo, Suripan Sadi. 1992. Melawan Kucuran Keringat: Kumpulan Kritik, Esai, dan Apresiasi
Sastra, Surabaya: HISKI Jawa Timur
Toda, Dami N. 1977. Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa, Jakarta: Budaya Jaya
ANGKATAN DALAM SASTRA INDONESIA
· Mengapa tidak buat Angkatan Sastra Jawa Timur
· Mengapa tidak buat Angkatan Malsasa
ditulis: aming aminoedhin
Prolog
Dalam tulisan pendek ini, saya akan mencoba mengiventarisasi beberapa nama angkatan dalam sastra Indonesia, yang banyak jumlahnya; serta mencoba mencari tahu angkatan sastra manakah yang paling dikenal dan diakui oleh masyarakat sastra Indonesia. Adakah semua angkatan dalam sastra diketahui dan diakui oleh masyarakat sastra Indonesia? Adakah kita bisa membuat angkatan sastra sendiri, dari komunitas sastra kita sendiri? Sebuah pertanyaan yang barangkali bisa jadi bahan polemik sastra.
Angkatan Sastra Pra-Merdeka
Dalam sejarah sastra Indonesia kita bisa mencatat beberapa angkatan dalam sastra, sebut saja beberapa tahun sebelum kemerdekaan, sudah ada angkatan sastra yang disebut sebagai Angkatan Balai Pustaka dan Angkatan Pujangga Baru. Angkatan Balai Pustaka adalah sebutan bagi pengarang buku-buku sastra yang menulis sastra, dan karyanya diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka, sejak awal tahun 1920-an. Para pengarang yang dikelompokkan dalam Angkatan Balai Pustaka ini, ialah: Merari Siregar, Abdul Muis, Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, M. Kasim, Suman HS, Adinegoro, Moh. Jamin, Rustam Effendi dan banyak lagi. Sementara itu Angkatan Pujangga Baru, adalah angkatan sastra sesuadh Angkatan Balai Pustaka, yaitu kelompok pengarang yang menulis di Majalah Pujangga Baru (Juli 1933- Februari 1942 dan Maret 1948-1953). Para pengarang di angkatan ini antara lain: S. Takdir Alisjahbana, Sanoesi Pane, JE Tatengkeng, MR Dajoh, Amir Hamzah, Armijn Pane, Rifa’i Ali, Selasih Hamka, Soetomo Djauhar Arifien, A. Hasjmi dan banyak lagi.
Angkatan Sastra Saat Merdeka
Angkatan sastra di masa kemerdekaan, setidaknya pada tahun 1945, muncullah Angkatan 45, yaitu sebutan bagi para pengarang sastra yang muncul dalam tahun 1940-an. Sebutan Angkatan 45 ini diperkenalkan oleh Rosihan Anwar dalam tulisannya di Majalah Siasat (9 Januari 1946). Angkatan ini menurutnya, merupakan angkatan pengarang yang mendobrak terhadap angkatan sebelumnya (Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru). Adapun nama-nama pengarang yang masuk dalam Angkatan 45 ini, antara lain: Chairil Anwar, Asrul sani, Rivai Apin, Rosihan anwar, Idrus, M. Balfas, Usmar Ismail, Pramoedya Ananta Toer, Abu Hanifah (El-Hakim), Utuy Tatang Sontani, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Loebis, Sitor Situmorang, dan banyak lagi.
Angkatan Sastra Sesudah Merdeka
Sesudah merdeka, sejarah sastra Indonesia, banyak lagi melahirkan angkatan-angkatan dalam sastra, sebut saja Angkatan Terbaru, Angkatan 66, Angkatan 70, Angkatan 80, Angkatan Penyair Abad 21, dan mungkin masih banyak lagi.
Kita mulai dengan ‘Angkatan Terbaru’, adalah sebutan bagi pengarang yang berkarya dalam tahun 1950-an. Istilah ini muncul pertama kali di Simposium Sastra Pekan Kesenian Mahasiswa II di Jakarta (1960). Istilah ini pula yang kemudian digunakan Ajip Rosidi dalam makalahnya bertajuk ‘Sumbangan angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia kepada Perkembangan Kesusastraan Indonesia’.
Pengarang yang tergabung dalam angkatan ini adalah: WS rendra, Dodong Djiwapradja, Muhammad Ali, Toha Mochtar, Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Nh. Dini, Motinggo Bosje, Nasjah Djamin, Kirdjomuljo, Subagio Sastrowardojo, Nugroho Notosusanto, AA Navis, Misbach Jusa biran, SM Ardan, Soekanto SA dan banyak lagi.
Angkatan sastra lainnya adalah ‘Angkatan 66’, sebutan ini diproklamirkan paus sastra Indonesia, HB Jassin lewat tulisannya dalam majalah sastra Horison No. 2 Tahun 1966 dengan judul “Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi”. Para pengarang yang digolongkan dalam angkatan ini adalah mereka yang menulis di majalah Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia, Budaya, Indonesia, Konfrontasi, Cerita, Prosa, Sastra, Basis, Horison dll. Yang pada tahun 1966 mereka masih berusia sekitar 25 tahun. Beberapa nama yang masuk dalam angkatan ini, menurut Jassin adalah: Yusakh ananda, Hartojo Andangdjaja, SM Ardan, Titis Basino, Motinggo bosje, Sapardi djoko damono, M. Fudoli zaini, Indonesia O’Galileo, Budiman S. Hartojo, Taufiq Ismail, Ramadhan KH, Gerson Poyk, Bur Rasuanto, SN ratmana, WS Rendra, Ajip Rosidi, Titie Said, Ras Siregar, Djamil Suherman, Piek Ardijanto Soeprijadi, M. Alwan tafsiri, Sandy Tyas dan banyak lagi.
Setelah itu, ada juga angkatan sastra yang bernama ‘Angkatan 70’, yaitu istilah yang pertama kali diperkenalkan Dami N. Toda dalam diskusi sastra di ulang tahun kelima majalah sastra ‘Tifa Sastra’ Fakultas Sastra – Universitas Indonesia Jakarta. Siapa sajakah yang tercatat dalam angkatan ini, tapi Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi WM, mendukung atas angkatan ini.
Sepuluh tahun kemudian ada juga lahir yang dinamakan dengan ‘Angkatan 80’ merupakan angkatan sastra yang mencakup para pengarang yang menerbitkan karya-karya mereka pada akhir tahun 1960-an, dan sesudahnya yang menunjukkan wawasan estetik berbeda dari ‘Angkatan 45’. Istilah ini pertama kali dilansir oleh Korrie Layun rampan dalam diskusi rutin Studi Sastra Pusat Latihan Kesenian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DKI di Jakrta, 28 Februari 1984. Angkatan 80 dimulai dari novel-novel dan drama Iwan Simatupang, sajak dan dramanya WS Rendra, cerpen dan novelnya Budi Darma, drama Arifien C. Noer, cerpen-cerpen Danarto, cerpen, novel, dan drama Putu Wijaya, puisi-puisi Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, dan Afrizal Malna. Ciri utama angkatan ini adalah penekanan proses kreatif mereka pada seni improvisasi. Penamaan angkatan ini dapat dukungan dari HB Jassin dan Suripan Sadi Hutomo.
Terakhir yang ada dalam catatan saya, bahwa beberapa tahun lalu ada juga ‘Angkatan Penyair Abad 21’ dengan melibatkan beberapa nama penyair mutakhir (2000-an sampai sekarang) yang tergabung di dalamnya.
Dari Angkatan ke Angkatan Sastra , Mana Yang Diakui
Dari uraian di atas, maka kita mengetahui banyaknya angkatan sastra Indonesia, tapi manakah yang diketahui dan diakui masyarakat sastra Indonesia? Pertanyaan ini cukup menggelitik kita? Ternyata dari semua angkatan yang ada, yang cukup diketahui dan diakui masyarakat, hanya beberapa nama angkatan saja. Kalau kita mau mencoba menghitung, barangkali hanya ‘Angkatan Balai Pustaka’, ‘Angkatan Pujangga Baru’, ‘Angkatan 45’, dan ‘Angkatan 66’ yang diakui oleh masyarakat sastra kita. Sedangkan yang lain, nama angkatan itu kurang terdengar gaungnya, bahkan tidak begitu terakui masyarakat sastra.
Pernyataan angkatan sastra terakui dan tidak diakui di atas hanyalah pendapat saya, pembaca boleh bersetuju, dan/atau tidak setuju akan pernyataan itu? Bahkan untuk sebutan ‘Angkatan 45’ bagi saya, adalah angkatan sastra yang paling diakui masyarakat dengan ditandai tampilnya sosok penyair Chairil Anwar yang puisinya cukup banyak jadi rujukan dalam sastra. Sementara angkatan sastra yang lain, tidak sehebat gaungnya si tokoh kita Chairil Anwar.
Buat Angkatan Sastra Sendiri, Mau?
Apabila kita mau menyimak perkembangan angkatan dalam sastra, sebenarnya para pelakunya adalah para pengarang sendiri dengan membuat proklamasi tentang adanya angkatan tersebut. Sebagai misal ‘Angkatan 45’ diproklamasikan Rosihan Anwar, ‘Angkatan terbaru’ oleh Ajip Rosidi, ‘Angkatan 66’ oleh HB Jassin, ‘Angkatan 70’ oleh Dami N. Toda, dan ‘ Angkatan 80’ oleh Korrie Layun Rampan.
Persoalan apakah angkatan sastra tersebut diakui atau tidak, yang pasti mereka mencoba membuat angkatan dalam sastra Indonesia. Gaungnya ada yang diakui masyarakat, ada juga yang tidak diakui masyarakat. Lantas maukah kita buat angkatan sastra sendiri? Mau?
Nah.... persoalannya sekarang bagaimanakah kita, sebagai pengarang sastra Jawa Timur, membuat sendiri angkatan dalam sastra? Sebut saja “Angkatan Sastra Jawa Timur’ yang melibatkan banyak nama-nama pengarang sastra Jawa Timur yang namanya cukup me-Nasional. Seperti misalnya: Budi Darma, D. Zawawi Imron, Muhammad Ali, Suripan Sadi Hutomo, Akhudiat, M. Shoim Anwar, Suharmono Kasijun, Sabrot D. Malioboro, Roesdi-Zaki, Aming Aminoedhin, W. Haryanto, Mashuri, HU Mardiluhung, Tjahjono Widiyanto dan Widarmanto, serta sederet nama pengarang lainnya. Atau mungkin angkatan sastra yang lebih spesifik lagi, misalnya: Angkatan Sastra Malsasa, yang mana bisa melibatkan semua pengarang sastra yang terlibat dalam kumpulan puisi Malsasa yang kini telah 9 buku tersebut? Ah... mungkinkah?
Epilog
Tulisan ini hanya semacam wacana dialog antarsastrawan Jawa Timur, barangkali Aming Aminoedhin sedang ngelantur atau mungkin ngelindur? Tapi tak apalah! Yang pasti dan patut disyukuri bahwa perkembangan sastra di Jawa Timur ini, sebenarnya cukup pesat adanya; hanya saja jalinan komunikasi secara intens tidak pernah terjadi. Dulu pernah ada pertemuan sastrawan Jawa Timur di Blitar, diprakarsai Dewan Kesenian Jawa Timur, tapi tak pernah ada kelanjutannya setelah itu.
Kerja pengarang atau sastrawan adalah kerja individu, tapi jika suatu kali ada pertemuan dan komunikasi antarsastrawan akan lebih baik lagi. Setidaknya menambah wawasan, serta kemampuan berapresiasi antarsesama pengarang. Salam budaya!
desaku canggu, mojokerto, awal januari 2008
Daftar Acuan dan Bacaan:
Tim Penyusun . 1997. Direktori Penulis di Indonesia, Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Bachri, Sutardji Calzoum. 1984. Chairil Anwar, Angkatan 70, dan Kredo Puisi Saya, Jakarata:
(artikel di Berita Buana, 14 Agustus 1984).
Jassin, H.B. 1966. Angkatan 66: Bangkitnya Suatu Generasi, Jakarta: Majalah Sastra Horison No. 2 Tahun I
Hutomo, Suripan Sadi. 1992. Melawan Kucuran Keringat: Kumpulan Kritik, Esai, dan Apresiasi
Sastra, Surabaya: HISKI Jawa Timur
Toda, Dami N. 1977. Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa, Jakarta: Budaya Jaya
Langganan:
Postingan (Atom)