Sekadar Catatan
GELIAT SASTRA MOJOKERTO
MENGAPA TAK INGAT SASTRA JAWA
Oleh: Aming Aminoedhin
Tulisan ini saya ambil dari catatan
saya terdahulu (2017) saat ada dialog
sastra di Mojokerto, tentang
penggalan sastra kota Mojokerto. Lantas ada
beberapa tambahan data guna
bisa dijadikan semacam pemicu diskusi
“Jagongan Sastra” pada ulang
tahun Ludruk Karya Budaya ke-55 di
Pondok Jula-Juli bersama
kawan-kawan sastra lainnya.
Membuat
catatan penggalan peta sastra kota maupun kabupaten
Mojokerto, barangkali tidaklah mudah. Sebab untuk menulisnya diperlukan data
komprehensif. Kebetulan saya tak punya banyak datanya. Lebih lagi, ketika saya
sendiri bukan orang Mojokerto asli, sehingga tidaklah sebaik orang yang asli
Mojokerto.
Akan
tetapi jika penggalan peta sastra itu tidak
ditulis, betapa pun minimnya data, maka kita akan kehilangan data seluruhnya.
Berikut ini, hanya catatan ringkas saya selama berada di Mojokerto, yang tentunya
tidaklah lengkap jika bicara soal data
tersebut. Tulisan ini pun tidak membagi antara Kota dan Kabupaten Mojokerto,
tetapi bicara soal sastra di Mojokerto.
Bermula
ketika saya tinggal di Puri Mojobaru AZ-22/23 Canggu, Kecamatan Jetis,
Kabupaten Mojokerto; sejak 10 November 1996 lalu. Ketika itu, beberapa kawan
seniman Mojokerto berkumpul untuk acara sastra. Lantas, atas prakarsa banyak
kawan, kami mendirikan komunitas yang bernama Forasamo (Forum Apresiasi Sastra
Mojokerto). Idenya, saya ambil dari FASS (Forum Apresiasi Sastra Surabaya) dengan
berpangkalan di PPIA Surabaya; yang kebetulan saya koordinatornya.
Pada
awalnya, komunitas ini cukup banyak yang hadir, ada nama: Abdul Malik, Mamak, Suyitno
Ethexs, Gatot Sableng, Bagus Mahayasa, Jabbar Abdullah, Saiful Bakri, beberapa siswa,
mahasiswa dan juga para guru. Ada yang menarik yaitu hadirnya, almarhumah Ibu St. Iesmaniasita. Sastrawan Jawa yang
kondang di ranah sastra Jawa.
Kegiatan Forasamo
adalah dialog, baca puisi, dan bernyanyi puisi. Forasamo, pada tahap
berikutnya, mengadakan pertemuan 2 minggu sekali bertempat di pangkalannya
Sanggar Saraswati, rumah tua di Jalan
Hayam Wuruk, Kota Mojokerto. Tapi, lama-lama kelamaan yang datang cuma saya,
istri, dan dua anak saya yang sampai di Sanggar Saraswati itu. Selebihnya entah
ke mana?
Sebenarnya,
waktu itu Forasamo, sudah mencoba adakan penerbitan buletin sastra, dan bahkan
pernah juga buat kumpulan puisi segala. Pentas acara sastra tentang hilangnya
Wiji Thukul, bersama Sosiawan Leak di Sanggar Saraswati. Ada baca puisi dan
dialog sastra, serta perfomance-art
dari beberapa seniman, serta musik puisi. Komunitas lain ada ‘Pustaka Nol’ yang
ketika dibuka semua anggota Forasamo pernah ramai-ramai datang pada acara pembukaan
“Pustaka Nol” (27/2/2000) yang diisi bincang sastra di Jalan Empu Nala, Mojo-kerto.
Tampak guyub rukun dan terasa menyenangkan, buat acara bincang seniman
Mojokerto.
Berikutnya
ada juga beberapa komunitas sastra dan musik bermunculan, sebut saja ada: Forum
Sebrang Dalan, GePapat, Girilaya, Komunitas Arek Japan, Komunitas Pondok Kopi,
dan banyak lagi. Beberapa komunitas sastra, musik dan teater inilah yang
kemudian memberi nafas dan virus sastra di Mojokerto lebih punya daya denyut.
Belum lagi, kegiatan “Terminal Sastra” yang kemudian seakan menampung mereka
untuk berkiprah melangkah lebih jauh.
Sastrawan
Mojokerto
Bicara
soal sastra, maka kita tak bisa lepas bicara soal tiga genre sastra: puisi,
prosa, dan drama. Dan bicara sastrawan, atau penulisnya; Mojokerto hampir punya
semuanya. Bahkan ada pula sastrawan Jawa yang cukup punya nama Ibu St.Iesmaniasita.
Mencatat nama pengarang lainnya, sekedar menyebut nama yang masih ingat, antara
lain: Hardjono WS (cerpen, puisi, dan naskah drama), Max Arifin (naskah drama
dan penterjemah), Nyitno Munadjad, Aming
Aminoedhin, Akhmad Fatoni, Suyitno Ethex, Chamim Kohari,
Saiful Bakri, Dadang Ari Murtono, Ahmad
Farid Tuasikal, Jabbar Abdullah, Kukun Triyoga, Mochammad Asrori, Anjrah Lelono Brata, Suliadi, Agus
Salim, Supriyadi Bro, Lies Muhshonati (puisi), serta
mungkin masih banyak lagi jumlahnya, dan maaf jika tak tercatat di tulisan pendek ini.
Bila
mau mencatat, sebenarnya banyak sastrawan yang dulu dan sekarang pernah
berdomisili di Mojokerto itu, ternyata sudah terkenal lebih dulu di kota lain.
Sebut saja nama: Hardjono WS
(almarhum) yang terakhir berdomisili di Jatidukuh, Gondang, sudah terkenal
lebih dulu di Surabaya sebagai sastrawan dan teatrawan anak. Max Arifin (almarhum) terkenal di
Mataram –NTB, sebagai tokoh teater, terakhir berdomisili di Japan Raya. Aming Aminoedhin, sudah lebih terkenal
di Surabaya, kini berumah di Canggu, Jetis, Mojokerto. Ada juga Anton De Sumartana, yang terkenal di
Bandung, bermula dari Jalan Brawijaya 215 Mojokerto, dan kini tinggal di
Bandung. Ada juga Dadang
Ari Murtono yang bukunya bertajuk
‘Ludruk Kedua.’ Ia pernah dapat hadiah Sutasoma tingkat Jawa Timur dan Buku
Sastra Utama tingkat Nasional di Jakarta. Kini Dadang hijrah di Samarinda. Bahkan
konon, A. Muttaqin, penyair asal
Gresik itu kini juga domisili di Mojokerto mendampingi istrinya yang kini
mengajar di Mojokerto.
Sungguh,
Mojokerto cukup banyak penulis sastranya. Maka tidaklah salah jika Dr. Indra T Kurniawan, M.Si. (ketua Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto)
membuat acara sastra bertajuk “Terminal Sastra” setiap bulannya, hingga
sampai cukup panjang episodenya. Sebuah
perjalanan panjang yang harus diapresiasi kita sebagai penyuka sastra.
Setidaknya, bisa hadir dan jika perlu ikut tampil sebagai narasumber atau
pengisi acara baca puisi, cerpen, atau monolog; bahkan musik sebagai selingan
dialog sastra.
Geliat
Sastra
Sastra
Mojokerto kian menggeliat, sebenarnya setelah terbentuknya Dewan Kesenian Kota
Mojokerto (DKM), dan diikuti DKKM (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto). Saat
terbentuknya DKKM, saya termasuk pernah ikut jadi pengurusnya yaitu sebagai
sekretaris, dan ketuanya Hardjono WS. Periode berikutnya, ketika Drs. Eddy
Karya Susanto, sebagai ketua saya sudah tidak ikut jadi pengurus lagi.
Beberapa
acara sastra digelarpentaskan, baik di halaman GOR Mojopahit kantor DKM, atau
di Gedung Dinas Pariwisata Kabupten Mojokerto – Jalan Jayanegara – Mojokerto.
Seingat saya pernah baca puisi kumpulan puisi “Mojokerto dalam Puisi” (2006), dan
“Tadarus Puisi Bulan Suci.” Lantas melalui Biro Sastra DKKM, dimotori Chamim
Kohari, telah pula membukukan ‘Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Mojopahit”
(2010).
Geliat
sastra yang lain, bahwa sastra tidak hanya prosa dan puisi; tetapi juga pentas
teater. Pentas teater berbentuk Parade
Teater dimotori oleh Bagus Mahayasa
lewat Lidhie Art Forum Indonesia yang
tak lelah-lelahnya terus menviruskan sastra pentas teater di Mojokerto.
Diselenggarakan di Gedung Dinas Pariwisata Kabupten Mojokerto, dengan
mengundang berbagai kelompok teater luar kota: Lamongan, Ponorogo, Jombang dll.
Sementara itu, sekolah-sekolah di Mojokerto juga dilibatkan ikut berparade.
Komunitasnya
Bagus, juga sering pentas di luar kota, dan pernah beberapa kali menang lomba
berteater. Bahkan melalui komunitasnya Lidhie
Art Forum Indonesia, juga menyelenggarakan semacam pelatihan teater dengan
mengundang beberapa tokoh teater sebagai narasumbernya.
Geliat
sastra berikutnya terus dihembuskan, dan konsisten ada
pertemuan sastra sebulan sekali, bertajuk
“Terminal Sastra” yang dikomandoi Dr.
Indra T Kurniawan, M.Si. dengan motornya Mochammad Asrori. Sebuah upaya mulia untuk terus tumbuhkembangnya
sastra di wilayah Mojokerto. Sungguh, sangat luar biasa geliatnya!
Menariknya
lagi, ketika setiap kali pertemuan ada pembagian doorprize buku sastra,
sehingga selain menyebar virus sastra, sekaligus mengajak untuk ikut datang
berdialog sastra. Menarik berikutnya, ketika “Terminal Sastra” ini
diselenggarakan di berbagai tempat, utamanya wilayah desa-desa. Terasa dialog
sastra itu jadi gerilya sastra, diperkenalkan pada masyarakat desa, agar mereka
melek sastra. Upaya yang bagus, dan harus terus dilakukan!
Akan sayang disayang acara “Terminal Sastra” yang telah panjang berjalan
itu harus tumbang. Geliatnya harus terhenti, karena banyak pengurusnya sibuk
dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Sastra
Jawa
Seperti
telah saya jelaskan di muka, bahwa Mojokerto punya sastrawati Jawa yang kondang
dan sangat diperhitungkan jagad sastra Jawa, Ibu St. Iesmaniasita. Namun sayang banyak kawan
sastrawan Mojokerto, tidak banyak yang mau menulis sastra Jawa. Jika saja mau mencatat ada nama: Suyitno Etheks dan
istrinya, Anjrah Lelono Brata, Nyitno Munadjad, Aming Aminoedhin (saya
sendiri), dan beberapa nama (lupa penulisnya).
Seiring dengan ulang tahun Ludruk Karya Budaya ke-55 tahun, tidaklah
salah jika kita penulis yang punya bahasa Ibu bahasa Jawa; untuk mam]u menulis
sastra Jawa, meski hanya berbentuk guritan.
Persoalannya
sebagai orang Jawa, sebaiknya bisa dan mau menulis dengan
bahasa
Jawa. Sebab, jika kita orang Jawa tak mau menulis dengan bahasa Jawa-nya,
lantas siapa lagi yang bakal menulisnya? Jika perlu, barangkali dicoba ada semacam lomba baca guritan. Atau mungkin yang agak dekat dengan ludruk, lomba menulis parikan untuk
kidungan. Barangkali cukup menarik juga.
Sesudah
itu ada lomba menulis guritan lan cerita cekak, yang mana bisa
menumbuhkembangkan sastra Jawa di kota Mojokerto yang punya ludruk Karya Budaya ini. Mengapa tidak? Toh…kita punya tokoh
sastra Jawa; ada Nyitno Munadjat, Suyitno Ethex, dan Anjrah Lelono Brata.
Mumpung
ini pas ulang tahun Ludruk Karya Budaya, perlu dirancang
mengadakan kegiatan guna merangsang anak-anak mau menulis sastra Jawa, seperti di atas. Tidak perlu mewah, sederhana tapi nyata hasilnya,
anak-anak jadi kenal dan suka sastra Jawa.
Ini
hanya sebuah usulan yang barangkali bisa dilaksanakan di belakang hari,
sehingga ketokohan St. Iesmaniasita,
akan kembali muncul dari bumi Majapahit! Semoga!
Desaku
Canggu, 25 Mei 2024
Aming
Aminoedhin
AMING AMINOEDHIN,
nama aslinya Mohammaa Amir Tohar. Lahir di Ngawi, 22 desember 1957 dari
fakultas sastra, universitas sebelas maret solo. Aktif kegiatan teater, pernah
menyandang predikat “aktor terbaik” festival drama se-jatim tahun 1983 dari teater
persada ngawi, pimpinan mh. iskan. penggagas kegiatan malam sastra
surabaya atau “malsasa” di DKS, serta “malsabaru se-jatim” atau ‘malam sastra bagi guru’ di balai
pemuda surabaya. pernah pula diberi predikat sebagai ‘presiden penyair
jawa timur oleh doktor kentrung, suripan sadi hutomo. Pensiunan
dari balai bahasa jawa timur ini, sekarang ketua forum sastra bersama surabaya
(fsbs), biro sastra dewan kesenian surabaya (dks), dan sekjen paguyuban
pengarang sastra jawa surabaya (ppsjs). alamat: puri mojobaru az-23 canggu,
kecamatan jetis, – mojokerto 61352
alamatnya di dunia maya: amri.mira@gmail.com atau aming.syair@gmail.com;
rumah maya: amingaminoedhin.blogspot.com*